PEMBAHASAN
A.
Teks Hadits dan Terjemahan
1.
Teks Hadits dan Terjemahan Hadits Pertama
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنَا أَبُو
أُسَامَةَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
حُبْشِيٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ
قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ.
Terjemahannya
: Telah menceritakan kepada kami Nashr ibn ‘Ali, telah mengabarkan kepada kami
Abu Usamah, dari Ibnu Juraih, dari ‘Utsman bin Abi Sulaiman, dari Sa’id bin
Muhammad bin Jubair bin Mu’thim, dari ‘Abdillah bin hubsyi, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang menebang pohon bidara, kelak
Allah SWT akan memasukkan kepalanya kedalam api neraka.”[1]
2.
Teks Hadits dan Terjemahan Hadits Kedua
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ،
عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ قَامَتْ عَلَى أَحَدِكُمُ الْقِيَامَةُ، وَفِي يَدِهِ
فَسِيلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا
Terjemahannya
: Telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Hammad
bin Salamah, dari Hisyam, dari Anas bin Malik, Ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda : “Jika hari kiamat telah tegak, sedang di
tangan seorang di antara kalian terdapat bibit pohon korma, maka tanamlah.”[2]
3.
Teks Hadits dan Terjemahan Hadits Ketiga
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا،
فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ
صَدَقَةٌ.
Terjemahannya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Qatadah, dari Anas bin Malik, Ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah seorang muslim menanam
pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon atau tanaman tersebut dimakan
oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya”.[3]
B. Takhrij Hadits
1. Jika dilihat dari kata " قَطَعَ " pada hadits pertama, maka terdapat pada :
· Sunan Abi Daud : Kitab Adab bab 159.[4]
2. Jika dilihat dari kata "
غَرَسَ " pada hadits kedua, maka terdapat
pada :
· Musnad Ahmad bin Hanbal : Jilid 3 Halaman 184.[5]
3. Jika dilihat dari kata "
زَرَعَ " pada hadits ketiga, maka terdapat
pada :
· Shahih Bukhari : Kitab Khirsun Jilid 1
· Shahih Muslim : Kitab Musaqah Jilid 8,
9 dan 12
· Sunan An-Nasa’i : Kitab Ahkam Jilid 4
· Musnad Ahmad bin Hanbal : Jilid 3 halaman 141, 229 dan
242.[6]
C. Syarah Hadits
Imam Abu Dawud ditanya tentang makna hadits yang
pertama ini. Abu Dawud berkata, ”Hadits ini singkat. Artinya, barangsiapa yang
menebang pohon bidara yang biasa dipakai berteduh musafir atau binatang di
padang pasir, tanpa alasan yang jelas atau secara aniaya, Allah akan memasukkan
kepalanya di neraka”.[7]
Imam As-Suyuti, berpendapat larangan tersebut adalah pohon bidara yang
tumbuh di tanah haram. Pendapat ini dipegang oleh as-Suyuti dalam kitab Raf'ul
Khudr'an Qat'is Sidr. Ia berkata, "Menurutku makna yang terkuat adalah
larangan menebang pohon bidara yang ada di tanah haram sebagaimana yang
tercantum dalam riwayat ath-Thabrani."
Syaikh Nashiruddin Albani menyetujui pendapat As-Suyuthi tersebut di dalam
kitabnya Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah. Dalam riwayat Ath-Thabrani
di dalam Al-Ausath pada hadits Abdullah bin Hubasyi, 'Yakni pohon bidara
yang tumbuh di tanah haram.' Tambahan ini dishahihkan oleh syaikh kami dalam Silsilah
al-Ahaadits ash-Shahiihah. Oleh karena itu mengartikan hadits seperti yang
tercantum dalam riwayat tambahan tersebut lebih dikedepankan.[8]
Memasuki syarah hadits yang kedua Ahli Hadits Abad
ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Albaniy rahimahullah berkata saat memetik
faedah dari hadits-hadits di atas, “Tak ada sesuatu (yakni, dalil) yang paling
kuat menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana dalam hadits-hadits yang
mulia ini, terlebih lagi hadits yang terakhir di antaranya, karena di dalamnya
terdapat targhib (dorongan) besar untuk menggunakan kesempatan terakhir dari
kehidupan seseorang dalam rangka menanam sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia
setelah ia (si penanam) meninggal dunia. Maka pahalanya terus mengalir, dan
dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari kiamat.”[9]
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
tidak mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang
genting dan sempit seperti itu, kecuali karena perkara itu amat penting, dan
besar manfaatnya bagi seorang manusia.
