BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam ke-2 setelah Al-Qur’an, karena ia
mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum. Oleh karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi
perhatian. Hadist meliputi tigaunsur pkok yaitu perkataa Nabi, perbuatan Nabi
dan perbuatan Nabi yang diketahui oleh Nabi dan Nabi setuju.[1]
Hadits mempunyai tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi.
Sanad menurut bahasa adalah “al-mu’tamadu” yaitu sesuatu yang djadikan
sandaran, pegangan, dan pedoman. Menurut istlah ahli hadist sanad adalah mata
rantai para perawi hadist yang menghubungkan sampai kepada matan hadist.
seperti contoh suatu hadist Al-Bukhari dari Inu Mutsanna dari Abdul Wahab
Ats-Tsaafi dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dari Nabi SAW. Maka hubungan
mereka secara bermata rantai dan sandar menyandar dari siA ke B, dari B ke C
dan seterusnya disebut sanad dan Imam Bukhari disebut sebagai Perawi.[2]
Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi yang berderet
dalam sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih,
dla’if, atau lainnya. Dengan demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an
dan ke-dlabith-an setiap perawi sangat menentukan status hadits.
Sedangkan Matan menurut bahasa berarti keras, kuat, sesuatu yang Nampak dan
yang asli. Berbagai redaksi definisi matan yang diberikan para Ulama’, tetapi
intinya sama yaitu materi atau isi berita hadist itu sendiri yang dating dari
Nabi saw.[3]
Adapun unsur ketiga adalah Perawi yang menurut Dr. Al-Muhdi adalah penyebut
periwayatan seperti Al-Bukhari.[4]
Perawi di sebut juga Mukhorrij yang merupakan bentuk isim fa’il (bentuk pelaku)
dari kata takhrij atau istikhraj dan ihraj yang dalam bahasa diartikan
menampakkan, mengeluarkan, dan menarik.Maksud Mukharrij adalah seorang yang
menyebutkan suatu hadist dalam kitabnya dengan sanadnya.[5]
Diantara kita terkadang memperoleh atau
menerima teks, baik dalam majalah maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian
kitab karya Ulama’ Klasik, yang dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak
disertakan sanadnya bahkan tidak pula perawinya. Maka untuk memastikan apakah
teks-teks tersebut benar merupakan hadits atau tidak, atau jika memang hadits
maka perlu diketahui statusnya secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa
sanadnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka teks tersebut harus
diteliti atau dilacak, darimana teks tersebut diambil (menunjuk pada kitab
sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan bagaimana keadaan para perawi dalam
sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber teks (kitab
dan penulis atau perawi), maupun sanadnya jika teks pun diketahui apakah sahih
atau tidak. Pelacakan seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij
al-hadits).
Paling tidak ada 5 metode takhri dalam arti penelusuran hadist dari sumber
buku hadist yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), Takhrij dengan awal matan
( bi awwal almatan), takhrij dengan tema (bi al-mawdhui), dan takhrij dengan
sifat (bi ash-shifah).[6]
Dan dalam makalah ini kami akan membahas dua metode dari 5 metode
tersebut yaitu takhrij dengan awal matan ( bi awwal almatan) dan takhrij dengan
kata (bi al-lafzhi). Dan dari kedua metode tersebut pembahasannya akan dibatasi
pada materi sesuai rumusan makalah yang kami rangkai dengan butir-butir
pertanyaan. Selanjutnya butir-butir pertanyaan dalam rumusan makalah tersebut
akan kami sambung dengan butir-butir pernyataan dari tujuan makalah.
Dengan harapan akhir akan mendapatkan tujuan dari penulisan makalah ini yang d
bahas dan disimpulkan di akhir bab.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang memberi gambaran global makalah ini maka
rumusan masalah pada makalah ini adalah sbb :
1. Apa
pengertian Takhrij hadist melalui huruf awal matan ( bi awwal almatan) dan
melalui kata (bi al-lafzhi)?
