Friday, March 25, 2016

MAKALAH AWAL LAFAZH MATAN



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam ke-2 setelah Al-Qur’an, karena ia mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadist meliputi tigaunsur pkok yaitu perkataa Nabi, perbuatan Nabi dan perbuatan Nabi yang diketahui oleh Nabi dan Nabi setuju.[1] Hadits mempunyai tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi.  
Sanad menurut bahasa adalah “al-mu’tamadu” yaitu sesuatu yang djadikan sandaran, pegangan, dan pedoman. Menurut istlah ahli hadist sanad adalah mata rantai para perawi hadist yang menghubungkan sampai kepada matan hadist. seperti contoh suatu hadist Al-Bukhari dari Inu Mutsanna dari Abdul Wahab Ats-Tsaafi dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dari Nabi SAW. Maka hubungan mereka secara bermata rantai dan sandar menyandar dari siA ke B, dari B ke C dan seterusnya disebut sanad  dan Imam Bukhari disebut sebagai Perawi.[2]  Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if, atau lainnya. Dengan demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an dan ke-dlabith­-an setiap perawi sangat menentukan status hadits.
Sedangkan Matan menurut bahasa berarti keras, kuat, sesuatu yang Nampak dan yang asli. Berbagai redaksi definisi matan yang diberikan para Ulama’, tetapi intinya sama yaitu materi atau isi berita hadist itu sendiri yang dating dari Nabi saw.[3]
Adapun unsur ketiga adalah Perawi yang menurut Dr. Al-Muhdi adalah penyebut periwayatan seperti Al-Bukhari.[4]  Perawi di sebut juga Mukhorrij yang merupakan bentuk isim fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ihraj yang dalam bahasa diartikan menampakkan, mengeluarkan, dan menarik.Maksud Mukharrij adalah seorang yang menyebutkan suatu hadist dalam kitabnya dengan sanadnya.[5]
      Diantara kita terkadang memperoleh atau menerima teks, baik dalam majalah maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian kitab karya Ulama’ Klasik, yang dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan tidak pula perawinya. Maka untuk memastikan apakah teks-teks tersebut benar merupakan hadits atau tidak, atau jika memang hadits maka perlu diketahui statusnya secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa sanadnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka teks tersebut harus diteliti atau dilacak, darimana teks tersebut diambil (menunjuk pada kitab sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan bagaimana keadaan para perawi dalam sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber teks (kitab dan penulis atau perawi), maupun sanadnya jika teks pun diketahui apakah sahih atau tidak. Pelacakan seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij al-hadits).
Paling tidak ada 5 metode takhri dalam arti penelusuran hadist dari sumber buku hadist yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), Takhrij dengan awal matan ( bi awwal almatan), takhrij dengan tema (bi al-mawdhui), dan takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).[6] Dan dalam makalah ini kami akan membahas dua metode dari 5 metode tersebut yaitu takhrij dengan awal matan ( bi awwal almatan) dan takhrij dengan kata (bi al-lafzhi). Dan dari kedua metode tersebut pembahasannya akan dibatasi pada materi sesuai rumusan makalah yang kami rangkai dengan butir-butir pertanyaan. Selanjutnya butir-butir pertanyaan dalam rumusan makalah tersebut akan kami sambung dengan butir-butir pernyataan dari  tujuan makalah. Dengan harapan akhir akan mendapatkan tujuan dari penulisan makalah ini yang d bahas dan disimpulkan di akhir bab.






B.       Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang memberi gambaran global makalah ini maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sbb :
1.    Apa pengertian Takhrij hadist melalui huruf awal matan ( bi awwal almatan) dan melalui kata (bi al-lafzhi)?
2.    Apa manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan?
3.    Apa manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui kata/lafadz yang ada pada hadist?
C.      Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang akan kami bahas maka tujuan masalah pada makalah ini adalah sbb :
1.    Mengetahui definisi Takhrij hadist melalui huruf awal matan ( bi awwal almatan) dan melalui- kata (bi al-lafzhi)?
2.    Mengetahui manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan?
3.    Mengetahui manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui kata/lafadz yang ada pada hadist?















BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Takhrij hadist melalui permulaan matan ( bi awwal almatan) dan melalui- kata (bi al-lafzhi)
Sebelum kita memahami pengertian Takhrij hadist melalui permulaan matan ( bi awwal almatan) dan melalui- kata (bi al-lafzhi)ada baiknya jika kita mengulas sedikit arti dari takhrij hadist itu sendiri.
Secara epistemology kata takhrij berasal adri kata Kharaja, yakhruju, khuruujan yang mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (in fi’il) menjadi kharraja, yukharraj, takhriijan yan berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan.[7]
Menurut istilah dan yang disebutkan oleh ulama hadist kata at-takhrij mempunyai beberapa arti yakni:
1.    Mengemukakan hadist kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadist itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.    Ulama hadist mengemukakan berbagai hadist yang telah dikemukakan oleh para guru hadist, atau berbagai kitab atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.    Menunjukkan asal-usul hadist dan mengemukakan sumber  pengambilannya dari berbagai kitab hadist yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadist yang mereka riwayatkan).
4.    Mengemukakan hadist yang berdasarkan sumbernya atau berbagaisumber, yakni berbagai kitab,yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadistnya.
5.    Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadist yang bersangkutan.
Secara harfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Perhatikan dua ungkapan dalam dua contoh dibawah ini :
a.    ‘Umar keluar (khuruj) dari masjid =  خرج عمر من المسجد
b.    Bintang mengeluarkan (takhrij) warna =  ﺧﺭﱠجت النجوم اللون
Dengan makna tersebut maka takhrij al-hadits secara sederhana berarti “mengeluarkan hadits”, artinya hadits dicari atau dilacak dari sumbernya (kitab hadits).
Adapun secara terminologis, takhrij al-hadits dipahami sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij al-hadits adalah cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij
Rumusan definitif tersebut mengandung maksud bahwa takhrij al-hadits adalah upaya menulusuri hadits hingga sumber atau asalnya, baik untuk menemukan sanad dan perawinya maupun untuk mengklsrifikasi redaksi matannya. Tanpa demikian dikhawatirkan hadits berada pada posisi dan status yang jauh dari apa yang diharapkan. Sejarah telah membuktikan bahwa munculnya hadits palsu (mawdlu’) dengan berbagai faktor dan motifnya telah mempengaruhi bahkan meracuni kehidupan beragama.Cendikiawan muslim yang mula-mula melakukan takhrij adalah al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H./1070 M.), lalun Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H./1188 M.) dengan karyanya yang berjudul Takhrij al-Ahadits al-Muhadzdzab. Sedangkan pengertian takhrij hadist melalui permulaan matan ( bi awwal al matan) dan melalui- kata (bi al lafzhi) kami uraikan berikut.



1.         Pengertian Takhrij hadist melalui huruf awal matan (bi awwal almatan).
Sedangkan takhrij hadist dengan lafal pertama hadist  ini adalah mentakhrij hadist berdasarkan lafal pertama. Dan ini sangat tergantung pada lafadz pertama matan hadits.
Takhrij hadist ini adalah takhrij hadist yang menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai huruf mim maka dicari pada bab mim jika diawali huruf ba’ maka dicai pada huruf ba’dan seterusnya. Takhrijseperti ini diantaranya dengan menggunakan kitab al-Jami’ Ash-Shagir atau Al-Jami’ Al-Kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadist Ar-Rasul karya Ibnu Al-Atsar.[8] Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadits yang berbunyi;
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadits tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah;
عَنْ اَ بِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاَلَ: لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُرْعَةِ اِنَّمَا الشَدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَالغَيْبِ
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
2. Takhrij hadist melalui kata (bi al-lafzhi)   
Adapun Metode takhrij dengan lafal-lafal yang terdapat pada Hadist ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan lafadz – lafadznya yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al – Mu`jam Al – Mufahras li Al-faz Al – Hadit  An – Nabawi.[9] Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadits sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.
 Contohnya pencarian hadits berikut;
اِنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ
Dalam pencarian hadits di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى), ta’am (طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ)al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadits, penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadits (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
     Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadits dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
     Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadits. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).
     Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadits yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadits (tidak lengkap). Mengiringi hadits tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadits itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
     Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadits dan memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.[10]

B.       Manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan
       Beberapa kelebihan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan adalah:
1.    Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorangmukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat.
2.    Meskipun tidak hafal semua hadist, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadist yang dicari.
3.    Akan ditemukan hadist lain yang tidak menjadi obyek pencarian dan mungkin dibutuhkan.
Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan hadits yang dimaksud. Sebagai contoh ;
    اِذاأَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَ خُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
Berdasarkan teks di atas, maka lafadz pertama dari hadits tersebut adalah iza atakum (اِذااَتَاكُمْ)
Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafadz pertamanya adalah law atakum (لَوْاَتَاكُمْ) atau iza ja’akum (اذاجَاءَكُمْ), maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadits yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafadz pertamanya, meskipun ketiga lafadz tersebut mengandung arti yang sama.




