Saturday, March 26, 2016

MAKALAH 'AM DAN KHASH



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al-Quran dan al-sunnah merupakan sumber utama umat Islam, petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Semua dalil selain kedua nash tersebut harus mengacu kepadanya, atau memakai kaedah umum yang ditetapkan berdasarkan nash. Maka seharusnya tidak ada pertentangan selama dasar dan pemahaman dalil-dalil tersebut serta menggali hukumnya dilakukan dengan benar. Benarkah di dalam sumber hukum Islam, terutama dua sumber utama tersebut, terdapat pertentangan (taarudh)?
Dengan membaca serta men-tadabbur-i beberapa penggalan ayat di bawah berikut ini kita bisa memahami betul bahwa segala yang disebutkan dalam Al Qur’an merupakan sesuatu yang mutlak kebenarannya, dan segala yang keluar dari ucapan Rasul Muhammad saw. bukan dorongan kepentingan dan hawa nafsu, akan tetapi murni  wahyu dari Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat An Najm: 3-4
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Berangkat dari ayat diatas wajib melakukan pembahasan dalam rangka menaggapi nash-nash yang sekilas tampak terjadi ta’arudh secara kasat mata.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ‘Am dan Khash ?
2.      Apa yang dimaksud dengan Muthlaq dan Muqayyad ?
3.      Bagaimana contoh dari penyelesaian kedua metode diatas ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Al-jam’u antara ‘Am dan Khash
1.      Pengertian al-‘Am
'Am adalah suatu bentuk lafazh yang menunjukkan makna syumul (global) tanpa ada penjelasan tertentu yang membatasi makna itu. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqh ialah:
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
“Lafal yang mencakup semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus”.[1]
Contoh lafaz Am seperti lafaz “laki-laki”  ( الرِّجاَلُ )  dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki. Atau lafaz “manusia ( النَّاسُ ) itu mencakup semua manusia.
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
1.         Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”, (Qs. Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu dialahnya qath’i yang tidak rnenerima Takhsis.
2.         Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah :
...وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ...
Artinya : “……mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.....”, (Q.S Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil dan orang gila.
3.         Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukan di Takhsis seperti dalam firman Allah :
وَاْلمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوُءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”.[2]

2.    Pengertian al-Khash
Khas adalah “Isim Fa’il” yang berasal dari kata kerja : خَصَّصَ yang berarti “mengkhususkan ata menentukan”. Khash menurut istilah ushul fiqh, adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصاَعَداً مِنْ غَيْرِ خَصٍ
Artinya : Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua  atau lebih tanpa batas.
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ.
Artinya: “mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”.[3]
3.    Contoh Penyelesaian Hadits ‘Am Dan Khash
Hadits  pertama dari Salim bin ‘Abdillah yang berbunyi :
فيما سقت السماء العشر
Artinya: “Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (l0%)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua dari Abi Sa’id yang berbunyi :
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة
Artinya : “Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bentuk pertentangan :
1.    Hadits pertama riwayat dari Salim mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh lewat siraman air hujan adalah 10% dari hasilnya, baik itu banyak maupun sedikit.
2.    Hadits kedua riwayat dari Abu Sa’id mengatakan wajib zakatnya apabila telah mencapai 5 Wasaq.
Penyelesaian  masalah :
Para ulama membagi penyelesaian masalah ini menjadi dua mazhab :
1.    Mazhab yang pertama mengatakan : Dengan menggabungkan kedua hadits ini dan membawa permasalahan kedalam kaidah ‘Am dan Khash, maka bisa dilihat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Salim adalah hadits ‘am sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id adalah hadits khash. Maka digunakan kaidah Takhsis lil ‘am, diperoleh hukum wajib zakat terhadap tanaman itu apabila hasil panennya telah mencapai lima wasaq. Dan ini merupakan mazhab jumhur dari ulama Syafi’iah, Malikiah, Hanabillah, Zaidiah, Ibadiah, Zhahiriah dan lain sebagainya.
2.    Mazhab yang kedua mengatakan : Condong mengambil tarjih dalam menyelesaikan hadits itu, maka dijelaskan mana hadits yang ‘am, karena hadits salim itu hadits yang masyhur dibandingkan hadits abi Sa’id, karena hadits Abi Sa’id itu khobar ahad. Mereka berkata : sesungguhnya zakat itu wajib dari apa-apa saja hasil yang keluar dari bumi baik sedikit maupun banyak berdasarkan hadits dari salim, dan mena’wilkan hadits Abi Sa’id yang khash itu, menjadikannya dalam zakat Tijarah dan itu merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah. Berkata imam Syarkhasi, Abu Hanifah mengatakan sesungguhnya mereka pada waktu itu berjual beli dengan ukuran wasaq, sebagaimana tersebut dalam hadits : “Lima wasaq itu dua ratus dirham”.[4]

