BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran dan al-sunnah merupakan sumber utama umat
Islam, petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Semua dalil selain kedua nash
tersebut harus mengacu kepadanya, atau memakai kaedah umum yang ditetapkan
berdasarkan nash. Maka seharusnya tidak ada pertentangan selama dasar dan
pemahaman dalil-dalil tersebut serta menggali hukumnya dilakukan dengan benar.
Benarkah di dalam sumber hukum Islam, terutama dua sumber utama tersebut,
terdapat pertentangan (taarudh)?
Dengan membaca serta men-tadabbur-i beberapa penggalan
ayat di bawah berikut ini kita bisa memahami betul bahwa segala yang disebutkan
dalam Al Qur’an merupakan sesuatu yang mutlak kebenarannya, dan segala yang
keluar dari ucapan Rasul Muhammad saw. bukan dorongan kepentingan dan hawa
nafsu, akan tetapi murni wahyu dari Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an
surat An Najm: 3-4
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
Berangkat dari ayat diatas wajib melakukan pembahasan
dalam rangka menaggapi nash-nash yang sekilas tampak terjadi ta’arudh secara
kasat mata.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ‘Am dan Khash ?
2.
Apa yang dimaksud dengan Muthlaq dan
Muqayyad ?
3.
Bagaimana contoh dari penyelesaian kedua
metode diatas ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-jam’u antara ‘Am dan Khash
1. Pengertian al-‘Am
'Am adalah suatu bentuk
lafazh yang menunjukkan makna syumul (global) tanpa ada penjelasan tertentu
yang membatasi makna itu. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqh ialah:
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ
بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
“Lafal yang mencakup
semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus”.[1]
Contoh lafaz Am seperti lafaz “laki-laki”
( الرِّجاَلُ ) dalam lafaz tersebut mencakup
semua laki-laki. Atau lafaz “manusia” ( النَّاسُ ) itu mencakup semua manusia.
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
1.
Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan
seperti dalam firman Allah :
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya : “Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”, (Qs.
Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah
yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu dialahnya qath’i yang tidak
rnenerima Takhsis.
2.
Lafaz umum yang dimaksudkan khusus
karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah :
...وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ...
Artinya : “……mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.....”, (Q.S Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah
lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan
perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil dan orang gila.
3.
Lafaz umum yang khusus seperti lafaz
umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukan di Takhsis seperti dalam firman
Allah :
وَاْلمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلاَثَةَ قُرُوُءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”.[2]
2.
Pengertian
al-Khash
Khas adalah “Isim Fa’il” yang
berasal dari kata kerja : خَصَّصَ yang berarti
“mengkhususkan ata menentukan”. Khash menurut istilah ushul fiqh, adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصاَعَداً مِنْ
غَيْرِ خَصٍ
Artinya : Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus
dua atau lebih tanpa batas.
Adapun yang dimaksudkan dengan
Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ
عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ.
Artinya: “mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk
dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”.[3]
3.
Contoh
Penyelesaian Hadits ‘Am Dan Khash
Hadits pertama
dari Salim bin ‘Abdillah yang berbunyi :
فيما سقت
السماء العشر
Artinya: “Tanaman yang dengan
siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (l0%)” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua dari Abi Sa’id yang berbunyi :
ليس فيما دون
خمسة اوسق صدقة
Artinya : “Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang
lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bentuk pertentangan :
1.
Hadits pertama riwayat dari Salim
mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh lewat siraman air hujan adalah 10% dari
hasilnya, baik itu banyak maupun sedikit.
2.
Hadits kedua riwayat dari Abu Sa’id mengatakan
wajib zakatnya apabila telah mencapai 5 Wasaq.
Penyelesaian
masalah :
Para ulama membagi penyelesaian masalah ini menjadi
dua mazhab :
1.
Mazhab yang pertama mengatakan : Dengan
menggabungkan kedua hadits ini dan membawa permasalahan kedalam kaidah ‘Am dan
Khash, maka bisa dilihat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Salim adalah
hadits ‘am sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id adalah hadits
khash. Maka digunakan kaidah Takhsis lil ‘am, diperoleh hukum wajib
zakat terhadap tanaman itu apabila hasil panennya telah mencapai lima wasaq.
Dan ini merupakan mazhab jumhur dari ulama Syafi’iah, Malikiah, Hanabillah,
Zaidiah, Ibadiah, Zhahiriah dan lain sebagainya.
2.
Mazhab yang kedua mengatakan : Condong
mengambil tarjih dalam menyelesaikan hadits itu, maka dijelaskan mana hadits
yang ‘am, karena hadits salim itu hadits yang masyhur dibandingkan hadits abi Sa’id,
karena hadits Abi Sa’id itu khobar ahad. Mereka berkata : sesungguhnya
zakat itu wajib dari apa-apa saja hasil yang keluar dari bumi baik sedikit
maupun banyak berdasarkan hadits dari salim, dan mena’wilkan hadits Abi Sa’id yang
khash itu, menjadikannya dalam zakat Tijarah dan itu merupakan pendapat mazhab Abu
Hanifah. Berkata imam Syarkhasi, Abu Hanifah mengatakan sesungguhnya mereka
pada waktu itu berjual beli dengan ukuran wasaq, sebagaimana tersebut dalam
hadits : “Lima wasaq itu dua ratus dirham”.[4]
B.