2. Apa manfaat
dan kelemahan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan?
3. Apa manfaat
dan kelemahan metode takhrij hadist melalui kata/lafadz yang ada pada hadist?
C. Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang akan kami bahas maka tujuan masalah pada makalah
ini adalah sbb :
1. Mengetahui
definisi Takhrij hadist melalui huruf awal matan ( bi awwal almatan) dan
melalui- kata (bi al-lafzhi)?
2. Mengetahui
manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan?
3. Mengetahui
manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui kata/lafadz yang ada pada
hadist?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Takhrij hadist melalui permulaan matan ( bi awwal almatan) dan melalui- kata
(bi al-lafzhi)
Sebelum kita memahami pengertian Takhrij hadist melalui permulaan
matan ( bi awwal almatan) dan melalui- kata (bi al-lafzhi)ada baiknya jika kita
mengulas sedikit arti dari takhrij hadist itu sendiri.
Secara epistemology kata takhrij berasal adri kata Kharaja, yakhruju,
khuruujan yang mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (in fi’il) menjadi
kharraja, yukharraj, takhriijan yan berarti menampakkan, mengeluarkan,
menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan.[7]
Menurut istilah dan yang disebutkan oleh ulama hadist kata at-takhrij mempunyai beberapa arti
yakni:
1.
Mengemukakan
hadist kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya
dalam sanad yang telah menyampaikan hadist itu dengan metode
periwayatan yang mereka tempuh.
2.
Ulama hadist
mengemukakan berbagai hadist yang telah dikemukakan oleh para guru hadist, atau
berbagai kitab atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan
riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis
yang dijadikan sumber pengambilan.
3.
Menunjukkan
asal-usul hadist dan mengemukakan sumber pengambilannya dari
berbagai kitab hadist yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni
para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadist yang mereka
riwayatkan).
4.
Mengemukakan
hadist yang berdasarkan sumbernya atau berbagaisumber, yakni berbagai
kitab,yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya
masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas
hadistnya.
5.
Menunjukkan
atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni
berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap
dengan sanadnya masing-masing, kemudian, untuk
kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadist yang bersangkutan.
Secara harfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut
merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Perhatikan dua
ungkapan dalam dua contoh dibawah ini :
a.
‘Umar keluar (khuruj) dari
masjid = خرج عمر من المسجد
b.
Bintang mengeluarkan (takhrij)
warna = ﺧﺭﱠجت النجوم اللون
Dengan makna tersebut maka takhrij al-hadits secara
sederhana berarti “mengeluarkan hadits”, artinya hadits dicari atau dilacak
dari sumbernya (kitab hadits).
Adapun secara terminologis, takhrij al-hadits dipahami
sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada sumber yang orisinil
takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila
diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij al-hadits adalah
cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan
menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij
Rumusan definitif tersebut mengandung maksud bahwa takhrij al-hadits adalah
upaya menulusuri hadits hingga sumber atau asalnya, baik untuk menemukan sanad
dan perawinya maupun untuk mengklsrifikasi redaksi matannya. Tanpa demikian
dikhawatirkan hadits berada pada posisi dan status yang jauh dari apa yang
diharapkan. Sejarah telah membuktikan bahwa munculnya hadits palsu (mawdlu’)
dengan berbagai faktor dan motifnya telah mempengaruhi bahkan meracuni
kehidupan beragama.Cendikiawan muslim yang mula-mula melakukan takhrij adalah
al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H./1070 M.), lalun Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w.
584 H./1188 M.) dengan karyanya yang berjudul Takhrij al-Ahadits
al-Muhadzdzab. Sedangkan pengertian takhrij hadist melalui permulaan
matan ( bi awwal al matan) dan melalui- kata (bi al lafzhi) kami uraikan
berikut.
1.
Pengertian Takhrij hadist melalui
huruf awal matan (bi awwal almatan).
