MAKALAH
MEMAHAMI
HADITS YANG BERKENAAN DENGAN
IKHLAS
DALAM BERAMAL
UIN
SUSKA RIAU
Makalah ini ditulis untuk memenuhi
tugas terstruktur
mata kuliah Hadits I
Dosen pembimbing: H. Fikri Mahmud, Lc. MA
Penyusun :
MUHAMMAD
FAIZ
NIM:11232104717
JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
2013 M/1434 H
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Segala puji hanya untuk Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Sholawat
dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, serta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Segala puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan
segala karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan pembuatan makalah yang
telah diberikan kepada penulis dengan judul “Memahami Hadits yang Berkenaan
dengan Ikhlas dalam beramal”.
Penulis berharap agar semua pengetahuan dan pengalaman yang
telah penulis peroleh selama penyusunan makalah ini dapat bermanfaat sebagai
bekal dikemudian hari
Akhirnya, atas segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis
apabila terdapat kekurangan dan kesalahan mohon maaf, dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi siapa saja yang hendak menambah wawasan dan pengetahuan,
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikan dengan baik,
penulis menyampaikan terima kasih .
Pekanbaru, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR--------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN----------------------------------------------------------
A.
Latar Belakang---------------------------------------------------------------
B.
Rumusan
Masalah------------------------------------------------------------
BAB II PEMBAHASAN-----------------------------------------------------------
A.
Hadits tentang
Ikhlas dalam Beramal----------------------------------------
B. Biografi
Rawi dan Perawi Hadits--------------------------------------------
C. Pemahaman
terhadap Hadits-------------------------------------------------
D. Pendapat para ‘Ulama--------------------------------------------------------
BAB III PENUTUP----------------------------------------------------------------
A.
Kesimpulan-------------------------------------------------------------------
B.
Saran-------------------------------------------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA------------------------------------------------------------------------
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sesungguhnya
pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan
dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti
dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan
untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”.
(QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara apa
saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka
Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan
kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya,
karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman
amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan
amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil
pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini
sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah
berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa
yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut
(juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia
syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202)
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Hadits yang berkenaan tentang ikhlas dalam beramal ?
2. Bagaimana
Ta’rif (pengenalan) Rawi ?
3. Bagaimana
pemahaman terhadap Hadits tersebut ?
4. Bagaimana
pendapat para ‘Ulama tentang pentingnya ikhlas ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hadits
tentang Ikhlas dalam Beramal
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
)رواه إماما المحدثين أبو عبد الله
محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن
الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة(
Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab
radiyallahu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi
wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya,
dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa
yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena
wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi
tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Kosa Kata :
Sesungguhnya
hanyalah. Kata إِنَّمَا adalah lilhashri
(untuk pembatasan), : إِنَّمَا
Yaitu menetapkan hukum apa yang
disebutkan dan menafikan dari selainnya.
Amal, amal badaniyah berupa ucapan
dan perbuatan : اْلأَعْمَال
Niat,
menurut bahasa, ialah tujuan. Sedangkan menurut syariat, : النِّيَّاتِ Ialah
tekad hati untuk melakukan sesuatu diiringi dengan perbuatan.
Seseorang
: امْرِئٍ
Hijrah, menurut bahasa,
ialah meninggalkan. Sedangkan menurut :
هِجْرَهُ
Syariat, ialah berpindah dari negeri syirik ke negeri islam, atau Dari
negeri kemaksiatan ke negeri istiqamah.
Apa yang dituju berupa
kebaikan dan kejelekan :
مَا نَوَى
Dunia, apa yang berada
diatas permukaan bumi berupa udara dan : دُنْيَا
Cuaca, tapi yang dimaksud disini ialah harta secara khusus. Dinamakan
Demikian karma bakal segera lenyap, atau karna sebelum akhirat.
Apa yang diniatkannya
berupa dunia, wanita atau selainnya. : إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Menikahinya : يَنْكِحُهَا
Perbedaan Kata :
عمل / فعل
/ صنع
/ جعل
Mengerjakan suatu pekerjaan, yang memberikan akibat
atau memberi : عمل
hasil pada sesuatu
Mengerjakan suatu
pekerjaan, yang diketahui sebelum mengerjakannya : فعل
baik memiliki sebab atau tidak.