C.       Manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui kata pada hadist
Adapun kelebihan dari metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada hadist adalah sebagai berikut :
1.         Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits. 
a.    Hadits-hadits dibatasi dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
2.                            Mempercepat pencarian hadits
a.    memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
b.    Jika terdapat kelainan lafal pertama misalnya lafal yang diingat bukanlah lafal awal hadist maka akan berakibat sulit menemukan hadist tersebut.
c.    Jika lafal yg dianggap awal hadis bkn awal hadis;
d.   Jika trjadi penggantian lafal yg diucapkan Rasul.
Sedangkan segi kelemahannya metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada hadist adalah :
1.    Keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu pendukungnya. Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya. 
2.    Metode ini tidak menyebutkan nama perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui ama-ama sahabat yang menerima hadits ini dari nabi SAW mengharuskan kembali kepada kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab ini. 
3.    Terkadang hadits tidak langsung ketemu dengan satu kata sehingga harus menggunakan kata-kata lain










BAB III
KESIMPULAN

Setelah membahas ulasan makalah tersebut maka kami mendapatakan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian Takhrij hadist melalui huruf awal matan ( bi awwal almatan.
Takhrij hadist dengan lafal pertama matan hadist  ini adalah mentakhrij hadist berdasarkan lafal pertama. Dan ini sangat tergantung pada lafadz pertama matan hadits. Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah.
Takhrij hadist ini adalah takhrij hadist yang menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai huruf mim maka dicari pada bab mim jika diawali huruf ba’ maka dicai pada huruf ba’ dan seterusnya. Takhrijseperti ini diantaranya dengan menggunakan kitab al-Jami’ Ash-Shagir atau Al-Jami’ Al-Kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadist Ar-Rasul karya Ibnu Al-Atsar.
2. Takhrij hadist melalui kata (bi al-lafzhi)    
Adapun Metode takhrij dengan lafal-lafal yang terdapat pada Hadist ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan lafadz – lafadznya yang asing dan jarang penggunaanya.
3. Manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan
ñ Memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat.
ñ     Meskipun tidak hafal semua hadist, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadist yang dicari.
ñ     Akan ditemukan hadist lain yang tidak menjadi obyek pencarian dan mungkin dibutuhkan.
Kelemahan Metode Takhrij hadist dengan lafal pertama seperti :
ñ     Jika terdapat kelainan lafal pertama misalnya lafal yang diingat bukanlah lafal awal hadist maka akan berakibat sulit menemukan hadist tersebut.
ñ     jika lafal yg dianggap awal hadis bkn awal hadis; 2. jika trjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasul.
4.    Manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui kata pada hadist
Adapun kelebihan dari metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada hadist adalah sebagai berikut :
ñ     Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits. 
ñ     Hadits-hadits dibatasi dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
ñ     mempercepat pencarian hadits
ñ     memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
ñ     Jika terdapat kelainan lafal pertama misalnya lafal yang diingat bukanlah lafal awal hadist maka akan berakibat sulit menemukan hadist tersebut.
ñ     jika lafal yg dianggap awal hadis bkn awal hadis;
ñ     jika trjadi penggantian lafal yg diucapkan Rasul.
Sedangkan segi kelemahannya metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada hadist adalah :
ñ     Keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu pendukungnya. Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya. 
ñ     Metode ini tidak menyebutkan nama perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui ama-ama sahabat yang menerima hadits ini dari nabi SAW mengharuskan kembali kepada kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab ini. 
ñ     Terkadang hadits tidak langsung ketemu dengan satu kata sehingga harus menggunakan kata-kata lain.










[1] Abu Bakar Muhammad, Hadist Tarbiyah, h. 17.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, h. 97.
[3] Ibid, h. 103.
[4] Al-Muhdi, Thuruq Al-Takhrij, h. 9
[5] Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 103.
[6] Ibid h. 119.
[7] Al-Marbawi, Kamus idris Al-Marbawi, h. 167.
[8] Syuhudi Ismail, Metedologi penelitian hadist, Jakarta,1990, hal 41.
[9] Abdul Majid Khon, Op.cit, h. 123-124.
[10] AJ. Wensink, Mu’jam Al-Mufahrasy li Alfaz Al-Hadits An-Nabawi, (Laiden : Maktabah Brill, 1936 M).

No comments:

Post a Comment