Saturday, March 26, 2016

MAKALAH AHLIYYAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Tugasan yang diberikan kepada saya ini berjudul “Ahliyyah”. Ahliyyah menjadi satu pekara yang penting dalam kebanyakan aspek seperti jual beli, perkahwinan, dan sebagainya. malah ia juga merupakan salah satu syarat yang menjadikan sesuatu perbuatan itu sah disisi Islam.  Perbincangan mengenai ahliyyah berkisar tentang kedudukan ahliyyah itu sendiri seperti kelayakan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sah dengan mengira beberapa aspek termasuklah halangan-halangan yang menghalang seseorang dari melakukan perbuatan tersebut. Ahliyyah merupakan salah satu unsur dan keperluan utama yang ditetapkan dalam menetapkan hukum. Keseluruhan tindakan menuntut kepada kelayakan dan kelayakan ini diambil kira bagi setiap orang yang melaksanakan sesuatu akad. Syarat ahliyyah al-tasaruf dikenakan terhadap orang yang ingin melakukan sesuatu akad. Syarat tersebut mestilah terdiri daripada dua pihak yang berakad yang mana keduanya mestilah berkeahlian dan berkelayakan. Oleh sebab itu ahliyyah menjadi sangat penting dalam penetapan hukum untuk menimbangkan sesuatu perbuatan itu sah atau tidak di sisi syarak.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Ahliyah ?
2.      Terbagi berapa pembagian dari Ahliyah ?
3.      Apa saja penghalang (‘Awaridh) Ahliyah ?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.      Mengetahui pengertian Ahliyah.
2.      Mengetahui pembagian dari Ahliyah.
3.      Mengetahui apa saja yang menjadi penghalang Ahliyah.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ahliyah
Dari segi bahasa ahliyyah ) الاهليه ) berarti “kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya, seseoran dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti dia mempunyai kemampuan untuk itu.
Secara Istilah, para ahli usul fiqh mendefinisikan ahliyyah dengan:
صفة يقدرها الشارع فى الشخص تجعله محلا صالحا لخطاب تشريعي
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijiadikan oleh syari’ untuk menentukan  seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.”
Maksudnya, Ahliyyah adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain.[1]
Melalui defenisi diatas ini dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
B.       Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan perkembangan jasmani dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli usul fiqh membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu Ahliyyah al-ada’ ( اهلية الاداء ) dan Ahliyyah al-wujub ( اهلية الوجوب ).[2]
1.    Ahliyyah Al-ada’
Adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga sehingga setiap perbuatan dan perkataannya telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang memiliki sifat ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. dengan kecakapan ini seseorang dianggap sebagai mukallaf, dimana semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun yang negatif.
Seseorang dipandang sebagai Ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecerdasan secara sempurana apabilah telah baliqh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah selain baliqh, berakal, juga harus cerdas (Rusyd). Rusyid adalah kemempuan seseorang untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman Allah surat an-Nisa’ ayat 6.
وَابْتَلُواْ اليَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk akwin. Kemudian menurut pendatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya". (Q.S An-nisa : 6).
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah :
a.    Adim al-ahliyyah ( عديم الاهلية ) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.
b.    Ahliyyah al-ada’ naqishah ( اهلية الاداء ناقصة ) atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan Naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lainnya tidak dikenai hukum.
c.    Ahliyyah al-ada’ kamilah ( الاداء كاملة اهلية ) atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin melakukan perkawinan.[3]


2.    Ahliyyah Al-Wujub
Ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli ushul membagi ahliyah al-wujub itu kepada dua tingkatan :
a.       Ahliyah al-wujub naqish ( الوجوب ناقصة اهلية ) atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Sifat lemah dalam kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu telah memiliki hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena secarah jelas ia belum bernama manusia.
