Friday, March 25, 2016

MAKALAH KODIFIKASI HADITS



PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur’an. Oleh karena itu dari masa-kemasa para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap tenaganya untuk melestarikan dan menyebarkan kepada generasi selanjutnya.
Mengingat pentingnya hadis dalam dunia Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu sendiri. Oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis akan menyajikan pembahasan singkat tentang perkembangan hadis sebelum era kodifikasi dan sesudahnya, dilanjutkan dengan pembahasan tentang pusat-pusat studi hadis dan para tokoh-tokohnya secara rinci.
Adapun metode yang akan dipakai dalam kajian ini adalalah termasuk kategori penelitian literer atau study pustaka dengan objek berupa naskah-naskah utama (primer), meski tidak menutup kemungkinan adanya referensi lain sebagai bahan rujuakan sebagai sumber kedua (skunder) yang erat kaitannya dengan persoalan yang akan dibahas.  Tujuan tulisan ini adalah untuk memahami cara rasul, sahabat, tabi’in, dan tabi’in tabi’in dalam memelihara hadis dengan sangat berhati-hati dan bijaksana sehingga dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya sebagai pusaka dari rasul untuk umatnya dalam mengarungi kehidupan.

PEMBAHASAN


A.      Pengertian Kodifikasi Hadits
Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah pembukuan hadis secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin kepala negara dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi pada masa rasulullah SAW. yang dilakukan secara individu atau untuk kepentingan pribadi. Usaha ini mulai direalisasikan pada masa pemerintahan kalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayah), melalui instruksinya kepada walikota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Bin ‘Amr bin Hazm yang berbunyi “ Tulislah untukku hadis rasullullah SAW. yang ada padamu melalui hadis ‘Amrah (binti Abdurrahman) sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu.” (riwayat Al-Darimy).
Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Disamping itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya diseluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani (124H), yang menghimpun hadis dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan itu kesetiap penjuru wilayahnya.  Menurut para ulama, hadis-hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm masih kurang lengkap, sedangkan hadis-hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang.[1]
Para sarjana Hadis, seperti, ‘Ajjaj al-Khatib, Mustafa Husni as-Siba’i, muhammad jamaluddin al-Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafaf, dan lain-lain, menemukan dokumen yang bersumber dari imam Malik bin Anas bahwa kodifikasi Hadis ini adalah atas prakarsa Khalifah Umar bin Abd Aziz dengan menugaskan kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dan Ibnu Hazm untuk merealisasikannya. Begitu juga Umar bin Abd Aziz menugaskan kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru untuk ikut serta membantu pelaksanaan kodifikasi Hadis Nabi tersebut.[2]
B.       Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi
Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadis pada periode ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kekhawatiran akan hilangnya hadis-hadis nabi disebabkan meninggalnya para sahabat dan tabi’in yang benar-benar ahli dibidangnya sehingga jumlah mereka semakin hari semakin sedikit. Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai dengan petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Disamping itu  pergolakan politik pada masa sahabat setelah terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan umat Islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada otentitas hadis-hadis nabi dengan munculnya hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok sekaligus untuk mempertahankan ideologi golongannya demi mempertahankan madzhab mereka. Demikianlah persoalan yang menentukan bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah untuk segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan dengan cara membukukannya.[3]


C.      Sistematika Kodifikasi Hadits Pada Abad Kedua
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadis priode awal kodifikasi, pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif masih muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in. walhasil, bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini belum di pilah-pilah antara hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis sahih, hasan dan dha’if.  Namun tidak berarti semua ulama hadis pada masa ini tidak ada yang membukukan hadis dengan lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka telah mempunyai inisiatif untuk menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai ide cemerlang mengumpulkan hadis-hadis berhubungan dengan masalah talak kedalam sebuah kitab. Begitu juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya menghimpun hadis-hadis dari nabi kedalam sebuah kitab atas instruksi dari Umar bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain hadis nabi SAW saja.” [4]
Kemudian pembukuan hadis berkembang pesat di mana-mana, seperti dikota Makkah hadis telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh Sa’id bin Abi ‘Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad bin Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu Amr al-Auza’I dan begitu seterusnya.
D.      Masa Pengembangan Sistem Kodifikasi Hadis
Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha mengembangkan sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini kemudian memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari hadis rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih. Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka.  Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub as-sittah yang hanya memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:
1.         Al-Jami as-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H).
2.         Al-Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H).
3.         As-Sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H).
4.         As-Sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H).
5.         As-Sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H).
6.         As-Sunan kitab karya Ibnu Majah (207-273 H).[5]
E.       Masa Penyempurnaan Sistem Kodifikasi Hadits (abad ke-5 dan seterusmya)
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:[6]
1.    Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458 H.)
2.         Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).
3.    Nailul Authar,  sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
Kedua, kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, meliputi:
4.    Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry (656 H).
5.    Dalil al-Fatihin, sebagai  Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu Allan al-Siddiqy (1057 H).
Ketiga, kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:
6.    Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin Suyuthi (849-911 H).
7.    Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul Ghani.
8.    Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing
9.                         Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc.[7]
Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan. Dengan demikian hadis nabi telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah pembukuannya sebagai upaya dari tanggung jawab generasi penerus untuk selalu menjaga dan melestarikan pusaka yang telah diberikan oleh nabi Muhammad kepada umatnya.





















PENUTUP


A.      Kesimpulan
Dari pembahasa-pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal diantaranya:
1.    Adanya larangan dan perintah menulis hadis oleh nabi pada priode awal yang terkesan sangat rancu dan bertolak belakang, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan. Sebenarnya larangan menulis hadis pada priode nabi bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan kepada para sahabat pada umumnya. Namun diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik hafalannya, dan ada yang bagus tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, rasulullah memberi izin khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan akan situasi, kondisi dan sifat pribadi sahabat.
2.    Kegigihan para sahabat, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga, melestarikan, dan menyebarkan dua wasiat yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis.
3.    Dalam setiap perubahan dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih sempurna.
4.    Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan mengajarkannya kepada generasi-sesuadah kita.
B.       Saran
Di penghujung tulisan ini kami berharap semoga kita semua mampu menjaga dan mengamalkan perintah-perintah agama yang terkandung di dalamnya sehingga kita bisa menjadi orang-orang yang beruntung dan mendapat petunjuk-Nya.


[1] Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007),  hlm.34.
[2] Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Darussalam, 1998), hlm. 104-105.
[3] H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 91-93.
[4] ‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 166.
[5] Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 42-43.
[6] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 454.
[7] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 55.

No comments:

Post a Comment