BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari pemikiran orang lain merupaka suatu hal yanga sangat membantu
bagi pengembangan dinamika khazanah intlektual pemikiran, karena olah pikir
kita tidak dapat berangkat dari kekosongan, melainkan harus melihat dan menelaah
pemikiran-pemikiran yang dihasilkan orang lain dengan harapan dapat memperoleh
keluasan dalam wawasan ilmu, baik dari sudut materi maupun metodologi khususnya
dalam bidang syariah dan ilmu-ilmu hadits.
Hadits atau sunah yang secara struktur maupun
fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslim dari berbagai madzhab, sebagai
sumber ajaran Islam, karena dengan adanya hadits itulah ajaran Islam menjadi
jelas, rinci, dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum
dalam berbagai kitab telah melalui proses penelitian. Oleh karenanya, kemudian
banyak Ulama’ yang menyusun kitab-kitab hadits, baik kalangan Ulama’ terdahulu
maupun Ulama’ sekarang. Salah satu buah hasil karya Ulama’ terdahulu yang
sampai saat ini sangat terkenal dikalangan umat Islam adalah al-Muwatha’ yang
dikarang oleh Imam Malik dan merupakan kitab tertua di bidang hadits.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bigrafi imam malik ?
2.
Bagaiman sistematika penulisan kitab
al-Muwattha’ ?
3.
Bagaimana isi kitab al-Muwattha’ ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Malik
Nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr
bin al-Harits bin Gaiman bin Husail bin Amr bin al-Harits al-Ashbahi al-Madani.
Di Madinah Ia dikenal sebagai seorang faqih dan Imam madzhab Maliki.
Sehingga Ia mempunyai beberapa nama laqab, yang di antaranya adalah
al-Ashbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam, Dar al-Hijrah dan al-Humairi. Kunyah-nya
adalah Abu Abdullah, Ia juga memilki silsilah yang samapi pada salah seorang
sahabat, Abu Amir, yang mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman
Nabi kecuali perang Badar. Sedang kakeknya, Malik, adalah seorang tabi’in yang
dikenal sebagai salah satu kibaru al-tabi’in dan fuqoha kenamaan dan
salah satu dari 4 tabi’in yang jenazahnya diusung sendiri oleh khalifah Usman.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah al-Munawwarah,
dari sepasang suami-istri, Anas bin Malik dan Aliyah binti Syarik bin
Abdurrahman, sumber lain lain menyebutkan Suraik. Ayah Imam Malik bukan Anas
bin Malik sahabat Nabi, tetapi Ia adalah seorang tabi’in yang informasinya
dalam buku-buku sejarah sangat minim, hanya saja tercatat bahwa, ayah Imam
Malik tinggal di Zulmarwah, suatu tempat yang terletak di padang pasir sebelah
utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah.[1]
Mengenai kelahiran Imam Malik, menurut Nurun Najwah
dalam karyamya yang terdapat dalam buku studi kitab hadits, terdapat beberapa
pendapat di alangan para sejarawan. Ada yang mengatakan 90 H, 93 H, 94 H dan
ada juga yang menyatakan 97 H. tetapi mayoritas mereka lebih cenderung pada 93
H, yaitu bertepatan pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin
Marwan. Imam Malik menikah dengan seorang hamba (nama istri Imam Malik tidak
disebutkan dalam buku sejarah) yang kemudian di karuniai 4 keturunan, Mohammad,
Hammad, Yahya, dan Fatimah.
Imam Malik berguru pada 900 orang,
300 di antaranya adalah dari tabi’in, 600 dari kalangan tabi’it tabi’in. beliau
masuk dalam kategori tani’it tabi’in. Tentang kewafatan Imam Malik, juga
terdapat beberapa pendapat. Ada yang berpendapat tanggal 11, 12, 13, 14 bulan
Rajab 179 H dan ada yang berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal 179 H. tetapi
pendapat yang banyak di ikuti oleh para sejarawan adalah pendapat yang di
kemukakan oleh Qadi Abu Fadl Iyad yang menyatakan bahwa Imam Malik meninggal
pada hari ahad tanggal 12 Rabiul Awal 179 Hdalam usia 87 tahun, setelah satu
bulan menderita sakit dan dikebumikan di kuburan Baqi’. Sebelum Ia meninggal,
Ia sempat berwasiat untuk di kafani dengan kain kafan berwarna putih dan di
shalatkan di tempat dimana Ia meninggal.[2]
B.
