BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya masih baru
teruji dari segi sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di kalangan
ulama hadis sendiri mengatakan bahwa yang disebut hadis shohih tentulah hadis
shahih dari segi sanad maupun matannya. Akibatnya, kritik matan terhadap
hadis-hadis shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu.
Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad
sebuah hadis sehat atau shahih maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak
lagi yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi matan hadis.
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan
argumen yang kuat (hujjah) apabila memenuhi syarat-syarat keshahihan, baik dari
aspek sanad maupun matan. Syarat-syarat terpenuhinya keshahihan ini sangat
diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang dimaksud, berakibat pada realitas ajaran Islam yang kurang
relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya, dari yang
diajarkan Rasulullah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan kritik
matan ?
2.
Bagaimana sejarah kritik matan ?
3.
Bagaimana Metodologi kritik matan
hadits ?
4.
Apa saja langkah-langkah dalam
melakukan kritik matan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah Kritik Matan
Pegertian kata kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian
sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau
membantu memperbaiki pekerjaan. Sedangkan kata matan secara etimologi
adalah punggung jalan atau muka jalan, tanah yang tinggi dan keras. Secara
terminology kata matan (matnul hadis) berarti materi berita yang
berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi SAW yang terletak setelah sanad
yang terakhir. Secara umum, matan dapat diartikan selain sesuatu
pembicaraan yang berasal/ tentang Nabi, juga berasal/ tentang sahabat atau
Tabi’in.[1]
Kritik matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh
muhadditsin, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap kritik sanad
hadis. Tindakan tersebut bukan tanpa ulasan. Menurut mereka bagaimana mungkin
dapat dikatakan hadis Nabi kalau tidak ada silsilah yang menghubungkan kita
sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad saw). Kalimat yang baik susunan
katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan
sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada
Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sabda hadis yang baik, apabila matannya
tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.[2]
Ilmu kritik hadis, walaupun belakangan menjadi disiplin ilmu tersendiri
dalam wilayah ilmu hadis. Cikal bakal atau praktiknya sebenarnya telah tumbuh
sejak masa rasulullah. Umar bin khattab umpamanya, ketika ia menerima kabar
dari seseorang yang datang kerumahnya, bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya,
langsung menkonfirmasikan berita tersebut kepada Rasulullah, Rasulullah
menjawab, “tidak”. Umarnya akhirnya mengetahui bahwa Rasul hanya bersumpah
untuk tidak mengumpuli istri-istrinya sebulan.[3]
Pada masa Nabi, seperti sangat mudah, karena keputusan tentang otentitas
sebuah hadis berada di tangan Nabi sendiri. Lain halnya sesudah Nabi wafat,
kritik hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada Nabi,
melainkan menanyakan kepada orang ikut mendengar atau melihat hadis itu dari nabi,
seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq.
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat, Aisyah binti
Abu Bakar RA, misalnya pernah mengkritik hadis Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan
yang berbunyi: (sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya).
Aisyah mengatakan bahwa periwayat keliru dalam menyampaikan hadis tersbut
sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW
lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat
sedang meratap diatasnya.[4]
Rasusulullah juga bersabda : (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si
mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata
cukuplah Al-Qur’an bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu
Hurairah RA maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan mengutip surah
Al-An’am (6) ayat 264 artinya:”....dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain....” beberapa sahabat juga melakukan hal yang sama,
seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Absullah bin Mas;ud, dan
Abdullah bin Abbas demikian pula Abdullah bin Umar, mereka tergolong kritikus
hadis, penilaian hadis yang mereka lakukan terfokus pada matan hadis.[5]
Pada masa sahabat juga telah dilakukan upaya meneliti materi hadis dengan
cara mencocokkannya kembali apa yang pernah didengar sendiri dari Nabi,
kemudian membandingkannya dengan Al-Qur’an.
