Saturday, March 26, 2016

MAKALAH MEMAHAMI HADITS YANG BERKENAAN DENGAN IKHLAS DALAM BERAMAL

MAKALAH
MEMAHAMI HADITS YANG BERKENAAN DENGAN
IKHLAS DALAM BERAMAL
UIN SUSKA RIAU

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Hadits I

Dosen pembimbing: H. Fikri Mahmud, Lc. MA

Penyusun :


MUHAMMAD FAIZ
NIM:11232104717

JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2013 M/1434 H





KATA PENGANTAR

Assalamualaikum  warahmatullahi wabarakatuh Segala puji hanya untuk Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Sholawat dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Segala puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan segala karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan pembuatan makalah yang telah diberikan kepada penulis dengan judul “Memahami Hadits yang Berkenaan dengan Ikhlas dalam beramal”.
Penulis berharap agar semua pengetahuan dan pengalaman yang telah penulis peroleh selama penyusunan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bekal dikemudian hari
Akhirnya, atas segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis apabila terdapat kekurangan dan kesalahan mohon maaf, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang hendak menambah wawasan dan pengetahuan, kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikan dengan baik, penulis menyampaikan terima kasih .


Pekanbaru,   Maret 2013


                                                                                                                                 Penulis









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN----------------------------------------------------------
A.    Latar Belakang---------------------------------------------------------------
B.     Rumusan Masalah------------------------------------------------------------
BAB II PEMBAHASAN-----------------------------------------------------------
A.    Hadits tentang Ikhlas dalam Beramal----------------------------------------
B.     Biografi Rawi dan Perawi Hadits--------------------------------------------
C.     Pemahaman terhadap Hadits-------------------------------------------------
D.    Pendapat para ‘Ulama--------------------------------------------------------
BAB III PENUTUP----------------------------------------------------------------
A.    Kesimpulan-------------------------------------------------------------------
B.     Saran-------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------------












BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202)

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Hadits yang berkenaan tentang ikhlas dalam beramal ?
2.      Bagaimana Ta’rif (pengenalan) Rawi ?
3.      Bagaimana pemahaman terhadap Hadits tersebut ?
4.      Bagaimana pendapat para ‘Ulama tentang pentingnya ikhlas ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits tentang Ikhlas dalam Beramal
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
 )رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة(

Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab radiyallahu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Kosa Kata :
Sesungguhnya hanyalah. Kata  إِنَّمَا  adalah lilhashri (untuk pembatasan),              :            إِنَّمَا
Yaitu menetapkan hukum apa yang disebutkan dan menafikan dari selainnya.

Amal, amal badaniyah berupa ucapan dan perbuatan                                            :    اْلأَعْمَال

Niat, menurut bahasa, ialah tujuan. Sedangkan menurut syariat,                              :     النِّيَّاتِ Ialah tekad hati untuk melakukan sesuatu diiringi dengan perbuatan.

Seseorang                                                                                                                  :       امْرِئٍ

Hijrah, menurut bahasa, ialah meninggalkan. Sedangkan menurut                           :      هِجْرَهُ
Syariat, ialah berpindah dari negeri syirik ke negeri islam, atau Dari
negeri kemaksiatan ke negeri istiqamah.

Apa yang dituju berupa kebaikan dan kejelekan                                                       :    مَا نَوَى

Dunia, apa yang berada diatas permukaan bumi berupa udara dan                          :         دُنْيَا
Cuaca, tapi yang dimaksud disini ialah harta secara khusus. Dinamakan
Demikian karma bakal segera lenyap, atau karna sebelum akhirat.

Apa yang diniatkannya berupa dunia, wanita atau selainnya.                    :  إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Menikahinya                                                                                                             :     يَنْكِحُهَا

Perbedaan Kata :

عمل / فعل / صنع / جعل

Mengerjakan suatu pekerjaan, yang memberikan akibat atau memberi                     :         عمل
hasil pada sesuatu

Mengerjakan suatu pekerjaan, yang diketahui sebelum mengerjakannya                 :          فعل  
baik memiliki sebab atau tidak.

Urutan-urutan pekerjaan yang sudah bisa diprediksi hasilnya                                  :        صنع

Mengerjakan suatu pekerjaan, yang berakibat merubah sesuatu                               :         جعل 
dengan memberikan dampak atau akibat kepada sesuatu itu
(merubah sesuatu yang ada).



