BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari sejarah peradaban Islam kurang lengkap jika tidak disertakan
mempelajari sejarah kehidupan manusia di Jazirah Arab (semenanjung arab) sebelum datangnya Islam.
Karena Islam pertama muncul di Arab dan kitabnya berbahasa Arab (Suku Quraisy).
Kendati sangat minim didapatkan informasi tentang sejarah kehidupan manusia di
daerah tersebut dalam kurun waktu antara 400-571 an Masehi. Dengan kata lain,
penulis bisa katakan dalam sejarah peradaban dunia, sejarah di jazirah arab
khususnya sebelum datangnya Islam ‘dianggap’ tidak ada, atau lebih tepatnya
dihilangkan dari peta sejarah peradaban dunia.
Sebagian penulis sejarah Islam biasanya membahas Arab Pra-Islam sebelum
menulis sejarah Islam pada masa Muhammad (570-632 M) dan sesudahnya. Mereka
menggambarkan runtutan sejarah yang saling terkait satu sama lain yang dapat
memberikan informasi lebih komprehensif tentang Arab dan Islam tentang
geografi, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik Arab pra-Islam dan relasi
serta pengaruhnya terhadap watak orang Arab dan doktrin Islam. Kajian semacam
ini memerlukan waktu dan referensi yang tidak sedikit, bahkan hasilnya bisa
menjadi sebuah buku tersendiri yang berjilid-jilid seperti al-Mufaṣṣal fī Tārīkh al-‘Arab qabla al-Islām karya Jawād ‘Alī.
Oleh karena itu, kita hanya akan mencukupkan diri pada pembahasan data-data
sejarah yang lebih familiar dan gampang diakses mengenai hal itu.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah
Bangsa Arab ?
2.
Bagaimana kondisi
Politik, Ekonomi, Moral, Budaya Bangsa Arab saat itu ?
3.
Bagaimana Sistem Kepercayaan dan Agama Bangsa Arab
saat itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Bangsa Arab
Bangsa
Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua
Nabi Nuh.Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia.Mereka berdomisili disekitar
wilayah barat daya benua Asia (al-Janub
al-Gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar
terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir). Sedikit
sekali menyisakan wilayah yang layak ditinggali di sekitar pinggirnya, dan
daerah itu semuanya dikelilingi laut. Ketika jumlah penduduk kian
bertambah, mereka harus mencari lahan baru guna dijadikan tempat tinggal.
Mayoritas
sejarawan dan peneliti sejarah mencatat, ada dua komunitas bangsa Arab yang
pernah tinggal di wilayah Semenanjung Arabia ini, yaitu:
1.
Komunitas pertama adalah bangsa Arab
yang datang jauh hari sebelum datangnya islam, sehingga referensi dan fakta
sejarah tentang mereka sangat sulit diungkap. Hal ini cukup beralasan,
mengingat jauhnya rentang waktu serta tidak ditemukannya indikasi eksistensi
mereka dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Sejarah mereka hanya dapat
diketahui dari keterangan kitab-kitab samawi, terutama al-Qur’an, Injil,
Taurat, dan syair-syair jahiliyah. Bangsa ini selanjutnya dikenal dengan
istilah Baidah. Arab baidah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah.
Di antaranya adalah A’ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk
Madyan.
2.
Komunitas kedua adalah bangsa
Baqiyah (yang masih ada). Terdiri dari dua suku besar, yaitu Adnaniyin dan
Qahthaniyin. Kabilah Adnaniyin berasal dari keturunan Ismail ibn Ibrahim as.
Dinamakan Adnaniyin karena nenek moyang dari kabilah ini bernama Adnan, yaitu
salah satu keturunan Nabi Ismail. Suku kedua dari bangsa Baqiyah adalah kabilah
Qahthan.Garis keturunan Qahthan sampai pada Yaqthan yang dalam kitab taurat
disebut Yaqzan. Nassabun (pakar genealogi) mengatakan, bahwa Qahthan adalah
nenek moyang suku-suku di negeri Yaman (Ab al-Yamaniyin).[1]
Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan Adnaniyin, dan wilayah selatan
didiami golongan Qahthaniyin. Akan tetapi, lama kelamaankedua golongan itu
membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.[2]
B. Kondisi
Politik
Kondisi
politik internal wilayah Arabia di masa Jahiliyah menjelang kedatangan Islam
pada dasarnya terpecah-pecah, tidak mengenal kepemimpinan sentral ataupun
persatuan. Kepemimpinan politik di sana didasarkan pada suku-suku atau
kabilah-kabilah guna mempertahankan diri dari serangan suku-suku yang lain.[3]
Seluruh kesetiaan terserap dalam kelompok yang bertindak sebagai sebuah
kolektivitas untuk mempertahankan individu warganya dan untuk menghadapi
tanggung jawab bersama. Jika seorang warga teraniaya, maka klan menuntut balas
atas penganiayaan tersebut. Jika seseorang
melakukan penganiayaan, maka hal itu menjadi tanggung jawab klan.
