BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tugasan
yang diberikan kepada saya ini berjudul “Ahliyyah”. Ahliyyah menjadi satu
pekara yang penting dalam kebanyakan aspek seperti jual beli, perkahwinan, dan
sebagainya. malah ia juga merupakan salah satu syarat yang menjadikan sesuatu
perbuatan itu sah disisi Islam. Perbincangan
mengenai ahliyyah berkisar tentang kedudukan ahliyyah itu sendiri seperti
kelayakan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sah dengan
mengira beberapa aspek termasuklah halangan-halangan yang menghalang seseorang
dari melakukan perbuatan tersebut. Ahliyyah merupakan salah satu unsur dan
keperluan utama yang ditetapkan dalam menetapkan hukum. Keseluruhan tindakan
menuntut kepada kelayakan dan kelayakan ini diambil kira bagi setiap orang yang
melaksanakan sesuatu akad. Syarat ahliyyah al-tasaruf dikenakan terhadap orang
yang ingin melakukan sesuatu akad. Syarat tersebut mestilah terdiri daripada
dua pihak yang berakad yang mana keduanya mestilah berkeahlian dan
berkelayakan. Oleh sebab itu ahliyyah menjadi sangat penting dalam penetapan
hukum untuk menimbangkan sesuatu perbuatan itu sah atau tidak di sisi syarak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Ahliyah ?
2.
Terbagi
berapa pembagian dari Ahliyah ?
3.
Apa
saja penghalang (‘Awaridh) Ahliyah ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui
pengertian Ahliyah.
2.
Mengetahui
pembagian dari Ahliyah.
3.
Mengetahui
apa saja yang menjadi penghalang Ahliyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ahliyah
Dari segi bahasa ahliyyah ) الاهليه
) berarti “kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya, seseoran dikatakan ahli
untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti dia mempunyai kemampuan untuk
itu.
Secara
Istilah, para ahli usul fiqh mendefinisikan ahliyyah dengan:
صفة يقدرها الشارع فى الشخص تجعله
محلا صالحا لخطاب تشريعي
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijiadikan oleh
syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara’.”
Maksudnya, Ahliyyah adalah sifat yang menunjukan seseorang
itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat
dinilai oleh syara’. Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang
bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat
menerima hak dari orang lain.[1]
Melalui defenisi diatas ini dipahami
bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah sempurna
jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
B.
Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk
bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan perkembangan jasmani
dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli usul fiqh membagi ahliyyah kepada
dua bentuk, yaitu Ahliyyah al-ada’ ( اهلية الاداء
) dan Ahliyyah al-wujub ( اهلية الوجوب
).[2]
1. Ahliyyah Al-ada’
Adalah kecakapan yang telah dimiliki
seseorang sehingga sehingga setiap perbuatan dan perkataannya telah
diperhitungkan secara syara’. Orang yang memiliki sifat ini dipandang telah
sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. dengan kecakapan ini
seseorang dianggap sebagai mukallaf, dimana semua perbuatannya diperhitungkan
oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun yang negatif.
Seseorang dipandang sebagai Ahliyyah
al-ada’ atau memiliki kecerdasan secara sempurana apabilah telah baliqh,
berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini,
seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa dan lain-lain. Khusus
berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah selain
baliqh, berakal, juga harus cerdas (Rusyd). Rusyid adalah
kemempuan seseorang untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman Allah surat
an-Nisa’ ayat 6.
وَابْتَلُواْ اليَتَامَى حَتَّىَ
إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya
: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
akwin. Kemudian menurut pendatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya". (Q.S An-nisa : 6).
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah
al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada
batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah :
a.
Adim
al-ahliyyah ( عديم الاهلية ) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.
b.
Ahliyyah
al-ada’ naqishah ( اهلية الاداء ناقصة ) atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang
telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
Penamaan Naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih
lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya dengan
hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lainnya tidak
dikenai hukum.
c.
Ahliyyah
al-ada’ kamilah ( الاداء كاملة اهلية ) atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia
yang telah mencapai usia dewasa.
Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan
tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah haid atau mens dan
para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini
didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai usia perkawinan atau umur yang
pada waktu itu telah mungkin melakukan perkawinan.[3]
2.
Ahliyyah
Al-Wujub
Ahliyyah al-wujub adalah
kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban.
Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau dari segi ia
adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir
dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli ushul membagi ahliyah
al-wujub itu kepada dua tingkatan :
a. Ahliyah al-wujub naqish ( الوجوب ناقصة اهلية ) atau
kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak
menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas
menerima hak. Sifat lemah dalam kecakapan ini disebabkan oleh karena
hanya salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada
padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk
menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu
telah memiliki hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum
lahir. Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena secarah
jelas ia belum bernama manusia.