كل  /  جمع 


Gabungan dari suatu kumpulan yang bisa dibagi lagi.                                              :            كل

Kumpulan dari suatu bagian yang tidak bisa dibagi lagi.                                          :         جمع
Atau menurut kadaan, kebiasaan, tidak dibagi lagi.                                                
       
B.     Biografi Rawi dan Perawi
1.      Rawi sahabat (Umar bin Khattab)
Nama lengkapnya adalah Amirulmukminin Abu Hafashah Umar Ibnul Khattab Al-Faruq Al-‘Adwi Al-Quraisyi. Beliau masuk islam pada tahun ke 6 dari lahirnya islam atas anjuran saudaranya Fatimah binti Khattab. Beliau merawikan sebanyak 537 hadits. Beliau wafat Tahun 24 H. akibat tikaman seorang hamba sahaya yang bernama Abu Lu’luah, yaitu budak Mughirah bin Syu,bah.[2]
2.      Perawi Hadits
a.       Imam Bukhari
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad Ismail bin Ibrahim bin Barzidbah Al-Yafi’ Al-Bukhari. Beliau dilahirkan pada hari jum’at, 13 Syawal 194 H (810 M) di sebuah kota bernama Bukhara. Pada waktu remaja, ia bermukim di madinah dan menyusun kitab Tarikh Al-Kabir. Beliau mempelajari hadits dari para guru hadits di berbagai negeri, diantaranya Khurasan, Iraq, Mesir, Mekkah, Asqalan, dan Syam. Ia salah seorang yang sangat kuat hafalannya, sebagai riwayat menjelaskan bahwa diantara kecerdasan beliau adalah sekali melihat dapat mengingat dan menghafal dengan sempurna. Beliau seorang yang Zahid, Wara’, Pemberani, Pemurah, dan sebagai Mujtahid dalam Fiqh. Beliau mulai belajar hadis sejak di bawah usia 10 tahun pada tahun 210 H, dan mendengarnya lebih dari 1.000 orang guru. Beliau hafal sebanyak 100.000 buah hadits shahih, dan 200.000 hadits tidak shahih.
Beliau wafat pada 1 Syawal 256 H (31 Agustus 870 M) pada hari jum’at malam sabtu malam hari raya Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di Samarkand.[3]


b.      Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah imam Abdul Hasyim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz Al-Quraisyi An-Naisyaburi. Beliau dilahirkan di Naisaburtahun 206 H. kehidupan Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau meranau keberbagai negeri untuk mencari hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan Negara-negara lainnya, dia belajar hadits sejak kecil yaitu mulai tahun 218 H. setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, beliau wafat hari Ahad sore dan di makamkan di kampong Nasr Abd di daerah Naisabur pada hari senin 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Imam Muslim mempunyai guru hadits yang sangat banyak sekali diantaranya adalah Utsman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaibah bin Farukh, Abu Kamil Al-Juri, Zuhair bin Rahab, ‘Amr An-Naqid, Muhammad bin Mutsanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id Al-Aili, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.

Kitab-kitab tulisan Imam Bukhari:
a.       At-Tarikh
b.      Al-Kabir
c.       Al-Awsath
d.      Al-Asghar
e.       Al-Kuna
f.       Al-wuhdan
g.      Al-Adab Al-Mufrad
Kitab Shahih pertama yang dikarangnya adalah Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari.

Kitab-kitab tulisan Imam Muslim:
a.       Al-Jami’us Shahih
b.      Al-Musnadul Kabir ‘Alar Rijal
c.       Al-Asma’ wal Kuna
d.      Al-Ilal
e.       Al-Aqran
f.       Sulaithi Ahmad bin Hambal
g.      Al-Intifa’ bi Uhubis Siba’
h.      Al-Muhadrimain
i.        Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
j.        Auladus Shahabah
k.      Ahkamul Muhadditsin
Kitabnya yang terkenal sampai kini adalah Al-Jami’us Shahih (Shahih Muslim).[4]