Sebagai konsekuensi solidaritas kelompok, yang disebut asabiyah. Sebuah klan
dipimpin oleh syaikh yang biasanya dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari
salah satu keluarga berpengaruh dan ia senantiasa bertindak setelah meminta
saran-saran mereka. Mereka menyelesaikan perselisihan internal sesuai dengan
tradisi kelompok, namun ia tidak berhak mengatur ataupun memerintah. Syaikh
haruslah seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada
pendukungnya; ia haruslah seorang yang berperilaku adil dan bijak, sabar,
pemaaf dan rajin bekerja. Di atas segalnya, ia haruslah seorang yang memiliki
keputusan yang adil untuk menghindarkan pertentangan di kalangan pengikutnya.[4]
Pada masa
itu, bangsa Arab tidak memiliki sistem atau norma yang secara ketat mengatur wilayah
kehidupan sosial baik antar individu maupun kelompok (kabilah). Tidak ada
hukuman bagi pelanggar hukum. Yang ia terima hanya sebatas kebencian atau sikap
acuh dari kelompoknya.[5]
C. Kondisi
Ekonomi
Sumber
ekonomi utama yang menjadi penghasilan orang Arab adalah perdagangan dan
bisnis.Orang-orang Arab dimasa jahiliyah sangat dikenal dengan bisnisdan
perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang-orang Quraisy sepeti
yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an : “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (Quraisy:
1-2)
Mereka
melakukan perjalanan bisnis ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim
panas.[6]
Perekonomian
bangsa Arab di negeri Yaman yang merupakan negeri yang subur, khususnya di
sekitar bendungan Ma’rib, di mana pertanian maju secara pesat dan
menakjubkan.Di masa itu juga telah berkembang industri, seperti industri kain
katun dan persenjataan berupa pedang, tombak, dan baju besi.Akan tetapi, mereka
tidak bersyukur dan justru berpaling dari ketaatan kepada Allah.Karena
kekufuran itu, Allah pun menghancurkan bendungan Ma’rib itu.
Sementara itu, mayoritas kabilah
Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang sedikit untuk mengembala
domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya.[7]
D. Kondisi
Moral
Memang
pada dasarnya masyarakat Arab Jahiliyah memiliki sejumlah sifat-sifat positif
dan kelebihan-kelebihan.Seperti sifat dermawan, pemberani, setia, ramah,
sederhana, serta cinta kebebasan, ingatannya kuat dan pandai bersyair.Namun,
itu semua menjadi tenggelam dan tidak mampu menampilkan moralitas tinggi
masyarakat Arab saat itu. Hal ini disebabkan oleh suatu kondisi yang
menyelimuti kehidupan mereka, yaitu kemusyrikan, kekafiran, ketidakadilan,
kejahatan dan fanatisme suku-suku sehingga menghalalkan segala cara. Di sinilah
arti Jahiliyah dapat dipahami. Mereka bukan bodoh (jahil) dalam arti buta huruf
dan tidak mengenal pengetahuan sama sekali, tetapi mereka tidak mengetahui
hakikat dan sumber kebenaran, dan tidak mengenal tuhan yang semestinya mereka
sembah.
Struktur
masyarakat menempatkan perempuan pada posisi sangat rendah, bahkan tak
terhitung sebagai manusia yang wajar. Ia dinilai identik dengan barang-barang
komoditas. Perempuan halal dijadikan gundik-gundik seorang penguasa, dimana
mereka mudah dikawini dan mudah pula diceraikan.Di saat mereka menjalani masa
haid, mereka tidak diperbolehkan untuk tidur dalam satu rumah dengan
keluarganya.Mereka harus tidur di kandang bagian belakang rumah.
Sistem
perbudakan berlaku dan berkembang di kalangan bangsa Arab.Mereka di pekerjakan
dengan sekehendak majikan, dan dijual belikan serta ditukar dengan barang
sebagai layaknya pedagang melakukan transaksi jual beli secara barter.