Contah kecakapan untuk dikenahi kewajiban tetapi tidak
cakap untuk menerima hak adalah orang mati tetapi meninggalkan hutang. Dengan
kematian ia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, karena hak hanya untuk
manusia hidup. Tetapi orang mati itu tetap akan dikenai kewajiban untuk
membayar hutang yang dibuatnya semasa ia masih hidup.
a. Ahliyah al-wujub kamilah ( الوجوب كاملة اهلية
) atau kecakapan di kenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai
kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir
sampai ia sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara
pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi
kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama
yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.[4]
C. ‘Awaridh
ahliyyah
Awaridh
adalah hal-hal yang mempengaruhi kecakapan berbuat hukum. Kecakapan berbuat
hukum tidak berlaku untuk semua manusia. Karena dibatasi dengan syarat-syarat
tertentu yaitu baligh dan berakal. Yang dimana seseorang sudah mencapai umur
dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan akal, maka ia dinyatakan
cakap untuk melaksanakan hukum atau mukallaf.[5]
Kemampuan
untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal manusia, karena
hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan.
Akan tatapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah suatu yang abstrak dan sulit
diukur, dan dipastikan berbeda atara satu orang dengan yang lainnya, maka
syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkret (jelas)
dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum.Indikasi konkret itu adalah
balighnya seseorang. Penentuan bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan
keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui
mimpi yang pertama kali.[6]
Dalam perjalanan hidup seorang manusia yang telah memenuhi syarat untuk
menerima beban taklif, kadang-kadang terjadi pada dirinya sesuatu yang
menyebabkan keadaan tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum.
Oleh sebab
itu, penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari
segi akalnya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa berdasarkan hukum biologis,
akal seseorang bisa berubah, kurang, bahkan hilang. Akibatnya, mereka dianggap
tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqh
menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan
hal- hal berikut :
1.
‘Awaridh
samawiyah (halangan-halangan dari langit) Yaitu bukan
dari manusia dan bukan pula dari kemauannya.[7]
‘Awaridh
samawiyah terdiri dari beberapa macam dan hukum yang berlaku padanya berbeda
menurut bentuknya :
a. Gila (‘utah)
Yaitu kerusakan dalam akal yang
mencegah berlangsungnya perbuatuan-perbuatan dan perkataan-perkataan menurut
jalannya dan ia bertentangan dengan syarat ibadah yaitu niat. Maka tidak sah
darinya dan tidak wajib atasnya menurut perinciannya.
b. Al-it-hu (Kurang akal)
Yaitu Kelemahan dalam akal sehingga
meracau omongannya, kadang seperti omongan orang yang sehat, kadang seperti
omongan orang yang gila dan begitu pula urusan-urasan yang lain. Hukum orang
yang ma’tuh (kurang akal) sama dengan anak kecil dalam masa tamyiz dalam
seluruh urusannya.
c. Kelupaan (An-Nis-yan)
Yaitu tidak mampu menampilkan
sesuatu dalam ingatan pada waktu diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan
tidak ingat akan beban hukum yang dipikulnya. Adapun hak-hak yang menyangkut
lupa ini berbagi menjadi dua, yaitu hak-hak Allah dan hak-hak manusia atau
hamba.Hukum lupa berkaitan dengan kadua hak itu tidaklah sama. Dalam menyangkut
hak manusia, hak tidak gugur karena lupa. Dengan kata lain, lupa tidak dapat
dijadikan alasan untuk menghindarkan diri dari suatu hak.
d. Tidur
Yaitu halangan taklif halangan yang
mencegah halangan khitob, maka ia mewajibkan khitob untuk penunaian kewajiban,
akan tetapi ia tidak bertentangan dengan asal kewajiban karean ketetapan
pelaksanaannya akan tanggaung jawab. Oleh karena itu wajid qodlonya dan
mewajibkan batalnya semua ucapannya.[8]
e. Pingsan
Yaitu halangan yang mencegah
pemahaman khitob lebih banyak daipada pencegahan tidur terhadapnya, maka
berlakulah padanya apa yang berlaku dalam keadaan tidur karenaia lebih banyak
daripadanya, menjadikan membatalkan wudhu dalam keadaan bahkan dalam sholat.
f. Penyakit
Penyakit tidak bertentangan dengan
ahliyah hukum dan ibadah, karena tidak ada kekurangan dalam tanggungjawab, akal
dan ucapan. Karna itu mengandung kelemahan disyariatkanlah ibadah menurut kadar
kemampuannya.