Urutan-urutan pekerjaan
yang sudah bisa diprediksi hasilnya : صنع
Mengerjakan suatu pekerjaan, yang berakibat merubah
sesuatu : جعل
dengan memberikan dampak
atau akibat kepada sesuatu itu
(merubah sesuatu yang ada).
كل / جمع
Gabungan dari suatu kumpulan yang bisa dibagi lagi.
: كل
Kumpulan dari suatu bagian
yang tidak bisa dibagi lagi. : جمع
Atau menurut kadaan,
kebiasaan, tidak dibagi lagi.
B.
Biografi Rawi dan Perawi
1.
Rawi sahabat (Umar bin Khattab)
Nama lengkapnya adalah
Amirulmukminin Abu Hafashah Umar Ibnul Khattab Al-Faruq Al-‘Adwi Al-Quraisyi.
Beliau masuk islam pada tahun ke 6 dari lahirnya islam atas anjuran saudaranya
Fatimah binti Khattab. Beliau merawikan sebanyak 537 hadits. Beliau wafat Tahun
24 H. akibat tikaman seorang hamba sahaya yang bernama Abu Lu’luah, yaitu budak
Mughirah bin Syu,bah.[2]
2.
Perawi Hadits
a.
Imam Bukhari
Nama lengkap beliau adalah
Abu Abdullah Muhammad Ismail bin Ibrahim bin Barzidbah Al-Yafi’ Al-Bukhari.
Beliau dilahirkan pada hari jum’at, 13 Syawal 194 H (810 M) di sebuah kota
bernama Bukhara. Pada waktu remaja, ia bermukim di madinah dan menyusun kitab Tarikh
Al-Kabir. Beliau mempelajari hadits dari para guru hadits di berbagai
negeri, diantaranya Khurasan, Iraq, Mesir, Mekkah, Asqalan, dan Syam. Ia salah
seorang yang sangat kuat hafalannya, sebagai riwayat menjelaskan bahwa diantara
kecerdasan beliau adalah sekali melihat dapat mengingat dan menghafal dengan
sempurna. Beliau seorang yang Zahid, Wara’, Pemberani, Pemurah, dan sebagai
Mujtahid dalam Fiqh. Beliau mulai belajar hadis sejak di bawah usia 10 tahun
pada tahun 210 H, dan mendengarnya lebih dari 1.000 orang guru. Beliau hafal
sebanyak 100.000 buah hadits shahih, dan 200.000 hadits tidak shahih.
Beliau wafat pada 1 Syawal
256 H (31 Agustus 870 M) pada hari jum’at malam sabtu malam hari raya Idul
Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di Samarkand.[3]
b.
Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah
imam Abdul Hasyim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz Al-Quraisyi
An-Naisyaburi. Beliau dilahirkan di Naisaburtahun 206 H. kehidupan Imam Muslim
penuh dengan kegiatan mulia. Beliau meranau keberbagai negeri untuk mencari
hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan Negara-negara lainnya, dia
belajar hadits sejak kecil yaitu mulai tahun 218 H. setelah mengarungi
kehidupan yang penuh berkah, beliau wafat hari Ahad sore dan di makamkan di
kampong Nasr Abd di daerah Naisabur pada hari senin 25 Rajab 261 H. dalam usia
55 tahun. Imam Muslim mempunyai guru hadits yang sangat banyak sekali
diantaranya adalah Utsman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaibah bin
Farukh, Abu Kamil Al-Juri, Zuhair bin Rahab, ‘Amr An-Naqid, Muhammad bin
Mutsanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id Al-Aili, Qutaibah bin Sa’id dan
lain sebagainya.
Kitab-kitab tulisan Imam Bukhari:
a.
At-Tarikh
b.
Al-Kabir
c.
Al-Awsath
d.
Al-Asghar
e.
Al-Kuna
f.
Al-wuhdan
g.