Kaum
bangsawan menindas rakyat jelata dengan sesuka hati dan segala cara. Maka,
perdamaian antarsuku sangat sulit diwujudkan, peperangan demi peperangan terus
terjadi di antara mereka. Penghargaan manusia didasarkan atas prestise bukan
prestasi, dan hubungan sosial ditentukan oleh ikatan darah dan emosi, bukan ikatan-ikatan
kemanusiaan dan keagamaan sebagaimana yang nanti ditawarkan oleh islam.[8]
Contoh beberapa tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah
lainnya yaitu:
1. Perjudian
atau maisir. Ini merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di
Jazirah Arab, seperti Mekkah, Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al
Jandal.
2. Minum
arak (khamr) dan berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di
kalangan saudagar, orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di
daerah perkotaan.
3. Nikah
Istibdha’,
yaitu jika istri telah suci dari haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki
dari kalangan terkemuka, keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk
menggaulinya.
4. Mengubur
anak perempuan hidup-hidup jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir
adalah perempuan. Karena mereka takut terkena aib karena memiliki anak
perempuan.
5. Membunuh
anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar
prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami.
6. Ber-tabarruj
(bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil
menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan
berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya.
7. Lelaki
yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan
seksual secara terselubung.
8. Prostitusi.
Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan
bahwa wanita itu adalah pelacur.
9. Fanatisme
kabilah atau kaum.
10. Berperang
dan saling bermusuhan untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum
lainnya. Kabilah yang kuat akan menguasai kabilah yang lemah untuk merampas
harta benda mereka.[9]
E. Kondisi
Budaya
Salah satu
kelebihan bangsa Arab adalah terletak pada bahasanya.Bahasa Arab merupakan
salah satu bahasa rumpun Semit yang paling sempurna dan mampu bertahan dari
seleksi alam hingga Islam datang, kemudian mengalami perkembangan sangat pesat
karenanya. Mengenahi kebudayaan sebelum islam, buku sejarah dan kebudayaan
islam (Tim Penyusun Depag RI, 1982: 11-15), menjelaskannya agak rinci sebagai
mana disarikan berikut. Berkaitan dengan kelebihan bahasa, bangsa Arab pun
pandai dalam bidang sastera, khususnya membuat syair-syair.Syair bagi mereka
untuk mengungkapkan pikiran-pikiran, pengetahuan-pengetahuan, dan
pengalaman-pengalaman hidupnya.
Ghalan bin
Salamah dari suku Tsaqif dalam satu minggu mampu menciptakan sekumpulan syair,
lalu membacakannya di depan forum untuk dibahas dan dikritik. Forum-forum
seperti ini pada waktunya digelar untuk umum di suatu pasar yang disebut ukadz,
di dalamnya dilengkapi dengan kegiatan pertandingan membuat dan membacakan
syair-syair yang terbaik.Di antara syair-syair yang terpilih kemudian
digantungkan di dinding Ka’bah sebagai penghargaan yang biasa disebut
mu’allaqat. Tradisi semacam ini tampaknya masih berkembang dan dimanfaatkan
dalam islam sebagai alat dakwah dan pengembangan ilmu pengetahuan bangsa Arab
Islam.
Kehidupan
masyarakat Arab berpindah-pindah dari satu ke lain tempat yang di anggap dapat
memberikan kemudahan untuk hidup. Kondisi alam semacam ini membuat mereka
bersikap sebagai pemberani dan bersikap keras dalam mempertahankan prinsip dan
kepercayaan.Kondisi ini pula yang membuat mereka harus menguasai seperangkan
ilmu dan ketrampilan untuk hidup sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, mereka
mengusai ilmu meramal jejak dan peristiwa alam yang akan terjadi, seperti kapan
turun hujan, dimana terdapat mata air, dan dimana terdapat sarang binatang
buruan serta binatang buas. Di siang hari mereka mampu membaca jejak melalui
padang pasir, sedangkan di malam hari mereka mengunakan bintang-bintang. Karena
itu, ilmu-ilmu perhitungan (semacam ramal) dan perbintangan, dalam batas-batas
tertentu, berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum islam.