g. Haid dan Nifas
Haid dan Nifas ini tidak
menggugurkan ahliyah kewajiban maupun penunaian. Tetapi ditetapkan bahwa
bersuci merupakan syarat dari sahnya sholat dan puasa, maka tidak mungkin
menunaikan keduanya. Tidak berlaku qodlo sembahyang, karena mengandung
kesempitan berlainan dengan puasa dan karna adanya larangan menunaikan puasa
dalam keadaan haid dan nifas. Karena mustahil bahwa satu hal dari satu segi
dilarang dan diwajibkan penunaiannya, sedangkan qodlo diwajibkan karena adanya
sebab yaitu penyaksian bulan.
h. Kematian
Kematian menggugurkan hukum-hukum
dunia taklif seperti zakat, puasa dan haji dan lain-lainya, dan tinggallah dosa
kewajiban yang disia-siakannya. Bila sebelum mati ada kewajiban berupa hak
orang lain yang bersangkutan dengannya dalam bentuk meteri maka hak itu tetap
berlaku selama materi itu masih ada. Seperti amanat, titipan, barang
rampasan, dan barang yang dibeli belum dibayar. Yang dimaksud dengan kewajiban
disini adalah kembalinya hak tersebut kepada pemiliknya. Ini harus
berlaku meskipun yang berkewajiban sudah mati. Adapun bila orang yang mati
mempunyai hutang dan meninggalkan harta maka wajib dibayar, dan orang yang mati
mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta maka gugurlah tuntutan terhadap
orang mati itu. Dalam hal ini menurut Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan
Al-Syaibani dan Imam Mujtahid berpendapat bahwa jaminan yang diberikan sesudah
kematian adalah sah, karena orang mati bebas dari kewajiban membayar hutang.
Karnanya ia dituntut menyelesaikan hutangnya bila ada hartanya. Bila ada penjamin
untuk membayar hutang maka pihak berpiutang boleh mengambil.
2. ‘Awaridh Muktasabah (Halangan yang
dibuat sendiri).
Yaitu halangan
yang menimpa seseorang yang menghadapi beban hukum yang timbulnya tersebab oleh
perbuatan manusia.[9]
Yang termasuk
kedalam halangan bentuk ini adalah sebagai berikut :
a.
Mabuk.
Yaitu hilangnya akal karena khamar
atau yang menyerupainya, hingga kacau omongannya dan mengigau. Mabuk dari segi
cara-cara penyebabnya terbagi menjadi dua :
1.) Mabuk yang disebabkan oleh usaha
yang pelakunya dinyatakan tidak berdosa, seperti mabuk disebabkan oleh khamar
dalam keadaan terpaksa, mabuk karena makan atau minum obat yang ia tidak tau
pengaruhnya.
2.) Mabuk yang disebabkan oleh usaha
yang terlarang, seperti sengaja meminum-minuman keras yang ia tahu minuman itu
memabukkan dan tahu pula bahwa perbuatan itu dilarang. Hukum yang ditimbulkan
oleh mabuk bentuk pertama berbeda dengan yang ditimbulkan oleh mabuk bentuk
kedua. Dikarnakan Mabuk bentuk pertama tidak dituntut bila ia melakukan
pelanggaran yang menyangkut hak Allah karena ia diberi udzur atas mabuknya,
baik dalam bentuk tindakan ataupun ucapan.
Tidak
berdosa meninggalkan amal ibadah mahdhah salama ia mabuk. Keadaan orang
mabuk dalam bentuk ini hukumnya sama dengan orang pingsan atau tidur, tidak sah
tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Adapun mabuk dalam bentuk
kedua, yaitu berdosa dalam mabuknya itu, mengenai hukum yang berlaku adanya
perbedaan pendapat dikalangan ulama :
a.) Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
sebagaian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mabuk dalam bentuk kedua ini
dituntut segala bentuk tindakannya secara sempurna. Artinya tidak menggugurkan
sama sekali dari beban hukum. Segala tindakan dan ucapan adalah sebagaimana
tindakan dan ucapan orang sehat dan dikenai sanksi atas perbuatannya
sebagaimana sanksi yang dibebankan atas orang sehat.
b.) Imam Ahmad dan Imam Syafi’I serta
Imam Malik mengatakan bahwa orang mabuk tidak menyadari apa yang
diucapkannya tidak sah akadnya, karena yang menjadi dasar dari semua akad
adalah kerelaan. Bila hilang kesadarannya, maka tidak lagi diperhitungkan
relanya itu.[10]
b.