Al-Adab Al-Mufrad
Kitab Shahih pertama yang dikarangnya adalah Al-Jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhari.
Kitab-kitab tulisan Imam Muslim:
a.
Al-Jami’us Shahih
b.
Al-Musnadul Kabir ‘Alar Rijal
c.
Al-Asma’ wal Kuna
d.
Al-Ilal
e.
Al-Aqran
f.
Sulaithi Ahmad bin Hambal
g.
Al-Intifa’ bi Uhubis Siba’
h.
Al-Muhadrimain
i.
Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
j.
Auladus Shahabah
k.
Ahkamul Muhadditsin
Kitabnya yang terkenal sampai kini adalah
Al-Jami’us Shahih (Shahih Muslim).[4]
C.
Pemahaman terhadap Hadits
Karena merupakan hadits
yang masyhur di kalangan ‘Ulama, maka hadits ini mendapat perhatian khusus dari
para ‘Ulama. Yang salah seorangnya adalah Imam Nawawi. Beliau mengatakan bahwa
niat itu sebagai barometer atau tolak ukur untuk menilai sahnya amalan.[5]
Sebagaimana beliau
menjelaskan lafaz ( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ ) Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Akan
tetapi menurut Imam ibnu Daqiq, bahwasanya dalam kalimat ini ada lafaz yang
dibuang, dan para ‘Ulama memperselisihkannya, adapun penyebab terjadinya
perbedaan terhadap lafaz yang di takdirkan dalam matan ini dikarenakan terdapat
perbedaan pandangan ‘Ulama Fiqh terhadap posisi niat didalam ibadah. Pertama,
mereka yang yang mensyaratkannya dalam ibadah, Sedangkan pendapat yang kedua, yaitu
mereka yang tidak mensyaratkannya dalam ibadah.
Adapun pendapat pertama
menafsirkan باالنية الاعمال صحة ٳن (sesungguhnya sahnya amal itu
dengan niat ). Sementara yang yang kedua menafsirkan باالنية الاعمال كمال ٳن (bahwasanya sempurnanya amal
itu dengan niat). Akan tetapi, ibnu Abdul Barr melemahkan pendapat yang kedua
karna para jumhur Fuqaha’ menjadikan niat sebagai syarat dalam ibadah untuk
memetik pahala dari ibadah tersebut.[6]
Akan tetapi, kita bisa saja mengambil pendapat yang kedua jika kita
mengaitkan hadits ini dengan tema makalah ini yaitu Ikhlas dalam beramal, hal
ini disebabkan ikhlas sangat erat kaitannya dengan iman. Akan tetapi, tingkatan
iman setiap muslim itu berbeda-beda yang satu dengan yang lainnya, dan demikian
juga tingkat keikhlasannya. Pendapat pemakalah ini di perkuat oleh ibnu Ujaibah
yang berpendapat bahwasanya terdapat 3 tingkatan didalam ikhlas. Yang pertama
ialah ikhlas orang awam, yaitu mengesampingkan makhluk dalam dalam hal
beribadah kepada tuhan seraya memohon ganjaran dunia dan akhirat. Yang kedua
adalah ikhlas orang Khawwas, yaitu
orang yang beribadah dengan harapan ganjaran akhirat. Kemudian yang terakhir
adalah ikhlasnya orang yang Khawwasul-Khawwas,
yaitu orang yang beribadah dengan tidak mengharapkan keduanya akan tetapi
dengan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu semata-mata rindu dan cinta kepada
Allah SWT.[7]
Kemudian jika mengaitkan hadits tadi terhadap posisi ikhlas didalam Tauhid,
maka pemakalah menyimpulkan bahwa ikhlas harus dimiliki oleh setiap muslim,
karena setiap ibadah harus ditujukan kepada Allah. Sebagaimana syarah terhadap lafaz الاالله اله لا
menurut ibnu Qayyim.[8] Hal
ini senada dengan perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW didalam surat
Az-Zumar ayat 14-15.