Latar belakang dan penamaan kitab Al-Muwattha’
Ada beberapa factor yang melatarbelakangi penyusunan
kitab al-Muwatha’ yang kemudian oleh Ulama’ di kemukakan dalam beberapa versi.
Seperti yang terdapat dalam muqaddimah al-Muwatha’, disebutkan bahwa ketika
Imam Malik melihat buah hasil karya Abdul Aziz bin al-Majisyun yang tidak
menyebutkan hadits Nabi saw. maka muncullah keinginan untuk mengarang subuah
kitab.
Menurut Noel J. Coulson.[3]
latar
belakang penyusunan al-Muwatha’ adalah adanya problem politik dan keagamaan.
Kondisi politik yang penuh konflik pada masa pemerintahan Daulah Umayyah dan
Abbasiyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij. Syi’ah dan keluarga
istana) yang mengancam integritas kaum muslim dan berkembangnya nuansa perbedaan
kondisi social keagamaan, khususnya di bidang hukum yang berangkat dari
perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio di sisi yang lain, telah
melahirkan pluralitas yang penuh konflik.
Selain pernyataan yang di kemukakan oleh Noel J..
Coulson di atas, ada versi lain yang mengatakan bahwa latar belakang penyusunan
al- Muwatha’ adalah adanya usulan Muhammad bin Muqaffa’ kepada Khalifah Ja’far
al-Mansur untuk membuat semacam peraturan atau undang-undang yang menjadi
penengah dan dapat di terima oleh semua kalangan karena Muhammad bin Muqaffa’
sangat prihatiur terhadap adanya perbedaan fatwa dan pertentangan yang
berkembang pada saat itu. Khalifah Ja’far al-Mansur kemudian meminta Imam Malik
untuk menyusun Kitab hukum sebagai Kitab standar bagi seluruh wilayah Islam.
Imam Malik menerima permintaan tersebut, namun ia keberatan menjadikan kitabnya
sebagai kitab standar atau kitab resmi Negara.
Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa, di samping
terinisiatif oleh usulan Khalifah Ja’jafar al-Mansur, sebenarnya Imam Malik
mempunyai keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam
dalam memahami agama.[4]
Mengenai penamaan kitab al-Muwatha’ adalah berasal
dari Imam Malik sendiri, hanya saja ulama’ berbeda pendapat tentang mengapa
kitab tersebut dinamakan al-Muwatha’. Kemudian munculah beberapa
pendapat yang di antaranya adalah; pertama, sebelum kitab tersebut di
sebarluaskan, Imam Malik telah melakukan sosialisasi dengan menyodorkan
karyanya tersebut di hadapan 70 ulama’ Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya.
Hal ini seperti yang terdapat dalam sebuah riwayat al-Suyuti bahwa, Imam Malik
berkata “Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua
setuju dengan kitabku tersebut, maka Aku namai dengan al-Muwatha’.
Kedua, penamaan kitab al-Muwatha’ tersebut
adalah karena kitab tersebut memudahkan khalayak umat Islam dalam memilih dan
menjadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama. Ketiga, pendapat
yang menyatakan bahwa penamaan al-Muwatha’, karena kitab al-Muwatha’ merupakan
perbaikan terhadap kitab-kitab Fiqh sebelumnya.[5]
C.