Contah kecakapan untuk dikenahi kewajiban tetapi tidak cakap untuk menerima hak adalah orang mati tetapi meninggalkan hutang. Dengan kematian ia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, karena hak hanya untuk manusia hidup. Tetapi orang mati itu tetap akan dikenai kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya semasa ia masih hidup.
a.       Ahliyah al-wujub kamilah ( الوجوب كاملة اهلية ) atau kecakapan di kenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.[4]



C.      ‘Awaridh ahliyyah
Awaridh adalah hal-hal yang mempengaruhi kecakapan berbuat hukum. Kecakapan berbuat hukum tidak berlaku untuk semua manusia. Karena dibatasi dengan syarat-syarat tertentu yaitu baligh dan berakal. Yang dimana seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan akal, maka ia dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum atau mukallaf.[5]
Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal manusia, karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tatapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah suatu yang abstrak dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda atara satu orang dengan yang lainnya, maka syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkret (jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum.Indikasi konkret itu adalah balighnya seseorang. Penentuan bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali.[6] Dalam perjalanan hidup seorang manusia yang telah memenuhi syarat untuk menerima beban taklif, kadang-kadang terjadi pada dirinya sesuatu yang menyebabkan keadaan tertentu tidak dapat melaksanakan beban hukum.
Oleh sebab itu, penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa berdasarkan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang, bahkan hilang. Akibatnya, mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal- hal berikut :
1.      ‘Awaridh samawiyah (halangan-halangan dari langit) Yaitu bukan dari manusia dan bukan pula dari kemauannya.[7] ‘Awaridh samawiyah terdiri dari beberapa macam dan hukum yang berlaku padanya berbeda menurut bentuknya :
a.       Gila (‘utah)
Yaitu kerusakan dalam akal yang mencegah berlangsungnya perbuatuan-perbuatan dan perkataan-perkataan menurut jalannya dan ia bertentangan dengan syarat ibadah yaitu niat. Maka tidak sah darinya dan tidak wajib atasnya menurut perinciannya.
b.      Al-it-hu (Kurang akal)
Yaitu Kelemahan dalam akal sehingga meracau omongannya, kadang seperti omongan orang yang sehat, kadang seperti omongan orang yang gila dan begitu pula urusan-urasan yang lain. Hukum orang yang ma’tuh (kurang akal) sama dengan anak kecil dalam masa tamyiz dalam seluruh urusannya.
c.       Kelupaan (An-Nis-yan)
Yaitu tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akan beban hukum yang dipikulnya. Adapun hak-hak yang menyangkut lupa ini berbagi menjadi dua, yaitu hak-hak Allah dan hak-hak manusia atau hamba.Hukum lupa berkaitan dengan kadua hak itu tidaklah sama. Dalam menyangkut hak manusia, hak tidak gugur karena lupa. Dengan kata lain, lupa tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindarkan diri dari suatu hak.
d.      Tidur
Yaitu halangan taklif halangan yang mencegah halangan khitob, maka ia mewajibkan khitob untuk penunaian kewajiban, akan tetapi ia tidak bertentangan dengan asal kewajiban karean ketetapan pelaksanaannya akan tanggaung jawab. Oleh karena itu wajid qodlonya dan mewajibkan batalnya semua ucapannya.[8]
e.       Pingsan
Yaitu halangan yang mencegah pemahaman khitob lebih banyak daipada pencegahan tidur terhadapnya, maka berlakulah padanya apa yang berlaku dalam keadaan tidur karenaia lebih banyak daripadanya, menjadikan membatalkan wudhu dalam keadaan bahkan dalam sholat.
f.       Penyakit
Penyakit tidak bertentangan dengan ahliyah hukum dan ibadah, karena tidak ada kekurangan dalam tanggungjawab, akal dan ucapan. Karna itu mengandung kelemahan disyariatkanlah ibadah menurut kadar kemampuannya.
g.      Haid dan Nifas
Haid dan Nifas ini tidak menggugurkan ahliyah kewajiban maupun penunaian. Tetapi ditetapkan bahwa bersuci merupakan syarat dari sahnya sholat dan puasa, maka tidak mungkin menunaikan keduanya. Tidak berlaku qodlo sembahyang, karena mengandung kesempitan berlainan dengan puasa dan karna adanya larangan menunaikan puasa dalam keadaan haid dan nifas. Karena mustahil bahwa satu hal dari satu segi dilarang dan diwajibkan penunaiannya, sedangkan qodlo diwajibkan karena adanya sebab yaitu penyaksian bulan.