Artinya : Katakanlah (Muhammad) hanya allah yang aku
sembah dengan penuh ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agamaku. Maka
sembahlah selain dia sesukamu (wahai oran-orang Musyrik). Katakanlah,
“Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang yang merugikan diri sendiri dan
keluarganya pada hari kiamat, ingatlah yang demikian itu kerugian yang nyata.”[9]
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang yang menyembah kepada selain Allah adalah
perbuatan orang-orang syirik.
Kemudian pada lafaz ( وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى ) “Dan
setiap orang akan hanya mendapatkan apa yang diniatkannya.” Imam Nawawi
menjadikan lafaz ini sebagai dalil bahwa tidak boleh mewakilkan dalam beribadah
dan tidak boleh mewakilkan niat dalam beribadah. Dikecualikan hal ini yaitu
dari membagi-bagikan zakat dan menyembelih hewan qurban.[10] Hal
ini sesuai dalam kaidah Fiqih.[11] Akan
tetapi, menurut As-Sa’di bahwa kalimat ini juga mengandung pengertian bahwa
sempurnanya iman seseorang itu tergantung kepada niatnya.
Kemudian dalam lafaz فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، )
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
.(
“Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya
kepada Allah dan rasulnya, Dan barang siapa hijrah karena dunia yang akan
diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang
akan diniatkannya itu.”
Menurut Imam Nawawi sebagaimana yang ia nukil dari pendapatnya Imam ibnu
‘Arabi bahwa هجرة itu
mengandung dua makna, yaitu : حرب (lari) dan طلب (mencari).
Jenis yang pertama, yaitu حرب terbagi
menjadi 6 macam, yaitu : Pertama, keluar dari negeri kafir yang harus
diperangi. Kedua, keluar dari negeri bid’ah. Ketiga, keluar dari tempat yang
didominasi keharaman. Keempat, menjauhi dari gangguan fisik. Kelima, keluar
karna takut penyakit. Dan yang keenam, keluar karena takut terhadap gangguan
pada harta-harta nya.
Adapun jenis yang kedua, yaitu طلب terbagi
kepada 10 macam, yaitu : Pertama, bepergian untuk mendapatkan pelajaran dari
kebesaran Allah. Kedua, pergi haji. Ketiga, bepergian untuk berjihad. Keempat,
bepergian untuk mencari penghidupan. Kelima, bepergian dengan maksud mencari
nafkah. Keenam, menuntut ilmu. Ketujuh, menuju tempat yang dimuliakan Allah.
Kedelapan, menuju perbatasan untuk berjaga-jaga disana. Kesembilan, mengunjungi
saudara. Dan yang kesepuluh, mencari dunia.[12]
Adapun kesembilan macam sebelumnya merupakan urusan agama, yang jika
dilaksanakan dengan niat yang ikhlas, maka akan mendapatkan 2 ganjaran, yaitu
kebagusan niat dan perintah agama. Sedngkan yang terakhir, jika di laksanakan
dengan niat yang ikhlas, hanya akan mendapatkan satu balasan pahala, yaitu dari
kebagusan niat saja.
Dari kalimat ini juga Imam Nawawi menyimpulkan, bahwa yang dinamakan dengan
ikhlas itu adalah mengkhususkan ‘amal (ibadah) hanya kepada Allah saja,
sedangkan bagi orang yang melakukan ibadah dikarenakan Allah dan makhluk, maka
amalannya itu tertolak.[13]
Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW.
“Allah berfirman : Aku adalah Dzat yang paling tidak
membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan dimana ia
mempersekutukan sesuatu (bersamaku), maka aku berlepas diri darinya.[14]
D.