Al-jam’u antara
Muthlaq dan Muqayyad
1.
Pengertian
Muthlaq
Muthlaq adalah :
اللفظ الدال
على الماهية من غير قيد او يقلل من شيوعه
“Suatu
lafazh yang tidak memiliki batasan yang meminimalisir makna lafazh itu. Mutlak
adalah lafad yang mencangkup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad
didalamya”.
Dengan definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah
lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di
dalamnya. Disinilah di antara letak
perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am. Sebagai contoh kata “Aidiikum”
dalam ayat :
...فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ...
Artinya : Apbila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci,
maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43).
Mengusap
tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di batasi dengan sifat syarat dan
sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkatan “aiidiikum“ (tanganmu) ini
tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah
bagian mana saja asalkan bagian tangan, karena itu disebut muthlaq.
2.
Pengertian
Muqayyad
Muqayyad adalah :
اللفظ الدال على الماهية بقيد يقلل من شيوعه
“Suatu lafazh yang menunjukkan adanya
batasan yang membatasi makna lafazh itu. Sedangkan muqoyyad, menunjukkan pada
hakikat sesuatu tetapi memerhatikan beberapa hal ,baik jumlah, sifat dan
keadaan”.
Sebagai contoh :
...وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِق...
Artinya : “Basulah tanganmu sampai siku – siku”.
Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai
siku – siku. Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini disebut muqayyad
(dibatasi), sedang lapadz “ila al- marofiq” disebut al- qaid.[5]
3.
Penggunaan
lafadz mutlaq dan muqayyad
a. Jika
terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumnya, maka gabungkanlah mutlaq
kepada muqayyad. Jikalau terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafadz dan muqayyad pada lafadz yang lain .
Seperti hadis tentang kafarah
puasa.
صم شهرين متتبعين )متفق عليه(
Artinya : “Puasalah kamu dua bulan berturut – turut”.
Digabungkan dengan hadis :
صمُّ شهرين
Artinya : berpuasalah dua bulan .
Keterangan : bahwa hadis pertama
dintentukan waktunya (muqayyad) sedangkan hadis kedua tidak ada ketentuannya
(mutlaq), maka kedua hadits tersebut di kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
Karena ada keterangan :
المطلق يحمل على المقيد اذا ااتفقا فى السبب والحكم
Artinya : mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab
dan hukumnya .
b.
Jika tidak bersesuaian menurut
sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad
المطلق لايحمل على المقيد اذالم يتفق في السبب
Artinya : mutlaq tidak
digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada sebab.
Seperti contoh
antara lafadz zhihar dengan kafarat membunuh. Firman Allah yang artinya :
“mereka yang menzhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik (kembali) apa
yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang hamba sahaya
sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Dengan firman
Allah yang artinya: “barang siapa yang membunuh orang mukmin bersalah, maka
hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama
membebaskan budak), sedangkan sebabnya berlainan, yang pertama karena zhihar
dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat
digabungkan kepada muqayyad.[6]
4.
Contoh
penyelesaian Muthlaq dan Muqayyad
Hadits dari Aisyah yang berbunyi :
تُقْطَعُ اليَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya : Rasulullah
memotong tangan pencuri apabila mencuri senilai seperempat dinar ke atas. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Secara zhahir
bertentangan dengan Ayat al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا...
Artinya
: Dan pencuri laki-laki dan permpuan potonglah tangan keduanya.. (QS. Al-Maidah
38)
Maka diketahui bahwa ayat ini Muthlaq sedang hadits diatas adalah Muqoyyad,
maka diperoleh dalil bahwa hukum potong tangan berlaku apabila si pencuri
mencuri senilai seperempat dinar atau lebih.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah
" Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam
pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang
memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu
dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Lafadz
Al Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd
(dibatasi) oleh suatu hal yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lafadz
al-muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya)
qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain.
B.
Saran
Meskipun kami sudah
berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak
kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan
untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
[1] Dr. Hakimah Hafizi, Mukhtalif
Hadits, (Mesir:2013), hlm. 70.
[2] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M. A. Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana
Prenada Media Group, 2008). hal 69.
[4] Dr. Hakimah Hafizi, Op.Cit, hlm.
71
[5] Badran Abu al-‘Ainain Badran, Adllah al-Tasyrî’
al-Muta’aridhah wa Wujuh al-Tarjih bainaha, (al-Iskandariah:
Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), h. 169
[6] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian
Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal. 97
[7] Dr. Syarif al-Qiddhah, Mukhtalif
al-Hadits Ushuluhu wa Qawa’iduhu, (Oman:2001), hlm. 20.
No comments:
Post a Comment