Isi dari kitab Al-Muwattha’
Kitab al-Muwatha’ menghimpun hadits-hadts Nabi, baik yang bersambung
sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya, Qaul sahabat, qaul tabi’in,
ijma’ ahlul-Madinah dan pendapat Imam Malik sendiri. Salah satu contoh hadits
yang tidak bersambung sanadnya adalah hadits yang berbunyi;
عن عطاء بن يسار أنه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم فسأله عن وقت صلاة الصبح. قال : فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى
إذا كان من الغد صلى الصبح حين طلع الفجر ثم صلى الصبح من الغد حين أسفر ثم قال
"أين السائل عن وقت الصلاة؟" ها أناذا يارسول الله, فقال "ما بين
هذين وقت"[6]
Sedangkan
contoh hadits yang termasuk Qaul sahabat adalah;
Sementara
contoh hadits yang termasuk Qaul tabi’in adalah;
وحدثني عن مالك أنه بلغه أن عاملا
لعمر بن عبد العزيز كتب إليه يذكر أن رجلا منع زكاة ماله, فكتب إليه أن دعه ولا
تأخذ منه زكاة مع المسلمين, قال فبلغ ذلك الرجل فاشتد عليه وأدى بعد ذالك زكاة
ماله, فكتب عامل عمر إليه يذكر له ذلك فكتب إليه عمر أن خذها منه.[8]
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah hadits
yang terdapat dalam Al-Muwattha’:
1.
Ibnu Habbab yang dikutip Abu bakar
Al-A’rabi dalam syarah Al-Tirmidzi menyatakan ada 500 hadits yang disaring dari
100.000 hadits.
2.
Abu Bakar Al-Abhari berpendapat ada
1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul
tabi’in.
3.
Al-Harasi dalam “ Ta’liqah fi
Al-Ushul” mengatakan kitab Malik memuat 700 hadits dari 9000 hadits yang telah
disaring.
4.
Abu Al-Hasan Bin Fahr dalam
“fada’il” mengatakan ada 10.000 hadits dalam kitab Al-Muwatta’
5.
Arnold John Wensinck menyatakan
dalam Al-Muwatta’ ada 1612 hadits.
6.
Muhammad Fuad Abdul Al-baqi
mengatakan Al-Muwatta’ berisi 1824 hadits.
7.
Ibnu Hazm berpendapat dengan tanpa
menyebutkan jumlah persisnya. 500 lebih hadits musnad, 300 lebih hadits
mursal,70 hadits lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa hadits
dhaif.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber
periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan.Ada Ulama’ hadits yang
menghitung hadits hanya berdasar jumlah hadits yang disandarkan kepada nabi
saja, namun ada pula yang menghitung dengan mengabungkan fatwa sahabat, fatwa
tabi’in yang termaktub dalam Al-muwatta’.
Ada perbedaan pendapat yang berkembang ketika dihadapkan pada pertanyaan,
apakah kitab Al-muwatta’ adalah Kitab fiqih, Kitab hadits atau kitab fiqih
sekaligus hadits?. Menurut Abu Zahra, Al-Muwatta’ adalah kitab fiqih, alasannya
adalah bahwa, tujuan Imam Malik mengumpulkan hadits adalah untuk melihat fiqih
dan undang-undangnya bukan keshahihannya dan Imam Malik menyusun kitabnya dalam
bab bersistematika fiqih.
Seperti halnya Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir juga melihat
Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqih dengan dalil hadits. Tradisi yang dipakai
adalah tradisi kitab fiqih yang sering kali hanya menyebut sebagian sanad
atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali karena untuk memudahkan dan
demi kepraktisannya.[10]
Sedangkan menurut Abu Zahwu kitab ini bukan semata-mata kitab fiqih, tetapi
hadits, karena sistematika fiqih juga dipakai dalam kitab-kitab hadits yang
lain.
D.
Metode penyusunan kitab Al-Muwattha’
Secara khusus, tidak ada pernyataan
yang tegas tentang metode yang di pakai Imam Malik dalam menghimpun kitab
al-Muwatha’. Namun sacara umum dengan melihat penjelasan dan cara pembukuan
yang di lakukan oleh Imam Malik dalam kitabnya, metode yang di pakai adalah
metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan
mencantumkan hadis-hads yang bersumber langsung dari Nabi saw, yang disebut
dengan Marfu’ dan yang besumber dari sahabat Nabi saw, yang di sebut
dengan Mauquf ataupun yang berasal dari tabi’in, yang disebut Maqthu’.
Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan, yang berupa; a) penyeleksian
terhadap hadis-hadis yang di sandarkan kepada Nabi.saw. b) atsar atau fatwa
sahabat. c) fatwa tabi’in. d) ijma’ ahli Madinah dan e) pendapat Imam Malik
sendiri.[11]
Meskipun sebenarnya kelima tahapan
tersebut tidak selalu muncul besamaan dan digunakan dalam setiap pembahasan dan
urutan pembahasannya, Ia mendahulukan penulusuran dari hadits Nabi saw.
yang telah diseleksi sebagai acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan
tahapan kedua dan seterusnya dijelaskan Imam Malik tatkala Ia merasa perlu
untuk dijelaskan.
Dalam penyeleksian suatu hadis, ada
empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan
hadits, keempat kriteria tersebut adalah; a) periwayat bukan orang yang
berperilaku jelek. b) periwayat bukan ahli bid’ah c) periwayat bukan orang yang
suka berdusta dalam hadits d) periwayat bukan orang yang tahu ilmu, tetapi
tidak mengamalkannya.[12]
E.
Komentar
Ulama’ dan kritik terhadap kitab al-Muwatha’ dan kualitas haditsnya.
Meskipun Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin
dalam menyaring hadits-hadits yang diterima untuk dihimpun, tetapi para Muhadditsin
(Ulama’ hadits) berbeda pendapat dalam memberikan komentar dan penilaian
terhadap al-Muwatha’ dan kualiatas hadits-haditsnya:
1. Sufyan bin
Uyainah dan Al-Suyuti menyatakan, seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Malik
adalah shahih, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya.
2. Abu Bakar
al-Abhari berpendapat, bahwa tidak semua hadits dalam al-Muwatta’ shahih,
terdapat 222 hadits Mursal, 623 hadits Mauquf dan 285 hadits Maqtu’.
3. Ibnu Hajar
al-Asqalani menyatakan bahwa hadits-hadits yang termuat dalam Al-Muwatta’
adalah shahih menurur Imam Malik dan pengikutnya.
4. Ibnu Hazm
dalam penilaiannya yang termaktub dalam maratib al-diniyah, ada 500 hadits Musnad,
300 hadits Mursal dan 70 hadits dhaif yang ditinggalkan Imam
Malik. Sedangkan menurut Ibnu Hajar didalamnya ada hadits yang Mursal
dan Munqati’.
5. Al-Ghafiqi
berpendapat dalam Al-Muwatta’ ada 27 hadits Mursal dan 15 hadits Mauquf.
Hasbi As-shiddiqi menyatakan dalam Al- Muwatta’ ada hadits yang shahih, hasan
dan dhaif.[13]
Selain penilaian Ulama’ tentang kualitas hadits al-Muwatha’, ada pula
ulama’ yang memberikan komentar terhadap kitab al-Muwatha’, yang di antaranya
adalah; a) Al-Syafi’i berkata bahwa di dunia ini tidak ada kitab setelah
al-Quran yang lebih shahih dari pada kitab al-Muwatha’ Imam Malik. Sedangkan
orang-orang Hijaz membernya gelar “ Sayyidi Fuqahal Hijz”. b) Al-Hafidz
al-Muglatayi al-Hanafi berkata, buah karya Imam Malik adalah kitab shahih yang
pertama kali. c) Waliyullah al-Dahlawi berkata al-Muwatha’ aladah kitab yang
paling shahih, masyhur dan paling terdahulu pengumpulannya. d) Abdurrahman bin
Waqid berkata, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang seperti Imam Malik.
e) Imam Yahya bin Sa’id al Qahthan dan Yahya bin Ma’in memberi beliau gelar
“Amirul Mu’minin Fil Hadits.” Sementara Ibnu Wahb berkata, Kalau bukan karena
(perantara) Imam Malik dan al-Laih niscaya kita akan sesat. Sehingga
kitab ini tetap di jadikan sebagai pegangan umat Islam dalam menjadikannya
sebagai rujukan suatu permaslahan.
Namun kendati demikian, hadits-hadits yang terdapat di dalamnya banyak yang
tidak bersambung sanadnya bahkan ada yang terputus, sehingga hal ini
menimbulkan kritikan dan keraguan dalam kepastian suatu hukum, dan di ragukan
ke shahihannya, sebab untuk mencapai tingkatan hadits shahih di butuhkan
kejelasan dalam periwayatan hadits dan kebersambungan sanadnya.