C.    Pemahaman terhadap Hadits
Karena merupakan hadits yang masyhur di kalangan ‘Ulama, maka hadits ini mendapat perhatian khusus dari para ‘Ulama. Yang salah seorangnya adalah Imam Nawawi. Beliau mengatakan bahwa niat itu sebagai barometer atau tolak ukur untuk menilai sahnya amalan.[5]
Sebagaimana beliau menjelaskan lafaz ( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ) Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Akan tetapi menurut Imam ibnu Daqiq, bahwasanya dalam kalimat ini ada lafaz yang dibuang, dan para ‘Ulama memperselisihkannya, adapun penyebab terjadinya perbedaan terhadap lafaz yang di takdirkan dalam matan ini dikarenakan terdapat perbedaan pandangan ‘Ulama Fiqh terhadap posisi niat didalam ibadah. Pertama, mereka yang yang mensyaratkannya dalam ibadah, Sedangkan pendapat yang kedua, yaitu mereka yang tidak mensyaratkannya dalam ibadah.
Adapun pendapat pertama menafsirkan باالنية الاعمال صحة ٳن (sesungguhnya sahnya amal itu dengan niat ). Sementara yang yang kedua menafsirkan باالنية الاعمال كمال ٳن (bahwasanya sempurnanya amal itu dengan niat). Akan tetapi, ibnu Abdul Barr melemahkan pendapat yang kedua karna para jumhur Fuqaha’ menjadikan niat sebagai syarat dalam ibadah untuk memetik pahala dari ibadah tersebut.[6]
Akan tetapi, kita bisa saja mengambil pendapat yang kedua jika kita mengaitkan hadits ini dengan tema makalah ini yaitu Ikhlas dalam beramal, hal ini disebabkan ikhlas sangat erat kaitannya dengan iman. Akan tetapi, tingkatan iman setiap muslim itu berbeda-beda yang satu dengan yang lainnya, dan demikian juga tingkat keikhlasannya. Pendapat pemakalah ini di perkuat oleh ibnu Ujaibah yang berpendapat bahwasanya terdapat 3 tingkatan didalam ikhlas. Yang pertama ialah ikhlas orang awam, yaitu mengesampingkan makhluk dalam dalam hal beribadah kepada tuhan seraya memohon ganjaran dunia dan akhirat. Yang kedua adalah ikhlas orang Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan harapan ganjaran akhirat. Kemudian yang terakhir adalah ikhlasnya orang yang Khawwasul-Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan tidak mengharapkan keduanya akan tetapi dengan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu semata-mata rindu dan cinta kepada Allah SWT.[7]
Kemudian jika mengaitkan hadits tadi terhadap posisi ikhlas didalam Tauhid, maka pemakalah menyimpulkan bahwa ikhlas harus dimiliki oleh setiap muslim, karena setiap ibadah harus ditujukan kepada Allah. Sebagaimana syarah terhadap lafaz الاالله اله لا menurut ibnu Qayyim.[8] Hal ini senada dengan perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW didalam surat Az-Zumar ayat 14-15.
Artinya : Katakanlah (Muhammad) hanya allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agamaku. Maka sembahlah selain dia sesukamu (wahai oran-orang Musyrik). Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang yang merugikan diri sendiri dan keluarganya pada hari kiamat, ingatlah yang demikian itu kerugian yang nyata.”[9]
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang yang menyembah kepada selain Allah adalah perbuatan orang-orang syirik.
Kemudian pada lafaz ( وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ) “Dan setiap orang akan hanya mendapatkan apa yang diniatkannya.” Imam Nawawi menjadikan lafaz ini sebagai dalil bahwa tidak boleh mewakilkan dalam beribadah dan tidak boleh mewakilkan niat dalam beribadah. Dikecualikan hal ini yaitu dari membagi-bagikan zakat dan menyembelih hewan qurban.[10] Hal ini sesuai dalam kaidah Fiqih.[11] Akan tetapi, menurut As-Sa’di bahwa kalimat ini juga mengandung pengertian bahwa sempurnanya iman seseorang itu tergantung kepada niatnya.

Kemudian dalam lafaz فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، )
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .(
“Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasulnya, Dan barang siapa hijrah karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang akan diniatkannya itu.”
Menurut Imam Nawawi sebagaimana yang ia nukil dari pendapatnya Imam ibnu ‘Arabi bahwa هجرة itu mengandung dua makna, yaitu : حرب (lari) dan طلب (mencari).
Jenis yang pertama, yaitu حرب terbagi menjadi 6 macam, yaitu : Pertama, keluar dari negeri kafir yang harus diperangi. Kedua, keluar dari negeri bid’ah. Ketiga, keluar dari tempat yang didominasi keharaman. Keempat, menjauhi dari gangguan fisik. Kelima, keluar karna takut penyakit. Dan yang keenam, keluar karena takut terhadap gangguan pada harta-harta nya.
Adapun jenis yang kedua, yaitu طلب terbagi kepada 10 macam, yaitu : Pertama, bepergian untuk mendapatkan pelajaran dari kebesaran Allah. Kedua, pergi haji. Ketiga, bepergian untuk berjihad. Keempat, bepergian untuk mencari penghidupan. Kelima, bepergian dengan maksud mencari nafkah. Keenam, menuntut ilmu. Ketujuh, menuju tempat yang dimuliakan Allah. Kedelapan, menuju perbatasan untuk berjaga-jaga disana. Kesembilan, mengunjungi saudara. Dan yang kesepuluh, mencari dunia.[12] Adapun kesembilan macam sebelumnya merupakan urusan agama, yang jika dilaksanakan dengan niat yang ikhlas, maka akan mendapatkan 2 ganjaran, yaitu kebagusan niat dan perintah agama. Sedngkan yang terakhir, jika di laksanakan dengan niat yang ikhlas, hanya akan mendapatkan satu balasan pahala, yaitu dari kebagusan niat saja.
Dari kalimat ini juga Imam Nawawi menyimpulkan, bahwa yang dinamakan dengan ikhlas itu adalah mengkhususkan ‘amal (ibadah) hanya kepada Allah saja, sedangkan bagi orang yang melakukan ibadah dikarenakan Allah dan makhluk, maka amalannya itu tertolak.[13]


Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW.
“Allah berfirman : Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan dimana ia mempersekutukan sesuatu (bersamaku), maka aku berlepas diri darinya.[14]

D.    Pendapat para ‘Ulama tentang Pentingnya Ikhlas
Makhul berkata, “Tidak seorang pun yang berbuat ikhlas selama 40 hari, melainkan akan terpancar sumber-sumber hikmah dari hati dan lisannya.”[15]
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “jika seseorang mengerjakan sesuatu dengan ikhlas, maka dia akan terlepas dari aneka macam godaan dan riya’.”[16]
Ketika menerangkan ungkapan Ibnu Athaillah, “Amal ibadah itu ibarat raga yang berdiri, dan rohnya adalah adanya rahasia ikhlas didalamnya.” Ibnu Ujaibah berkata, “Semua amal itu ibarat tubuh, dan rohnya adalah adanya ikhlas di dalamnya. Tubuh tidak mungkin dapat berdiri tegak kecuali dengan adanya roh. Jika tidak ada roh, maka dia adalah mayat. Begitu juga, amal jasmani dan amal hati tidak akan sempurna kecuali ada keikhlasan didalamnya. Jika tidak, maka dia hanya formalitas belaka.”[17]
Suatu ketika ada orang yang bertanya kepada Sahal ibn Abdullah At-Tustari, “Apakah yang paling keras terhadap nafsu ?” Beliau menjawab, “Ikhlas. Sebab, didalam ikhlas nafsu tidak memiliki bagian.[18]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
)رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة(
Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab radiyallahu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam bersabda: Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi mengatakan bahwa niat itu sebagai barometer atau tolak ukur untuk menilai sahnya amalan
Ibnu Ujaibah yang berpendapat bahwasanya terdapat 3 tingkatan didalam ikhlas. Yang pertama ialah ikhlas orang awam, yaitu mengesampingkan makhluk dalam dalam hal beribadah kepada tuhan seraya memohon ganjaran dunia dan akhirat. Yang kedua adalah ikhlas orang Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan harapan ganjaran akhirat. Kemudian yang terakhir adalah ikhlasnya orang yang Khawwasul-Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan tidak mengharapkan keduanya akan tetapi dengan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu semata-mata rindu dan cinta kepada Allah SWT.
B.     Saran
Demikianlah makalah Hadits yang membahas tentang “Hadits ikhlas dalam beramal” ini, semoga dapat jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalm makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh karena itu kami harapkan saran dan kritikan dari teman-teman maupun dosen pengampu yang bersifat membangun untuk lebik baik dimasa yang akan datang.   


DAFTAR PUSTAKA


Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2000.

Muhammad Abu Syuhbah, Kutubussittah, Surabaya; Pustaka Progresif. 1999.

Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi, Syarah Arba’in Nawawiyah, Jakarta; Darul Haq. 2008.

Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Jakarta; Qithi Press. 2005.

Imam As-Syuyuthi, Ashbahu wan Nazhair.

Haris Riadi. Kitab Tauhid.

Al-qur’an, Al-Jamil. Bekasi; Cipta Bagus Segara.

Abu Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiah.





[1] Muttafaq ‘alaih: Bukhari, no. 1; dan Muslim no. 1907
[2] Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2000), hlm. 50
[3] Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag, Amzah, Jakara 2012, hlm. 291
[4] Muhammad Abu Syuhbah, Kutubussittah, (Surabaya; Pustaka Progresif. 1999) hlm. 45
[5] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi, Syarah Arba’in Nawawiyah, (Jakarta; Darul Haq. 2008). Cet. 2 hlm. 5
[6] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi ,Op.cit. hlm 9.
[7] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta; Qithi Press. 2005). Cet. 13 hlm. 217
[8] Haris Riadi. Kitab Tauhid. Hlm. 3
[9] Al-qur’an, Al-Jamil. (Bekasi; Cipta Bagus Segara).
[10] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi ,Op.cit. hlm 11-12.
[11] Imam As-Syuyuthi, Ashbahu wan Nazhair. Bab ikhlas. 1429 H. hlm. 17
[12] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi ,Op.cit. hlm 12-13.
[13] Ibid, hlm. 6-7
[14] HR. Muslim, no. 2985 (diriwayatkan juga oleh ibnu Majah, lafazh milik ibnu Majah).
[15] Abu Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiah, hlm. 95-96
[16] Abu Qasim Al-Qusyairi. Op.cit. hlm. 95-96
[17] Ibid. hlm. 95-96.
[18] Ibid. hlm. 95-96.

No comments:

Post a Comment