Safih (bodoh)
Yaitu kelemahan
yang terdapat pada seseorang yang menyebabkan ia berbuat dalam hartanya
menyalahi apa yang dikehendakai oleh akal yang sehat. Safih tidak meniadakan
sesuatu pun dari hukum syara’. Terhadapnya berlaku tuntutan syara’, baik yang
berhadapan dengan hak-hak Allah maupun yang berhadapan dengan hak-hak hamba
karena ia mukallaf secara penuh. Apabila ia mengerjakan suatu kejahatan, ia
dikenai oleh sanksi hukum sebagaimana yang berlaku terhadap orang yang tidak
safih dengan tidak kurang sedikitpun. Safih dapat perlindungan syara’ atas hartanya dari kerusakan
hanya karena kelemahan pada dirinya.
Apabila sifat safih mengiringi
kedewasaannya, ia dihalangi bertindak atas hartanya. Dalam hal ini para ulama
bersepakat. Dasarnya adalah Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 5 yang
artinya “Jangan kamu berikan harta kepada orang safih yang Allah telah
menjadikanmu sebagai pemeliharanya”. Kemudian Allah dalam surat berikutnya
menggantungkan penyerahan harta kepadanya dengan sifat cerdas, sebagaimana
terdapat dalam surat al-Nisa ayat 6 yang artinya : “Ujilah anak yatim
(anak-anak) itu sampai ia mencapai umur dewasa; jika kamu telah mengetahui ia
cerdas berikanlah harta (nya) kepadanya.”
c.
Jahil
(ketidaktahuan tentang adanya hukum)
Jahil
terbagi menjadi dua bentuk, Yaitu :
1.) Pengetahuan bersifat umum yang tidak
mungkin seseorang mengatakan ketidaktahuannya, kecuali orang yang akalnya tidak
memungkinkan untuk mengetahuinya; seperti shalat lima waktu, puasa Rhamadhan,
ibadah haji dan zakat.
2.) Pengetahuan secara khusus yaitu menyangkut
furu’ ibadat atau pengetahuan yang tidak mungkin dicapai kecuali oleh
orang-orang yang secara khusus mempelajarinya atau ulama.[11]
d.
Perjalanan (safar)
Perjalanan
tidaklah menyalahi ahliyah hukum, akan tetapi As-Syar’i menjadikannya sebab
keringanan. Maka disyariatkan shalat dua rokaat dan diijinkan dalam perjalanan
meninggalkan puasa. Walaupun perjalanan baru dimulai ia boleh berbuka atau
berpuasa, tapi jika berbuka ia tidak perlu membayar khafarah karena kemungkinan
timbulnya syubhat. Ditetapkannya qashar atas empat rokaat dengan sekedar
memulai perjalanan bukan diharuskan sesudah menempuh perjalanan, karena
perjalanan dianggap terwujud setelah berjalan selama tiga hari tiga malam atau
jarak yang sama dengan itu.[12]
e.
Tersalah (khatha’)
Yaitu
menyengaja melakukan suatu perbuatan pada tempat yang dituju oleh suatu
kejahatan. Umpamanya seseorang berkumur-kumur dalam keadaan sedang berpuasa,
dan tanpa sengaja air masuk kedalam perutnya.
Kesalahan
ditinjau dari bentuk perbuatannya terbagi menjadi tiga yaitu :
1.) Kesalahan dalam perbuatan; seperti
orang melakukan perbuatan, ternyata akibat perbuatan lain yang muncul sebagi
akibat dari kesalahannya dalam berbuat. Umpamanya memukul seseorang dengan
alat, biasanya tidak merusak tetapi akibat perbuatan itu orang lain mati.
2.) Kesalahan dalam tujuan; dalam arti
seorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kejahatan, tetapi karena
tersalah, perbuatannya itu menghasilkan suatu kejahatan. Contohnya Seorang
membunuh dalam pelaksanaan hukuman qishash tetapi kemudian ternyata yang
melakukan kejahatan bukan orang yang menjalankan qishash.
3.) Kesalahan dalam perhitungan
sebagaimana yang berlaku pada sebagian dokter dalam hubungannya dengan tugasnya
mengobati pasiennya. Misalnya seorang dokter mendiagnosa suatu penyakit,
kemudian menetapkan obat untuk penyakit itu; ternyata bahwa obat yang
sebenarnya bukan seperti yang ditetapkannya itu, hingga obat tersebut
menimbulkan kematian si pasien. Bila dokter dalam melaksanakan tugasnya sudah
berhati-hati dan berusaha maksimal, maka dokter terlepas dari pertanggung
jawaban hukum, alasannya ialah bahwa yang dilakukannya itu menurut asalnya
diizinkan. Dan perbuatan yang dilakukannya bukan dengan niat membunuh.
f.