Pada masa tabi’in setidaknya ada tiga bentuk upaya yang dilakukan dalam
menjaga otentitas hadis. Pertama, dilakukannya kodifikasi hadis oleh
al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu
kritik hadis dalam arti sesugguhnya. Ini berdasarkan pada pendapat Ibn Rajab
yang mengatakan bahwa Ibn Sirin karena keluasan ilmunya, merupakan pelopor
dalam kritik rawi. Ketiga, diawali oleh beberapa orang sahabat, semisal
jabir, pada periode ini terdapat semangat pelacakan hadis yang sungguh luar
biasa. Untuk meneliti satu hadis saja, mereka sampai keluar daerahnya.[6]
Masa atba’ al-tabi’in (periode ketiga sebagai periode penyempurnaan/ masa
keemasan) merupakan masa yang paling berkembang. Sejak masa itu,
dimulailah era mempelajari hadis dari beberapa, bahkan konon mencapai ratusan
ribu syekh di seluruh dunia Islam akibatnya, kritik hadis tak lagi terbatas
pada ulama setempat, melainkan diseluruh tempat. Dalam melakukan kritik matan,
mereka merasa lebih ditakuti atau dibenci orang dikritik dari pada disesali
Nabi di akhirat nanti.
Di penghujung abad ke-2 H dimulailah penelitian kritik hadis mengambil
bentuk sebagai ilmu hadis teoritis dan praktis. Imam Syafi’i yang pertama
mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terulis dalam
karya monumentalnya ar-Risalah (kitab ushul fikih) dan al-umm (kitab
fikih).[7]
B. Metodologi Kritik Matan Hadis
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadis yang diterima
(maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz)
dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan
atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan
menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama perbandigannya,
telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas hadis, mereka
melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih
tinggi, perbandingan dengan hadis yang lain mahfuzh, juga dengan
kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadis yang bersangkutan
dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap
tidak bisa maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.[8]
Menurut Shalahuddin al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan
tampak dari beberapa segi, di antaranya :
1.
Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul)
dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya
ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
2.
Menghadapi kemungkinan adanya
kesalahan pada diri periwayat.
3.
Menghadapi musuh-musuh Islam yang
memalsukan hadis dengan menggunakan sanad hadis yang shahih, tetapi matan-nya
tidak shahih
4.
Menghadapi kemungkinan terjadinya
kontradiksi antara beberapa periwayat.[9]
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan
penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu :
1.
Minimnya pembicaraan mengenai kritik
matan dan metodenya.
2.
Terpencar-pencarnya pembahasan
mengenai kritik matan
3.
Kekhawatiran terbuangnya sebuah
hadis.[10]
Jika melihat kembali sosio-historis perkembangan hadis, maka akan ditemukan
banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadis dan
sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah
kesenjangan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk
pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan,
seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.[11]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu anmat
hadis yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz
( kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Apabila mengacu pada
pengertian hadis sahih yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana
telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi
kesahihan matan hadis adalah 1). terhindar dari syuzuz dan 2).
terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain
terjadi pada sanad juga terjadi pada matan hadis.[12]
Dari keberagaman tolok ukur yang ada, terdapat unsur-unsur yang oleh
Syuhudi Ismail merumuskan dan mengistilahkannya dengan kaedah minor bagi matan
yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat.[13]
Adapun
kaedah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah :
Pertama. Matan bersangkutan tidak menyendiri, kedua. Matan hadis
tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Ketiga,
Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Keempat, matan hadis
itu bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.[14]
Adapun
kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah :
Pertama, matan hadis tidak mengandung idraj (sisipan). Kedua,
matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan) ketiga, matan
hadis tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat) Keempat, matan
Tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat
dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna
yang jauh dari matan hadis itu.[15]
C. Langkah-Langkah Dalam Melakukan Kritik Matan Hadis
Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadis, lima langkah yang harus
ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis yaitu :
1.
Menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah Pertama,
hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik
riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat riwayat bi al-ma’na. Kedua,
hadis-hadis mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga,
hadis-hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan
lainnya. Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat kualitas sanad
dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadis yang
semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na).
Menurut muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna,
dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.[16]
2.
Kesahihan
Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis
Sekiranya kandungan suatu matan hadis bertentangan dengan matan
hadis lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat.
Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya,
kandungan matan hadis tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadis
maupun dengan al-Qur’an.
Hadis yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan
ilmu mukhtalifu al-hadis. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci
(mufassar), kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya
khusus, ketiga, mengandung makna penghapus (al-nasikh) dan
lainnya dihapus (mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat
diamalkan (al-jam’u). Sebagai contoh : Hadits tentang ziarah kubur.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ.
Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah, Ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari ‘Umar bin
abi Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah
SAW melaknat untuk ziyarah kubur”.
Pada hadis
selanjutnya Nabi SAW bersabda tentang kebolehan berziyarah kubur.
عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ
فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا
تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
Dari Sulaiman bin Buraidah dari
Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya
pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad
menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu)
dapat mengingatkan akhirat."[17]
Dari
hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang, kemudian
diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat
yang kedua Nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di
dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena
mengingatkan tentang akhirat.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya,
diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna universal
dari yang khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.[18]
3.
Penelitian matan
hadis dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah
sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran,
baik yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai
penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak
sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadis yang
kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau
menerapkan ilmu mukhtalif al-hadis. Sebagai contoh :
Hadits dari Aisyah yang berbunyi :
تُقْطَعُ اليَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya :
Rasulullah memotong tangan pencuri apabila mencuri senilai seperempat dinar ke
atas. (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara zhahir
bertentangan dengan Ayat al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا...
Artinya
: Dan pencuri laki-laki dan permpuan potonglah tangan keduanya.. (QS. Al-Maidah
38)
Maka diketahui bahwa ayat ini Muthlaq sedang hadits diatas adalah Muqoyyad,
maka diperoleh dalil bahwa hukum potong tangan berlaku apabila si pencuri
mencuri senilai seperempat dinar atau lebih.[19]
Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan
dengan al-Qur’an dalam buku-buku hadis atau hadis sahih dari segi sanad dan
matannya dibatalkan karena bertentangan dengan al-Qur’an.[20]
4.
Penelitian matan
hadis dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada
beberapa obyek:
Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan
hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Kedua,
kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata
yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan
kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab Modern ?. Ketiga,
matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat,
menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah
makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang
dipahami oleh pembaca atau peneliti.[21]
Sebagai contoh :
فَقَالَ