Sedangkan takhrij hadist dengan lafal pertama hadist ini adalah
mentakhrij hadist berdasarkan lafal pertama. Dan ini sangat tergantung
pada lafadz pertama matan hadits.
Takhrij hadist ini adalah takhrij hadist yang menggunakan permulaan matan
dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai huruf mim maka dicari
pada bab mim jika diawali huruf ba’ maka dicai pada huruf ba’dan seterusnya.
Takhrijseperti ini diantaranya dengan menggunakan kitab al-Jami’ Ash-Shagir
atau Al-Jami’ Al-Kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadist
Ar-Rasul karya Ibnu Al-Atsar.[8]
Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya
menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadits
yang berbunyi;
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut,
langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan
awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun
oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadits tersebut terdapat di halaman
2014. Bearti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz
IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah;
عَنْ اَ بِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاَلَ: لَيْسَ الشَّدِيْدُ
بِاالصُرْعَةِ اِنَّمَا الشَدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَالغَيْبِ
Artinya:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat
(perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang
disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya
tatkala dia marah”.
2. Takhrij hadist melalui kata (bi al-lafzhi)
Adapun Metode takhrij dengan lafal-lafal yang terdapat pada Hadist ini
adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits,
baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan
huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian
hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini
akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan lafadz – lafadznya
yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al –
Mu`jam Al – Mufahras li Al-faz Al – Hadit An – Nabawi.[9] Kitab
ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk
hadits sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi,
Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’
malik, dan Musnad Imam Ahmad.
Contohnya pencarian hadits berikut;
اِنَّ
النَّبِيَ صَلَّى اللّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ
الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ
Dalam pencarian hadits di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui
kata-kata naha (نَهَى), ta’am
(طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ), al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang
dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya.
Menurut penelitian para ulama hadits, penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadits (yang
berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu
hadits dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah
menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk
mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang
dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses
pencarian hadits. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk
dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam
kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata
kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang akan kita temukan
melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan
ditemukan hadits yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadits
(tidak lengkap). Mengiringi hadits tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang
menjadi sumber hadits itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu;
Metode ini mempercepat pencarian hadits dan memungkinkan pencarian hadits
melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu
hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus
menggunakan kata-kata lain.[10]
B.
Manfaat dan kelemahan metode takhrij
hadist melalui huruf awal matan
Beberapa
kelebihan metode takhrij hadist melalui huruf awal matan adalah:
1.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam
hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorangmukharrij untuk
menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat.
2.
Meskipun tidak hafal semua hadist,
dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadist yang
dicari.
3.
Akan ditemukan hadist lain yang
tidak menjadi obyek pencarian dan mungkin dibutuhkan.
Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat
kelainan atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka
akan sulit untuk menemukan hadits yang dimaksud. Sebagai contoh ;
اِذاأَتَاكُمْ
مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَ خُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
Berdasarkan
teks di atas, maka lafadz pertama dari hadits tersebut
adalah iza atakum (اِذااَتَاكُمْ)
Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafadz pertamanya
adalah law atakum (لَوْاَتَاكُمْ)
atau iza ja’akum (اذاجَاءَكُمْ),
maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadits yang sedang
dicari, karena adanya perbedaan lafadz pertamanya, meskipun
ketiga lafadz tersebut mengandung arti yang sama.
C.
Manfaat dan kelemahan metode takhrij
hadist melalui kata pada hadist
Adapun kelebihan dari metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada
hadist adalah sebagai berikut :
1.
Metode ini mempercepat pencarian
hadits-hadits.
a.
Hadits-hadits dibatasi dalam
beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
2.
Mempercepat pencarian hadits
a.
memungkinkan pencarian hadits
melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
b.
Jika terdapat kelainan lafal pertama
misalnya lafal yang diingat bukanlah lafal awal hadist maka akan berakibat
sulit menemukan hadist tersebut.
c.
Jika lafal yg dianggap awal hadis
bkn awal hadis;
d.
Jika trjadi penggantian lafal yg
diucapkan Rasul.