h.      Kematian
Kematian menggugurkan hukum-hukum dunia taklif seperti zakat, puasa dan haji dan lain-lainya, dan tinggallah dosa kewajiban yang disia-siakannya. Bila sebelum mati ada kewajiban berupa hak orang lain yang bersangkutan dengannya dalam bentuk meteri maka hak itu tetap berlaku selama materi itu masih ada. Seperti amanat, titipan, barang rampasan, dan barang yang dibeli belum dibayar. Yang dimaksud dengan kewajiban disini adalah kembalinya hak tersebut kepada pemiliknya. Ini harus berlaku meskipun yang berkewajiban sudah mati. Adapun bila orang yang mati mempunyai hutang dan meninggalkan harta maka wajib dibayar, dan orang yang mati mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta maka gugurlah tuntutan terhadap orang mati itu. Dalam hal ini menurut Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani dan Imam Mujtahid berpendapat bahwa jaminan yang diberikan sesudah kematian adalah sah, karena orang mati bebas dari kewajiban membayar hutang. Karnanya ia dituntut menyelesaikan hutangnya bila ada hartanya. Bila ada penjamin untuk membayar hutang maka pihak berpiutang boleh mengambil.
2.      ‘Awaridh Muktasabah (Halangan yang dibuat sendiri). Yaitu halangan yang menimpa seseorang yang menghadapi beban hukum yang timbulnya tersebab oleh perbuatan manusia.[9] Yang termasuk kedalam halangan bentuk ini adalah sebagai berikut :
a.       Mabuk.
Yaitu hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya, hingga kacau omongannya dan mengigau. Mabuk dari segi cara-cara penyebabnya terbagi menjadi dua :
1.)    Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang pelakunya dinyatakan tidak berdosa, seperti mabuk disebabkan oleh khamar dalam keadaan terpaksa, mabuk karena makan atau minum obat yang ia tidak tau pengaruhnya.
2.)    Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang terlarang, seperti sengaja meminum-minuman keras yang ia tahu minuman itu memabukkan dan tahu pula bahwa perbuatan itu dilarang. Hukum yang ditimbulkan oleh mabuk bentuk pertama berbeda dengan yang ditimbulkan oleh mabuk bentuk kedua. Dikarnakan Mabuk bentuk pertama tidak dituntut bila ia melakukan pelanggaran yang menyangkut hak Allah karena ia diberi udzur atas mabuknya, baik dalam bentuk tindakan ataupun ucapan.
Tidak berdosa meninggalkan amal ibadah mahdhah salama ia mabuk. Keadaan orang mabuk dalam bentuk ini hukumnya sama dengan orang pingsan atau tidur, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Adapun mabuk dalam bentuk kedua, yaitu berdosa dalam mabuknya itu, mengenai hukum yang berlaku adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama :
a.)      Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagaian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mabuk dalam bentuk kedua ini dituntut segala bentuk tindakannya secara sempurna. Artinya tidak menggugurkan sama sekali dari beban hukum. Segala tindakan dan ucapan adalah sebagaimana tindakan dan ucapan orang sehat dan dikenai sanksi atas perbuatannya sebagaimana sanksi yang dibebankan atas orang sehat.
b.)      Imam Ahmad dan Imam Syafi’I serta Imam Malik mengatakan bahwa orang   mabuk tidak menyadari apa yang diucapkannya tidak sah akadnya, karena yang menjadi dasar dari semua akad adalah kerelaan. Bila hilang kesadarannya, maka tidak lagi diperhitungkan relanya itu.[10]
b.      Safih (bodoh)
Yaitu kelemahan yang terdapat pada seseorang yang menyebabkan ia berbuat dalam hartanya menyalahi apa yang dikehendakai oleh akal yang sehat. Safih tidak meniadakan sesuatu pun dari hukum syara’. Terhadapnya berlaku tuntutan syara’, baik yang berhadapan dengan hak-hak Allah maupun yang berhadapan dengan hak-hak hamba karena ia mukallaf secara penuh. Apabila ia mengerjakan suatu kejahatan, ia dikenai oleh sanksi hukum sebagaimana yang berlaku terhadap orang yang tidak safih dengan tidak kurang sedikitpun. Safih dapat perlindungan syara’ atas hartanya dari kerusakan hanya karena kelemahan pada dirinya.