Memasuki syarah hadits yang ketiga Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy rahimahullah
berkata menjelaskan faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, “Di
dalam hadits ini terdapat keutamaan menanam pohon dan tanaman, bahwa pahala
pelakunya akan terus berjalan (mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada,
serta sesuatu (bibit) yang lahir darinya sampai hari kiamat masih ada. Di dalam
hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat
hanyalah khusus bagi kaum muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi
pahala atas sesuatu yang dicuri dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung
atau sejenisnya”.[10]
Pahala sedekah yang dijanjikan oleh Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dalam hadits-hadits ini akan diraih oleh orang yang
menanam, walapun ia tidak meniatkan tanamannya yang diambil atau dirusak orang
dan hewan sebagai sedekah.
Al-Hafizh Abdur Rahman Ibnu Rajab Al-Baghdadiy rahimahullah
berkata, “Lahiriah hadits-hadits ini seluruhnya menunjukkan bahwa
perkara-perkara ini merupakan sedekah yang akan diberi ganjaran pahala bagi
orang yang menanamnya, tanpa perlu maksud dan niat”.[11]
Ada dua manfaat yang kita bisa peroleh dengan menanam
pohon atau bercocok tanam :
1. Manfaat yang
bersifat Dunia (duniawiyah)
Manfaat yang bersifat Dunia dari bercocok tanam adalah menghasilkan
produksi (menyediakan bahan makanan). Karena dalam bercocok tanam, yang bisa
mengambil manfaatnya, selain petani itu sendiri juga masyarakat dan negerinya.
Lihatlah setiap orang mengkonsumsi hasil-hasil pertanian baik sayuran dan
buah-buahan, biji-bijian maupun palawija yang kesemuanya merupakan kebutuhan
mereka. Mereka rela mengeluarkan uang karena mereka butuh kepada hasil-hasil
pertaniannya. Maka orang-orang yang bercocok tanam telah memberikan manfaat
dengan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan manusia. Sehingga hasil tanamannya
menjadi manfaat untuk masyarakat dan memperbanyak kebaikan-kebaikannya.
Bahkan manfaatnya bukan sebatas penyedian makanan bagi orang lain saja
tetapi juga dengan bercocok tanam juga menjadikan lingkungan menjadi lebih
sehat untuk manusia dimana udara menjadi segar karena tanaman menghasilkan
oksigen yang diperlukan oleh manusia untuk proses pernafasan. Tanaman berupa
pepohonan juga memberikan kerindangan bagi orang-orang yang berteduh di
bawahnya, kesejukan bagi orang yang ada di sekitarnya. Tanaman juga menjadikan
pemandangan alam yang enak dan indah dipandang. Lihatlah hamparan tanah yang
dipenuhi oleh tanam-tanaman tentunya hati dibuat senang melihatnya, perasaan
pun menjadi damai berada di dekatnya. Adapun bila melihat hamparan tanah yang
kering dan gersang dari tanaman-tanaman tentu lah kita memperoleh perasaan yang
sebaliknya.”
2. Manfaat yang
bersifat agama (diniyyah)
Manfaat yang bersifat agama yaitu berupa pahala atau ganjaran. Sesungguhnya
tanaman yang kita tanam apabila dimakan oleh manusia, binatang baik berupa
burung ataupun yang lainnya meskipun satu biji saja, sesungguhnya itu adalah
merupakan sedekah bagi penanamnya, sama saja apakah dia kehendaki ataupun
tidak, bahkan seandainya ditakdirkan bahwa seseorang itu ketika menanamnya
tidak memperdulikan perkara ini (perkara tentang apa yang dimakan dari
tanamannya merupakan sedekah) kemudian apabila terjadi tanamannya dimakan maka
itu tetap merupakan sedekah baginya.
Dari hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa perbuatan yang dilakukan
seorang muslim yang pada hakekatnya hanya berupa sebuah hal yang mubah, yaitu
bercocok tanam tetapi pelakunya dapat memperoleh pahala. Walaupun itu asalnya
bukan suatu ibadah tapi bisa bernilai ibadah dan akan mendapat pahala. Berbeda
dengan orang kafir segala perbuatannya tidak bernilai di sisi Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, walaupun mereka mereka mengklaim beribadah setiap bulan, setiap
pekan, setiap hari bahkan setiap sa’at tidaklah dianggap disisi Allah Subhanahu
Wa Ta’ala sebagai suatu ibadah. Maka hadits ini merupakan dalil
keutamaan memeluk agama islam dan meruginya menjadi orang kafir.[12]
Adapun dampak dari penebangan pohon atau penebangan hutan secara liar
adalah :
1.