Pendapat para ‘Ulama
tentang Pentingnya Ikhlas
Makhul berkata, “Tidak
seorang pun yang berbuat ikhlas selama 40 hari, melainkan akan terpancar
sumber-sumber hikmah dari hati dan lisannya.”[15]
Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata, “jika seseorang mengerjakan sesuatu dengan ikhlas, maka dia akan
terlepas dari aneka macam godaan dan riya’.”[16]
Ketika menerangkan ungkapan
Ibnu Athaillah, “Amal ibadah itu ibarat raga yang berdiri, dan rohnya adalah
adanya rahasia ikhlas didalamnya.” Ibnu Ujaibah berkata, “Semua amal itu ibarat
tubuh, dan rohnya adalah adanya ikhlas di dalamnya. Tubuh tidak mungkin dapat
berdiri tegak kecuali dengan adanya roh. Jika tidak ada roh, maka dia adalah
mayat. Begitu juga, amal jasmani dan amal hati tidak akan sempurna kecuali ada
keikhlasan didalamnya. Jika tidak, maka dia hanya formalitas belaka.”[17]
Suatu ketika ada orang yang
bertanya kepada Sahal ibn Abdullah At-Tustari, “Apakah yang paling keras
terhadap nafsu ?” Beliau menjawab, “Ikhlas. Sebab, didalam ikhlas nafsu tidak
memiliki bagian.[18]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
)رواه
إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة
البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما
اللذين هما أصح الكتب المصنفة(
Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab
radiyallahu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu’alaihi wassalam bersabda: Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung
kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena
itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk
mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu
kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam
Nawawi mengatakan bahwa niat itu sebagai barometer atau tolak ukur untuk
menilai sahnya amalan
Ibnu Ujaibah yang berpendapat bahwasanya terdapat 3
tingkatan didalam ikhlas. Yang pertama ialah ikhlas orang awam, yaitu
mengesampingkan makhluk dalam dalam hal beribadah kepada tuhan seraya memohon
ganjaran dunia dan akhirat. Yang kedua adalah ikhlas orang Khawwas, yaitu orang yang beribadah dengan harapan ganjaran
akhirat. Kemudian yang terakhir adalah ikhlasnya orang yang Khawwasul-Khawwas, yaitu orang yang
beribadah dengan tidak mengharapkan keduanya akan tetapi dengan sesuatu yang
lebih dari itu, yaitu semata-mata rindu dan cinta kepada Allah SWT.
B.
Saran
Demikianlah makalah Hadits yang membahas tentang “Hadits ikhlas dalam
beramal” ini, semoga dapat jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah
menyadari masih banyak kekurangan dalm makalah ini baik dari segi penulisan
maupun isinya, oleh karena itu kami harapkan saran dan kritikan dari teman-teman
maupun dosen pengampu yang bersifat membangun untuk lebik baik dimasa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Siradjuddin
Abbas, 40 Masalah Agama, Jakarta:Pustaka
Tarbiyah, 2000.
Muhammad
Abu Syuhbah, Kutubussittah, Surabaya;
Pustaka Progresif. 1999.
Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi, Syarah Arba’in Nawawiyah, Jakarta; Darul Haq. 2008.
Abdul
Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Jakarta;
Qithi Press. 2005.
Imam
As-Syuyuthi, Ashbahu wan Nazhair.
Haris
Riadi. Kitab Tauhid.
Al-qur’an, Al-Jamil. Bekasi; Cipta Bagus Segara.
Abu
Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah
Al-Qusyairiah.
[1] Muttafaq ‘alaih: Bukhari, no. 1;
dan Muslim no. 1907
[2] Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,
2000), hlm. 50
[3] Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag,
Amzah, Jakara 2012, hlm. 291
[4] Muhammad Abu Syuhbah, Kutubussittah, (Surabaya; Pustaka
Progresif. 1999) hlm. 45
[5] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi, Syarah Arba’in Nawawiyah, (Jakarta;
Darul Haq. 2008). Cet. 2 hlm. 5
[6] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi ,Op.cit. hlm 9.
[7] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta; Qithi Press.
2005). Cet. 13 hlm. 217
[8] Haris Riadi. Kitab Tauhid. Hlm. 3
[10] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi ,Op.cit. hlm 11-12.
[11] Imam As-Syuyuthi, Ashbahu wan Nazhair. Bab ikhlas. 1429 H.
hlm. 17
[12] Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi ,Op.cit. hlm 12-13.
[14] HR. Muslim, no. 2985
(diriwayatkan juga oleh ibnu Majah, lafazh milik ibnu Majah).
[15] Abu Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiah, hlm. 95-96
[16]
Abu Qasim Al-Qusyairi. Op.cit. hlm. 95-96
No comments:
Post a Comment