Apabila sifat safih mengiringi kedewasaannya, ia dihalangi bertindak atas hartanya. Dalam hal ini para ulama bersepakat. Dasarnya adalah Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 5 yang artinya “Jangan kamu berikan harta kepada orang safih yang Allah telah menjadikanmu sebagai pemeliharanya”. Kemudian Allah dalam surat berikutnya menggantungkan penyerahan harta kepadanya dengan sifat cerdas, sebagaimana terdapat dalam surat al-Nisa ayat 6 yang artinya : “Ujilah anak yatim (anak-anak) itu sampai ia mencapai umur dewasa; jika kamu telah mengetahui ia cerdas berikanlah harta (nya) kepadanya.”
c.       Jahil (ketidaktahuan tentang adanya hukum)
Jahil terbagi menjadi dua bentuk, Yaitu :
1.)    Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin seseorang mengatakan ketidaktahuannya, kecuali orang yang akalnya tidak memungkinkan untuk mengetahuinya; seperti shalat lima waktu, puasa Rhamadhan, ibadah haji dan zakat.
2.)    Pengetahuan secara khusus yaitu menyangkut furu’ ibadat atau pengetahuan yang tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang-orang yang secara khusus mempelajarinya atau ulama.[11]
d.      Perjalanan (safar)
Perjalanan tidaklah menyalahi ahliyah hukum, akan tetapi As-Syar’i menjadikannya sebab keringanan. Maka disyariatkan shalat dua rokaat dan diijinkan dalam perjalanan meninggalkan puasa. Walaupun perjalanan baru dimulai ia boleh berbuka atau berpuasa, tapi jika berbuka ia tidak perlu membayar khafarah karena kemungkinan timbulnya syubhat. Ditetapkannya qashar atas empat rokaat dengan sekedar memulai perjalanan bukan diharuskan sesudah menempuh perjalanan, karena perjalanan dianggap terwujud setelah berjalan selama tiga hari tiga malam atau jarak yang sama dengan itu.[12]
e.       Tersalah (khatha’)
Yaitu menyengaja melakukan suatu perbuatan pada tempat yang dituju oleh suatu kejahatan. Umpamanya seseorang berkumur-kumur dalam keadaan sedang berpuasa, dan tanpa sengaja air masuk kedalam perutnya.
Kesalahan ditinjau dari bentuk perbuatannya terbagi menjadi tiga yaitu :
1.)    Kesalahan dalam perbuatan; seperti orang melakukan perbuatan, ternyata akibat perbuatan lain yang muncul sebagi akibat dari kesalahannya dalam berbuat. Umpamanya memukul seseorang dengan alat, biasanya tidak merusak tetapi akibat perbuatan itu orang lain mati.
2.)    Kesalahan dalam tujuan; dalam arti seorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kejahatan, tetapi karena tersalah, perbuatannya itu menghasilkan suatu kejahatan. Contohnya Seorang membunuh dalam pelaksanaan hukuman qishash tetapi kemudian ternyata yang melakukan kejahatan bukan orang yang menjalankan qishash.
3.)    Kesalahan dalam perhitungan sebagaimana yang berlaku pada sebagian dokter dalam hubungannya dengan tugasnya mengobati pasiennya. Misalnya seorang dokter mendiagnosa suatu penyakit, kemudian menetapkan obat untuk penyakit itu; ternyata bahwa obat yang sebenarnya bukan seperti yang ditetapkannya itu, hingga obat tersebut menimbulkan kematian si pasien. Bila dokter dalam melaksanakan tugasnya sudah berhati-hati dan berusaha maksimal, maka dokter terlepas dari pertanggung jawaban hukum, alasannya ialah bahwa yang dilakukannya itu menurut asalnya diizinkan. Dan perbuatan yang dilakukannya bukan dengan niat membunuh.
f.       Terpaksa/ Paksaan (Ikroh)
Ialah menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya.[13] Atau menyuruh orang lain berbuat sesuatu yang tidak desenanginya baik perkataan maupun perbuatan sehingga andaikata ia dibiarkan niscaya tidaklah dilakukannya. Dalam hukum terdapat dua kata yaitu ikhtiar dan ridho, yang dimaksud dengan ikhtiar yaitu mengutamakan pelaksanaan suatu perbuatan dari pada meninggalkannya dan ridho yaitu kesenangan melakukan sesuatu.
Ulama Hanafih membagi Ikroh menjadi dua bagian :
1.)    Ikroh Mulji yaitu bila sebab yang mengharuskannya berbuat membahayakan jiwa atau anggota tubuh dan besar kemungkinan terjadinya atas pelakunya. Hukumnya ialah rusaknya ikhtiar dan hilangnya keridhoan.