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.[22]
Hadis
ini sangat populer sekarang, tetapi tidak populer dimasa Awal. Hadis yang
diriwayatkan tidak kurang dari 4 kitab hadis ini hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat, bernama Irbadh. Hadis ini masuk dalam kitab-kitab hadis
melalui jalur Ahmad bin Hambal. Itu artinya, hadis ini menyendiri. Karena
melalui jalur Ahmad hadis ini nilainya hasan, maka ditulis dalam kitab hadis
manapun nilainya paling tinggi juga hasan. Ia berisi nasehat bahwa suatu saat
sepeninggal rasulullah terjadi perselisihan umat supaya berpegang kepada sunnah
Rasulullah dan sunnah Khulafa al-Rasyidun al-Mahdiyyun. Persoalannya, siapa
yang dimaksud dengan Khulafa al-Rasyidun itu? Apakah Khalifah empat itu? Dalam
fakta sejarah, Khulafa al-Rasyidun adalah empat orang itu. Kalau ini yang
dimaksud Rasulullah, apakah ketika Rasulullah menyampaikan sabdanya, para
mukhattab memahami bahwa yang dimaksud adalah empat orang itu? Apakah Umar,
Usman, Ali, mendengar hadis itu sudah memperkirakan bahwa mereka masing-masing
merasa akan menjadi Khalifah? Jawabnya ”tidak”. Kalau begitu, kata Khulafa
al-Rasyidun dalam hadis itu tidak dapat dipahami oleh para sahabat sebagai
mukhattab andainya mereka mendengarkan hadis itu. Mengucapkan sesuatu yang yang
tidak dapat dipahami oleh sahabat adalah hal yang mustahil. Dengan demikian ada
peluang untuk mengatakan bahwa periwayatan hadis memiliki tendensi politik
dalam meriwayatkan hadis ini dan diperkirakan orang yang tidak senang terhadap
dinasti pasca Khulafa al-Rasyidun yang dikenal dalam sejarah. Bila hendak
membela asumsi bahwa hadis ini otentik dari Rasulullah, kita kembali pada
riwayat bil makna. Kita dapat berkata bahwa agaknya redaksi persis hadis bukan
Khulafa al-Rasyidun tetapi ungkapan lain yang ide pokoknya orang-orang yang
berpikiran cemerlang dan amat setia kepada Rasulullah. Menurut bahasa, arti
Khulafa al-Rasyidun orang-orang sepeninggal Rasulullah yang kurang lebihnya
cerdas dan setia seperti itu.
Tetapi
boleh jadi juga, hadis itu redaksinya menggunakan kata Khulafa al-Rasyidun yang
tidak dimaksudkan untuk dimaknai khalifah yang empat orang, sepeninggal
Rasulullah. Maknanya, orang berfikiran cemerlang dan setia sepeninggal beliau.
Kalau itu maknanya, maka Khulafa al-Rasyidun masih ada sampai sekarang,
sepanjang mereka tulus dan cemerlang berfikir, tidak harus menjabat sebagai
kepala negara.
5.
Penelitian matan
dengan pendekatan Ilmu Pengetahuan
Tidak semua hadis bermuatan dogma agama, ajaran
ritual ataupun norma-norma sosial saja, tetapi ada juga hadis yang masuk dalam
lorong ilmu pengetahuan. Dimaksud dengan ilmu pengetahuan di sini bisa saja
ilmu akidah, ilmu hukum, ilmu fisika, ilmu sejarah, dll. kita ambil contoh:
Hadis yang menyebutkan bahwa setiap sayap lalat itu
masing-masing ada racunnya dan penawarannya.. Redaksinya antara lain:
حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي
عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ
فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى
شِفَاءً. [23]
Hadis
ini menyebutkan, bila ada lalat masuk ke wadah (berisi air minum) supaya
ditenggelamkan karena salah satu sayapnya mengandung racun dan sayap satunya
lagi mengandung obat penawarnya. Hadis ini tidak membicarakan tentang syariat agama,
tetapi tentang kehidupan dunia. Karena itu untuk mengkritisi hadis semacam ini
tidak terlalu terbebani rasa salah atau dosa. Hadis ini secara mudah ditolak
karena tidak dapat diterima akal. Dalam pandangan umum, lalat itu hewan pembawa
penyakit yang harus disingkirkan, bahkan diberantas. Betapa banyak orang yang
terserang penyakit karena mengkonsumsi makanan yang dihinggapi lalat.
Bagi
”pembela hadits”, penolakan semacam itu perlu ditanggapi secara wajar karena
hadis itu sanadnya sahih. Jangan sampai hanya karena belum diteliti secara
benar hadis itu segera ditolak. Ibn Qutaibah masih meyakini kebenaran hadis itu
dengan menunjukkan kasus lain. Misalnya untuk menawarkan gigitan ular berbisa
seorang tabib menggunakan daging ular tersebut, untuk menyembuhkan sengatan
kala jengking seorang tabib membedah perut kalajengking itu dan meletakkannya
pada tempat yang tersengat tadi, untuk menguatkan mata menggunakan celak yang
dibuat dari lalat yang ditumbuk halus, dan seterusnya. Belakangan, disebutkan
oleh al-Jawabi, bahwa persoalan ini didiskusikan dikalangan ahli bedah. Sebuah
penelitian menyingkap virus bakteri bufaj yang sangat berbahaya yang dibawa
oleh lalat. Ternyata obat penawarnya ada pada sayap lalat itu sendiri. Dengan
demikian hasil penelitian ini memperkokoh kebenaran hadis tersebut.