Sedangkan segi kelemahannya metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada
hadist adalah :
1.
Keharusan memiliki kemampuan bahasa
Arab dan ilmu-ilmu pendukungnya. Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan
kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya.
2.
Metode ini tidak menyebutkan nama
perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui ama-ama sahabat yang menerima
hadits ini dari nabi SAW mengharuskan kembali kepada kitab-kitab aslinya
setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
3.
Terkadang hadits tidak langsung
ketemu dengan satu kata sehingga harus menggunakan kata-kata lain
BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas ulasan makalah
tersebut maka kami mendapatakan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian Takhrij hadist melalui huruf awal matan
( bi awwal almatan.
Takhrij hadist dengan lafal pertama matan hadist ini adalah
mentakhrij hadist berdasarkan lafal pertama. Dan ini sangat tergantung
pada lafadz pertama matan hadits.
Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya
menurut urutan huruf hijaiyah.
Takhrij hadist ini adalah takhrij hadist yang menggunakan permulaan matan
dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai huruf mim maka dicari
pada bab mim jika diawali huruf ba’ maka dicai pada huruf ba’ dan seterusnya.
Takhrijseperti ini diantaranya dengan menggunakan kitab al-Jami’ Ash-Shagir
atau Al-Jami’ Al-Kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadist
Ar-Rasul karya Ibnu Al-Atsar.
2. Takhrij hadist melalui kata (bi
al-lafzhi)
Adapun Metode takhrij dengan lafal-lafal yang terdapat pada Hadist ini
adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits,
baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan
huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian
hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini
akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan lafadz – lafadznya
yang asing dan jarang penggunaanya.
3. Manfaat dan kelemahan metode takhrij hadist melalui
huruf awal matan
ñ Memberikan kemungkinan yang besar
bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang
dicari dengan cepat.
ñ Meskipun
tidak hafal semua hadist, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat
menyampaikan pada hadist yang dicari.
ñ Akan ditemukan
hadist lain yang tidak menjadi obyek pencarian dan mungkin dibutuhkan.
Kelemahan Metode Takhrij hadist dengan lafal pertama seperti :
ñ Jika
terdapat kelainan lafal pertama misalnya lafal yang diingat bukanlah lafal awal
hadist maka akan berakibat sulit menemukan hadist tersebut.
ñ jika lafal
yg dianggap awal hadis bkn awal hadis; 2. jika trjadi penggantian lafal yang
diucapkan Rasul.
4.
Manfaat dan kelemahan metode takhrij
hadist melalui kata pada hadist
Adapun kelebihan dari metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada
hadist adalah sebagai berikut :
ñ Metode ini
mempercepat pencarian hadits-hadits.
ñ Hadits-hadits
dibatasi dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz,
bab dan halaman.
ñ mempercepat
pencarian hadits
ñ memungkinkan
pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
ñ Jika
terdapat kelainan lafal pertama misalnya lafal yang diingat bukanlah lafal awal
hadist maka akan berakibat sulit menemukan hadist tersebut.
ñ jika lafal
yg dianggap awal hadis bkn awal hadis;
ñ jika trjadi
penggantian lafal yg diucapkan Rasul.
Sedangkan segi kelemahannya metode takhrij dengan lafal-lafal yang ada pada
hadist adalah :
ñ Keharusan
memiliki kemampuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu pendukungnya. Karena metode ini
menuntut untuk mengembalikan kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya.
ñ Metode ini
tidak menyebutkan nama perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui ama-ama
sahabat yang menerima hadits ini dari nabi SAW mengharuskan kembali kepada
kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
ñ Terkadang
hadits tidak langsung ketemu dengan satu kata sehingga harus menggunakan
kata-kata lain.
[10] AJ. Wensink, Mu’jam
Al-Mufahrasy li Alfaz Al-Hadits An-Nabawi, (Laiden : Maktabah Brill, 1936 M).
No comments:
Post a Comment