Terpaksa/ Paksaan (Ikroh)
Ialah
menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya.[13]
Atau menyuruh orang lain berbuat sesuatu yang tidak desenanginya baik perkataan
maupun perbuatan sehingga andaikata ia dibiarkan niscaya tidaklah dilakukannya.
Dalam hukum terdapat dua kata yaitu ikhtiar dan ridho, yang dimaksud dengan
ikhtiar yaitu mengutamakan pelaksanaan suatu perbuatan dari pada
meninggalkannya dan ridho yaitu kesenangan melakukan sesuatu.
Ulama Hanafih membagi Ikroh menjadi
dua bagian :
1.)
Ikroh Mulji yaitu bila
sebab yang mengharuskannya berbuat membahayakan jiwa atau anggota tubuh dan
besar kemungkinan terjadinya atas pelakunya. Hukumnya ialah rusaknya ikhtiar
dan hilangnya keridhoan.
2.) Ikroh ghoiru mulji yaitu bila
sebab yang menimbulkan ancaman adalah pukulan yang tidak menyebabkan kebinasaan
anggota tubuh atau penjara. Hukumnya
ialah hilangnya keridhoan, tetapi tidak rusak ikhtiarnya.
Yang meraka perhatikan dalam pembagian ini ialah kesanggupan
bersabar dan tidaknya. Dalam Ikroh mulji tak ada kesanggupan bersabar
bersamanya dan oleh karena itu mereka menganggap ikhtiarnya fasid dan
Ikroh ghoiru mulji bisa bersabar atasnya, maka mereka tidak menganggapnya
berpengaruh dalam ikhtiarnya. Dikarnakan antara manusia ada yang tak mampu
bersabar atas sedikit pukulan dan kurungan bahkan penghinaan dan ada juga yang
sanggup bersabar atas segala sesuatu bahkan maut.
Imam
Syafii membagi ikroh menjadi dua bagian :
1.) Ikroh dengan hak, merupakan tidaklah
terputus hubungan perbuatan dari pelakunya, maka sahlah penjualan orang
berhutang yang mampu melunasi hutangnya atas hartanya untuk pelunasan itu.
2.) Ikroh tanpa hak, terdapat dua macam yaitu :
a.) Paksaan untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan
As-Syari’ dengan sebab paksaan itu. Hukumnya Ialah terputusnya hubungan
perbuatan dengan pelakunya baik perkataan maupun perbuatan, karena sahnya
perkataan hanyalah dengan tujuan makna dan sahnya perbuatan hanyalah dengan
ikhtiarnya sedang ikroh merusakkan keduanya.
b.) Paksaan atas perbuatan yang tidak
dibolehkan As-Syari’ melakukannya dengan ikroh seperti pembunuhan dan zina.
Ikroh dengan penjara seumur hidup, pukulan yang menyakitkan maupun pembunuhan
hukumnya sama menurut Syafii berlainan dengan pembinasaan harta dan
menghilangkan kedudukan.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-ahliyyah merupakan kelayakan yang ditaklifkan kepada
setiap manusia yang hidup. Ia merupakan satu kelayakan yang dituntut kepada
setiap manusia yang berkelayakan untuk menerima atau melaksanakan tanggungjawab
tersebut sama ada dalam aspek muamalah ictiqadiyyah ibadah dan sebagainya.
Kelayakan yang ditaklifkan bergantung kepada peringkat serta tahap perkembangan
manusia iaitu dari peringkat janin, peringkat belum mumayyiz, peringkat
mumayyiz, peringkat baligh dan peringkat rushd atau dipanggil sebagai tahap
kecerdikan akal. Jenis al-ahliyyah yang telah digariskan mengikut peringkat
ialah al-ahliyyah al-wujub dan al-ahliyyah al-ada’. Dua jenis al-ahliyyah ini
dibahagikan pula kepada dua cabang iaitu wujub naqisah dan wujub kamilah,
begitu juga al-ahliyyah al-ada’ sama seperti yang tersebut. Terdapat dua
kategori halangan yang akan menyebabkan seseorang manusia itu terangkat dalam
senarai al-ahliyyah antaranya halangan samawiyyah dan halangan muktasabah.
B. Saran
Demikianlah makalah yang membahas tentang Ahliyyah ini kami
buat, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu saran dan
kritik sangat kami harapkan.
No comments:
Post a Comment