B.       Al-jam’u antara Muthlaq dan Muqayyad
1.        Pengertian Muthlaq
Muthlaq adalah :
اللفظ الدال على الماهية من غير قيد او يقلل من شيوعه
“Suatu lafazh yang tidak memiliki batasan yang meminimalisir makna lafazh itu. Mutlak adalah lafad yang mencangkup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamya”.
Dengan definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am. Sebagai contoh kata “Aidiikum” dalam ayat :
...فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ...
Artinya : Apbila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43).
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di batasi dengan sifat syarat dan sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkatan “aiidiikum“ (tanganmu) ini tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan, karena itu disebut muthlaq.
2.        Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah :
اللفظ الدال على الماهية بقيد يقلل من شيوعه
“Suatu lafazh yang menunjukkan adanya batasan yang membatasi makna lafazh itu. Sedangkan muqoyyad, menunjukkan pada hakikat sesuatu tetapi memerhatikan beberapa hal ,baik jumlah, sifat dan keadaan”.
Sebagai contoh :
...وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِق...
Artinya : Basulah tanganmu sampai siku – siku”.

Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai siku – siku. Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini disebut muqayyad (dibatasi), sedang lapadz “ila al- marofiq” disebut al- qaid.[5]
3.        Penggunaan lafadz mutlaq dan muqayyad
a.    Jika terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumnya, maka gabungkanlah mutlaq kepada muqayyad. Jikalau terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafadz dan muqayyad pada lafadz yang lain .
Seperti hadis tentang kafarah puasa.
صم شهرين متتبعين )متفق عليه(
Artinya : Puasalah kamu dua bulan berturut – turut.

Digabungkan dengan hadis :
 صمُّ شهرين
Artinya : berpuasalah dua bulan .
Keterangan : bahwa hadis pertama dintentukan waktunya (muqayyad) sedangkan hadis kedua tidak ada ketentuannya (mutlaq), maka kedua hadits tersebut di kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
Karena ada keterangan :
المطلق يحمل على المقيد اذا ااتفقا فى السبب والحكم
Artinya : mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab dan hukumnya .
b.    Jika tidak bersesuaian menurut sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad
المطلق لايحمل على المقيد اذالم يتفق في السبب
Artinya : mutlaq tidak digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada sebab.
Seperti contoh antara lafadz zhihar dengan kafarat membunuh. Firman Allah yang artinya : “mereka yang menzhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik (kembali) apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Dengan firman Allah yang artinya: “barang siapa yang membunuh orang mukmin bersalah, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama membebaskan budak), sedangkan sebabnya berlainan, yang pertama karena zhihar dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat digabungkan kepada muqayyad.[6]
4.        Contoh penyelesaian Muthlaq dan Muqayyad
Hadits dari Aisyah yang berbunyi :
تُقْطَعُ اليَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya : Rasulullah memotong tangan pencuri apabila mencuri senilai seperempat dinar ke atas. (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara zhahir bertentangan dengan Ayat al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا...
Artinya : Dan pencuri laki-laki dan permpuan potonglah tangan keduanya.. (QS. Al-Maidah 38)

Maka diketahui bahwa ayat ini Muthlaq sedang hadits diatas adalah Muqoyyad, maka diperoleh dalil bahwa hukum potong tangan berlaku apabila si pencuri mencuri senilai seperempat dinar atau lebih.[7]









BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Lafadz Al Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lafadz al-muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain.

B.       Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.


[1] Dr. Hakimah Hafizi, Mukhtalif Hadits, (Mesir:2013), hlm. 70.
[2] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M. A. Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008). hal 69.
[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul Al-fiqh, (Kairo:Daar al-Fikr al-Arabi, 1985). Hal 236
[4] Dr. Hakimah Hafizi, Op.Cit, hlm. 71
[5] Badran Abu al-‘Ainain Badran, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’aridhah wa Wujuh al-Tarjih bainaha, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), h. 169
[6] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal. 97
[7] Dr. Syarif al-Qiddhah, Mukhtalif al-Hadits Ushuluhu wa Qawa’iduhu, (Oman:2001), hlm. 20.

No comments:

Post a Comment