6.
Penelitian matan
dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan
hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu
hadis (asbab al-wurud hadits). Langkah ini mempermudah memahami
kandungan hadis. Fungsi azhab al-wurud hadits ada tiga. Pertama,
menjelaskan makna hadis. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada
saat kemunculan hadis apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau
sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat
saat hadis itu disampaikan.[24]
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama
bertentangan dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang
berbunyi :
“......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah
Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia
menolaknya karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam
sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum
muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun
atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat perjanjian
dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukum qishahs.[25]
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi
sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad hadis
diatas bersifat mauquf tidak mencapai derajat marfu’ (
tidak disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat ) dan dari segi matan
dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum
dari Rasulullah SAW.[26]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Kritik matan hadis adalah
kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan menelusuri
kebenaran suatu hadis, sehingga ditemukan status hadis sahih dan tidak sahih
dari segi matannya, ini juga dimaksudkan sebagai pengecekan kembali
kebenaran sumber hadis yang disandarkan kepada Nabi tersebut memang berasal
dari nabi atau tidak dan kegitan kritk matan memang sudah ada sejak
zaman Nabi masih hidup.
2.
Langkah-langkah dalam melakukan
kritik matan hadis adalah:
a.
Menghimpun hadis-hadis yang terjalin
dalam tema yang sama
b.
Penelitian matan hadis dengan
pendekatan hadis sahih
c.
Penelitian matan hadis dengan
pendekatan al-Qur’an
d.
Penelitian matan hadis dengan
pendekatan bahasa
e.
Penelitian matan dengan
pendekatan Ilmu pengetahuan
f.
Penelitian matan dengan
pendekatan sejarah
B. Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan
makalah ini, tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya.
Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya.
Terima kasih.
[2] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Matan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), 2004, h. 59-60.
[4] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode
Kritik Sanad dan Matan Hadis, (Pusat Penelitian Islam Al-Huda), 2000, h .
34.
[9] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Dhabi, Manhaj
Naqd al-Matn ‘inda Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj. M. Qodirun Nur dan
Ahamad Musyafiq, Kritik Metodologi Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004, h. 7.
[12] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis
Nabi, h. 109. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabawi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, h. 117.
[13] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahahihan Sanad Hadits;
Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah (cet . II; Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), h.145-149.
[19] Dr. Syarif al-Qiddhah, Mukhtalif
al-Hadits Ushuluhu wa Qawa’iduhu, (Oman:2001), hlm. 20.
[22] Abu
Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut:
al-Maktabah al Ashriyah), Juz 12, hlm. 211.
[23] Muhammad bin Isma’il Abu
‘Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1422 H),
jilid 11, hlm 99.
In this manner my associate Wesley Virgin's story launches with this shocking and controversial VIDEO.
ReplyDeleteWesley was in the army-and soon after leaving-he found hidden, "mind control" secrets that the CIA and others used to get whatever they want.
THESE are the same SECRETS lots of celebrities (notably those who "became famous out of nowhere") and the greatest business people used to become rich and famous.
You probably know how you utilize only 10% of your brain.
That's because most of your brainpower is UNCONSCIOUS.
Maybe that thought has even occurred INSIDE your very own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind seven years ago, while driving an unlicensed, trash bucket of a car without a driver's license and with $3 on his debit card.
"I'm very fed up with going through life payroll to payroll! When will I become successful?"
You took part in those types of conversations, isn't it so?
Your success story is going to be written. You just have to take a leap of faith in YOURSELF.
Watch Wesley Virgin's Video Now!