2.)    Ikroh ghoiru mulji yaitu bila sebab yang menimbulkan ancaman adalah pukulan yang tidak menyebabkan kebinasaan anggota tubuh atau penjara. Hukumnya ialah hilangnya keridhoan, tetapi tidak rusak ikhtiarnya.
Yang meraka perhatikan dalam pembagian ini ialah kesanggupan bersabar dan tidaknya. Dalam Ikroh mulji tak ada kesanggupan bersabar bersamanya dan oleh karena itu mereka menganggap ikhtiarnya fasid dan Ikroh ghoiru mulji bisa bersabar atasnya, maka mereka tidak menganggapnya berpengaruh dalam ikhtiarnya. Dikarnakan antara manusia ada yang tak mampu bersabar atas sedikit pukulan dan kurungan bahkan penghinaan dan ada juga yang sanggup bersabar atas segala sesuatu bahkan maut.
Imam Syafii membagi ikroh menjadi dua bagian :
1.)    Ikroh dengan hak, merupakan tidaklah terputus hubungan perbuatan dari pelakunya, maka sahlah penjualan orang berhutang yang mampu melunasi hutangnya atas hartanya untuk pelunasan itu.
2.)    Ikroh tanpa hak, terdapat dua macam yaitu :
a.)    Paksaan untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan As-Syari’ dengan sebab paksaan itu. Hukumnya Ialah terputusnya hubungan perbuatan dengan pelakunya baik perkataan maupun perbuatan, karena sahnya perkataan hanyalah dengan tujuan makna dan sahnya perbuatan hanyalah dengan ikhtiarnya sedang ikroh merusakkan keduanya.
b.)    Paksaan atas perbuatan yang tidak dibolehkan As-Syari’ melakukannya dengan ikroh seperti pembunuhan dan zina. Ikroh dengan penjara seumur hidup, pukulan yang menyakitkan maupun pembunuhan hukumnya sama menurut Syafii berlainan dengan pembinasaan harta dan menghilangkan kedudukan.[14]







BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Al-ahliyyah merupakan kelayakan yang ditaklifkan kepada setiap manusia yang hidup. Ia merupakan satu kelayakan yang dituntut kepada setiap manusia yang berkelayakan untuk menerima atau melaksanakan tanggungjawab tersebut sama ada dalam aspek muamalah ictiqadiyyah ibadah dan sebagainya. Kelayakan yang ditaklifkan bergantung kepada peringkat serta tahap perkembangan manusia iaitu dari peringkat janin, peringkat belum mumayyiz, peringkat mumayyiz, peringkat baligh dan peringkat rushd atau dipanggil sebagai tahap kecerdikan akal. Jenis al-ahliyyah yang telah digariskan mengikut peringkat ialah al-ahliyyah al-wujub dan al-ahliyyah al-ada’. Dua jenis al-ahliyyah ini dibahagikan pula kepada dua cabang iaitu wujub naqisah dan wujub kamilah, begitu juga al-ahliyyah al-ada’ sama seperti yang tersebut. Terdapat dua kategori halangan yang akan menyebabkan seseorang manusia itu terangkat dalam senarai al-ahliyyah antaranya halangan samawiyyah dan halangan muktasabah.

B.       Saran
Demikianlah makalah yang membahas tentang Ahliyyah ini kami buat, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan.











[1] Nasrun Haroen, M.A. Ushul Fiqh (Jakarta, 1997),  h. 308.
[2] Amir Syarifuddin . Usuk Fiqh “Metode Mnegkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip” (Jakarta, 2004) h. 279.
[3] Amir Syarifuddin. Usul Fiqh, (Ciputat:1997), h. 279
[4] Ibid, h. 357-358
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarata: Logos.1997). Cet.ke-1, Jilid1, h.385
[6] Ibid, h. 335 – 336
[7] Al-Khudhori Biek, Muhammad, Terjemah Ushul Fiqih, alih bahasa Zaid H. Al-Hamid, Raja Murah, (Pekalongan, 1982), h.120
[8] Ibid, hal.120
[9] Amir Syarifuddin , Op cit, h.  371
[10] Ibid, h. 373
[11] Ibid, h.  375 – 377
[12] Al-Khudhori Biek, Op cit, h. 130 - 131
[13] Ibid, h. 132-133
[14] Ibid, h.132-134

No comments:

Post a Comment