Dari perspektif ekonomi kegiatan
illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan
negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh
illegal logging , mencapai Rp.30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang
muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya
pohon, tidak terpungutnya DR dan PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi
dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman
produk di masa depan (opprotunity cost). Sebenarnya pendapatan yang diperoleh
masyarakat (penebang, penyarad) dari kegiatan penebangan liar adalah sangat
kecil karena porsi pendapatan terbesar dipetik oleh para penyandang dana
(cukong). Tak hanya itu, illegal logging juga mengakibatkan timbulnya berbagai
anomali di sektor kehutanan. Salah satu anomali terburuk sebagai akibat
maraknya illegal logging adalah ancaman proses deindustrialisasi sektor
kehutanan. Artinya, sektor kehutanan nasional yang secara konseptual bersifat
berkelanjutan karena ditopang oleh sumber daya alam yang bersifat terbaharui
yang ditulang punggungi oleh aktivitas pengusahaan hutan disektor hulu dan
industrialisasi kehutanan di sektor hilir kini tengah berada di ambang
kehancuran.
2.
Dari segi sosial budaya dapat
dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan adanya
perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara
yang benar dan salah serta antara baik dan buruk. Hal tersebut disebabkan telah
lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan, sering hanya menyentuh
sasaran yang salah. Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk
dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar.
3.
Kerugian dari segi lingkungan yang
paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak
terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan,
berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta
hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan
dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka.
4.
Kemampuan tegakan (pohon) pada saat
masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen
yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin
minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya
struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan
lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya yang
berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar
dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga
kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi. Dampak yang lebih parah lagi
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan
kaidah manajemen hutan dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke
keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi (irreversible).[13]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam penjelasan hadits diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa,
pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan dibumi yang kita tempati, Dalam
kehidupan ini segala sesuatu yang kita lakukan perlu diketahui ilmunya agar
semua yang dilakukan tidak sia-sia nantinya. Begitupun terhadap alam jika kita
ingin alam mencintai kita, maka kitapun harus mencari tahu bagaimana ilmu untuk
mencitai alam.Sebenarnya ilmu semacam ini hendaknya diperkenalkan sejak usia
dini agar timbul rasa untuk mencintai alam sedini mungkin.
Mengapakah bisa semua hasil tanaman yang ditanam itu merupakan sedekah? Ini
tidaklah bertentangan bahkan sesuai dengan kaidah agama yaitu kaidah bahwa
seseorang tidak akan memperoleh kebaikan (pahala atau ganjaran) kecuali atas
hasil usahanya sendiri, demikian juga sebaliknya seseorang tidak akan
menanggung dosa orang lain. Maka kalau kita perhatikan tanaman kita merupakan
hasil usaha yang baik yang akan menjadi sedekah walaupun dimakan atau diambil
tanpa seizin kita.
وَ أَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ
مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seseorang itu tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali dari
hasil usahanya sendiri.” (QS. An Najm: 39).
Sesungguhnya tanaman yang dicuri
atau dirusak ataupun juga dimakan hewan merupakan hasil usaha dari petani maka
pantas lah kalau dia mendapat ganjaran dari tanaman yang luput dari tangannya
(tidak bisa dia panen).
B.
Saran
Makalah ini
jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan demi kesemournaan makalah ini.
[1] Imam Al-Hafiz Abi Daud Sulaiman
bin Al-Asy’athi Al-Azdiyyi As-Sijistani, Sunan Abi Daud, ( Beirut :
Maktabah Al-‘Ishriah, 1423 H ), jilid 4, hlm. 361.
[2] Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut
: Daar Al-Fikr, 1421 H), hlm. 251.
[3] Muhammad bin Isma’il Abu
‘Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1422 H),
jilid 3, hlm 103.
[4] AJ. Wensink, Mu’jam
Al-Mufahrasy li Alfaz Al-Hadits An-Nabawi, (Laiden : Maktabah Brill, 1936 M),
jilid 5, hlm. 491.
[5] Ibid, jilid 4, hlm. 479.
[6] Ibid, jilid 2, hlm. 331.
[7] Syriqitiy Djamaluddin, Tarjamah
Sunan Abi Daud, (Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1993 M), jilid 5, hlm. 42.
[8] Salim Al-Hilaliy, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah
an-Nabawiyyah, (Maktabah Imam Syafi’i, 2006 M), jilid 3, hlm. 309.
[9] Qodirun Nur, Terjemah Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shohihah, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995 M), jilid 1, hlm.
25.
[10] Imam An-Nawawiy, Al-Minhaj, (Mesir
: Daar Al-Ma’arif, 1420 H), hlm. 457.
[11] Salim Al-Hilaliy, Iqozh
Al-Himam Al-Muntaqo min Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam, (Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H), hlm. 360.
[12] Yatimin Abdullah, Studi
Akhlak Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 2007 M),
hlm. 37.
[13] Widakdo, G. dan Santoso, F.
2005. Pemerintah Lanjutkan Berantas Pembalakan Illegal. Bisnis dan Investasi.
Kompas, 15 Juni 2005.
No comments:
Post a Comment