Bangsa
Arab juga mahir dalam membuat dan menghafal silsilah keluarga dan nenek
moyangnya. Mereka bangga dengan kemampuan itu, karenanya mereka mampu
menunjukkan hubungan dirinya dengan nenek moyangnya yang besar-besar, sehingga
mereka akan memperoleh prestise karena keturunan. Setiap kabilah mempunyai dan
mengetahui silsilah keturunannya.[10]
F. Sistem
Kepercayaan dan Agama
Bangsa
Arab sebelum Islam sebenarnya telah mengenal keyakinan terhadap satu Tuhan
(Tauhid / Monoteisme), yaitu Allah SWT.; sebuah ajaran yang dibawa oleh Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail. Al-Qur’an sendiri mengakui eksistensi ajaran Ibrahim
dan menyebutnya dengan nama Hanif (agama yang lurus). Namun, beberapa abad
sebelum kedatangan Islam, kemurnian ajaran suci itu telah ternoda oleh tahayul
dan khurafat, hingga sampai pada penyekutuan (syirk) terhadap Allah
SWT.Penyimpangan ini kemudian dikenal dengan watsaniyah (penyembahan terhadap
berhala / patung).[11]
Al-Syihristani,
seorang sejarawan Muslim terkemuka, mengatakan bahwa terdapat 360 berhala di
Ka’bah, yang paling terkenal adalah Hubal, yang dibawa dari Belka di Syria ke
Arabia oleh Umru bin Lahi,dengan tujuan agar bisa mendatangkan hujan ketika di
mintai. Yang menarik untuk di catat adalah Hubal di anggap bisa mendatangkan
hujan,sebuah sifat khas Tuhan yang berasal dari wilayah pertanian. Tiga patung
Tuhan lain yang terkenal di Mekkah adalah Manat, al-Lat, dan al Uzza.[12]
Bangsa
Arab selatan menyembah banyak dewa dan dewi, di antaranya yang paling terkenal
adalah ‘Athar, yang dianggap sebagai personifikasi planet Venus.Mereka juga
menyembah dewa matahari yang bernama Almaqah di Saba’, Wadd (cinta?) di Ma’in,
‘Amm di Qataban, dan Sin di Hadramaut.Matahari juga disembah sebagai dewi Syam
(matahari).Para dewa dan dewi dipuja di berbagai tempat ibadah yang
masing-masing menpunyai pengikutnya sendiri.[13]
Kaum nomad
padang pasir tidak mempunyai agama formal atau doktrin tertentu. Mereka
menganut apa yang disebut dengan “humanisme suku”, dimana yang paling penting
adalah keunggulan manusia dan kehormatan suku.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangsa
Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua
Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia. Mereka berdomisili
disekitar wilayah barat daya benua Asia (al-Janub
al-Gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia.
Kondisi
politik internal wilayah Arabia di masa Jahiliyah memjelang kedatangan Islam
pada dasarnya terpecah-pecah, tidak
mengenal kepemimpinan sentral ataupun persatuan. Kepemimpinan politik di sana
didasarkan pada suku-suku atau kabilah-kabilah guna mempertahankan diri dari
serangan suku-suku yang lain.
Sumber
ekonomi utama yang menjadi penghasilan orang Arab adalah perdagangan dan
bisnis.
Salah satu
kelebihan bangsa Arab adalah terletak pada bahasanya. Bahasa Arab merupakan
salah satu bahasa rumpun Semit yang paling sempurna dan mampu bertahan dari
seleksi alam hingga Islam datang, kemudian mengalami perkembangan sangat pesat
karenanya.
Bangsa
Arab sebelum Islam banyak yang menyembah berhala.
B. Saran
Demikian
lah makalah Sejarah Peradaban Islam ini kami buat, mudah-mudahan bermanfaat
bagi kita semua.
Kami
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
kritikan dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini.
[1] Tim Karya Ilmiah
Purnasiswa MHM 2006, Sejarah peradaban islam 14-15.
[2] Drs. Badri Yatim, M.
A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 10.
[3] Moh.
Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), 14.
[4] Ira M. Lapidus;
Penerjemah, Ghufron A. Mas’adi, Sejarah
Sosial Umat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 19.
[5] Tim Karya Ilmiah
Purnasiswa MHM 2006, Sejarah…, 16-17.
[6] Ahmad al ‘Usairy,
Penerjemah: H. Samson Rahman, Sejarah…,
72.
[7]
http://mahluktermulia.wordpress.com/2010/05/13/kondisi-bangsa-arab-pra-islam/
[8] Moh. Nurhakim, Sejarah…, 16-17
[9] http://mahluktermulia.wordpress.com/2010/05/13/kondisi-bangsa-arab-pra-islam/
[10] Moh. Nurhakim, Sejarah…, 17-19
[11] Tim Karya Ilmiah
Purnasiswa MHM 2006, Sejarah…, 20-21.
[12] Asghar Ali Engineer;
Penerjemah: Imam Baehaqi, Asal-Usul dan
Perkembangan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 50
[13] Ibid, 33.
[14] Ibid, 49.
No comments:
Post a Comment