Dan juga tidak kalah pentingnya dalam al-Muwatha’ ini untuk di perhatikan
adalah Matan hadits, sebab ada kalanya Matan hadits di tambah dan
di kurangi, jika suatu hadits di tambah atau di kurangi, maka akan mengurangi
terhadap keoutentikan haditsnya bahkan oleh sebagian Ulama’ di anggap hadits
dlaif, yang kedudukannya sangat lemah dalam kehujjahan hukum. Sanad dan matan
merupakan hal utama yang harus di perhatikan dalam penelitian suatu hadits dan
dalam menjadikannya sebagai smbuer hukum.
Posisi kitab al-Muwatha’ dalam sumber-sumber ilmu hadits juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits, ada yang mengatakan bahwa,
al-Muwatha’ merupakan salah satu kutubu al-tis’ah (kitan yang sembilan),
ada pula yang mengatakan bahwa, al-Muwatha’, bukanlah semata-mata kitab hadits,
tetapi merupakan kumpulan kitab hadits yang pengumpulannya berdasarkan hukum
Fiqih. dan sebagai pengganti adalah Sunan al-Darimi.
F.
Syarah kitab Al-Muwattha’
Kitab al-Muwatha’ di ysarahi oleh
beberapa ulama’ yang di antaranya adalah;
1.
al-Tamhid lima fi al-muwatha’ min
al-Ma’ani wa al-Asanid yang di karang oleh Abu Umar bin Abdil Bar
al-Namri al-Qurthubi (w. 463 H.)
2.
al-Istizkar fi Syarh Mazahib Ulama’
al-Amsar karya Ibn Abdil Bar (w. 463 H)
3.
Kasyf al-Mugti fi Syarh al-Muwatha’ karya
Jalaluddin al-Suyuti (w.911 H)
4.
Tanwirul Hawalik, karya
Jalaluddin al-Suyuti (w.911 H)
5.
Syarh al-Ta’liq al-Mumajjad ala
Muwatha’ Imam Muhamad yang disusun oleh al-Haki Ibn Muhamad al-Laknawi al-Hindi.
6.
al-Muntaqa, karya Abu Walid
al-Bajdi (w. 474 H)
7.
al-Maswa, karya
al-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H)
8.
Syarh al-Zarqani, karya
al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pejelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa;
1.
Kitab al-Muwatha’ disusun
atas usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang
berniat untuk menyusun sebuah kitab yang dapat memudahkan umat Isalm dalam
memahami agamanya.
2.
Kitab al-Muwatha’ tidak hanya
terdiri dari hadits Nabi saw. tetapi juga terdiri dari pendapat sahabat, Qaul
tabi’in, Ijma’ Ahlul Madainah dan pendapat Imam Malik sendiri deangan metode
penyusunan hadist berdasarkan klasifikasi hukum Fiqih.
3.
Dalam penyeleksian hadits, Imam
Malik selalu memperhatikan empat kriteria, yaitu, a) periwayat bukan orang yang
berperilaku jelek. b) periwayat bukan ahli bid’ah c) periwayat bukan orang yang
suka berdusta dalam hadits d) periwayat bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak
mengamalkannya.
4.
Dan kitab ini, merupakan kitab
tertua di bidang hadits yang disusun berdasakan klasifikasi hukum Fiqih, dan
Ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah hadits yang terdapat di dalamnya.
B.
Saran
Makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
[2]Muqaddimah al-Muwatha’, Bairut; Lebanon, hal. 5-10 dan Kumpulan
Jurnal Study Kitab Hadits, Penulis Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, 2003, Yogyakata; TERAS press, hal. 2-6.
[3] Noel J. coulson, Hukum Islam dalam Persfektif
Sejarah, terjemah Hamid Ahmad, 1987, Jakarta, P3M, hal. 59.
[4] Dosen Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakata, Kumpulan Jurnal Study Kitab Hadits, 2003, Yogyakata; TERAS press, hal 7.
No comments:
Post a Comment