Saturday, March 26, 2016

MAKALAH NASAKH DAN MANSUKH



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ada tuduhan dalam teks hadits terdapat inkonsistensi status sebuah perkara, yang nantinya akan menimbulkan negative thinking bahwa Nabi umat Islam tidak konsisten, anggapan semacam itu adalah kesalahan orang yang memang tidak paham bahkan tidak mengetahui seluk beluk ilmu hukum.  Pakar hukum Islam (mujtahid) terdahulu mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah penyelesaian. Hasil dari pada kajian para pakar hukum di atas sekarang bisa kita peroleh dan kita pelajari dalam literatur hukum Islam yang termuat dalam bab khusus, yaitu sub kontradiksi hukum.
Apabila menurut analisis seorang mujtahid ada dua dalil yang saling bertentangan, maka dapat digunakan metode untuk menyelesaikannya, diantara metode yang telah disepakati ulama adalah: 1) Metode Al-jam’u wa At-Taufiq, 2) Metode Nasikh wa al-Mansukh, 3) Metode Tarjih.
Dalam makalah ini akan dibahas Metode mengetahui Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu metode yang diberdayakan para ulama hadits dalam menyelesaikan permasalahan seputar kontradiksi hadith.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa saja metode-metode untuk mengetahui Nasikh ?
2.      Bagaimana contoh dari metode-metode tersebut ?
3.      Bagaimana penyelesaian dari contoh metode-metode tersebut ?






BAB II
PEMBAHASAN


A.      Metode mengetahui Nasikh wa Al-Mansukh
Nasikh dan mansukh dalam kajian ilmu hadits dapat diketahui dengan hal-hal berikut ini :[1]
1.    Melalui pernyataan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam seperti sabda beliau :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, Ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari ‘Umar bin abi Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat untuk ziyarah kubur”.
Pada hadis selanjutnya Nabi SAW bersabda tentang kebolehan berziyarah kubur.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَرَوْنَ بِزِيَارَةِ الْقُبُورِ بَأْسًا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat." (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Sa'id, Ibnu Mas'ud, Anas, Abu Hurairah dan Umu Salamah." Abu Isa berkata; "Hadits Buraidah adalah hadits hasan sahih. Ulama mengamalkannya mereka berpendapat bahwa ziarah kubur tidak mengapa. Ini adalah pendapat Ibnu Mubârak, Syâfi'i, Ahmad dan Ishaq.[2]
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang, kemudian diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat yang kedua  Nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan tentang akhirat.
Dalam contoh yang lain, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الأَضَاحِيْ أَنْ لاَ تَأْكُلُوْهَا بَعْدَ ثَلاَثٍ فَكُلُوْا وَانْتَفِعُوا بِهَا فِيْ أَسْفَارِكُمْ.
Aku pernah melarang kamu tentang daging kurban, bahwa: “jangan kamu makan dagingnya sesudah tiga hari”, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dia dalam perjalan-perjalanan kamu.


2.    Melalui pernyataan dari sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam seperti sabda beliau :
أَخْبَرنَا إِسْحَاق إِبْرَاهِيْم قَالَ أَنبَأَنَا إِسمَاعِيْل وَعَبْدُ الرَّزَاق قَالَا حَدّثنَا مَعْمَر عَنْ الزُّهْرِي عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدُ الْعَزِيْز عَنْ إِبْرَاهِيْم بْنِ عَبْدِ الله بْنِ قَارِظ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قال سَمعْتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول تَوَضَّئُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّار
Dari Abu Hurairah R.A, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW Ia bersabda : “Berwudhu’lah ketika makan makanan yang disentuh api”.
Hadis diatas mansukh berdasarkan hadits dibawah ini :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Dari Muhammad bin Munkadir ia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata: “Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang disentuh api.”[3]
Kedua redaksi hadits  menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan shalat setelah memakan makanan yang disentuh  api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan diri sebagai Nasikh, sedang hadis pertama Mansukh.[4]
3.    Melalui Fakta Sejarah (diketahui waktu kedua hadits), seperti sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ وَدَاوُدُ بْنُ رَشِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بِشْرٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Muhamamd Ar Raqqi dan Dawud bin Rasyid keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Mu'ammar bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Bisyr dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang membekam dan yang dibekam semuanya batal".[5]
Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang diriwayatkan Imam Tirmidzi 
حَدَّثَنَا بَشَّر بْنِ هِلَال اْلبَصْرِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِث بْنِ سَعِيْد حَدَّثَنَا أَيُّوْب عَنْ عِكْرِمَة عَنِ بْنِ عَبَّاس قَالَ اِحْتَجِمْ رسول الله صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Dari Ibn ‘Abbas R.A, Ia berkata : “Telah berbekam Rasulullah SAW sedangkan beliau dalam keadaan ihram lagi berpuasa”.[6]
Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits  pertama berisi batalnya puasa orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam diriwayatkan oleh Imam Ibn Majjah dari jalur  Abu Hurairah. Imam Syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah)  pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah  fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyahmaka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.
4.      Ijma’ ‘Ulama, seperti hadits yang berbunyi :
حَدَّثَنَا ‏نَصْرُ بْن عَاصِم الأَنْطَاكِي حَدّثَنَا ‏ ‏يَزِيْد بْنِ هَارُوْن الوَاسِطِي ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏اِبْنِ أَبِي ذِئْبِ ‏ ‏عَنِ ‏ ‏الْحَارِث بْنِ عَبْدِ الرَّحْمن عَنْ ‏ ‏أَبِي سَلَمَةْ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَة ‏ ‏قَالَ ‏ قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إِذَا سَكَرَ فَاجْلِدُوْهُ ثُمَّ إِنْ سَكَرَ فَاجْلِدُوْهُ ثُمَّ إِنْ سَكَرَ فَاجْلِدُوْهُ فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَة فَاقْتُلُوْهُ.
Dari Abu Hurairah R.A, Ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda : “Apabila telah mabuk seseorang maka cambuklah dia, jika dia mengulanginya cambuklah dia, jika dia mengulanginya cambuklah lagi, maka jika dia mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.[7]
Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr, ini lahir dari musyawarah para sahabat, diantara sahabat yang berbicara pada waktu itu adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, yang kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
Imam Nawawi berkata: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini.[8]



























BAB III
PENUTUP



A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Metode mengetahui Nasakh Hadits itu terbagi menjadi empat, yaitu :
1.      Melalui pernyataan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
2.    Melalui pernyataan dari sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
3.    Melalui Fakta Sejarah (diketahui waktu kedua hadits).
4.    Ijma’ ‘Ulama.

B.       Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.



[1] Dr. Hakimah Hafizi, Mukhtalif Hadits, (Mesir:2013), hlm. 95-96.
[2] Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyadh:  Dar al Mughni, 1998), hlm. 486.
[3] Abu Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin Ali, Sunan Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif), hlm. 36.
[4] Ibnu Syahin, Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Hadits, (Beirut: Daar Al-Kutub ‘Alamiyah), hlm. 75.
[5] Hafidz bin Abdullah bin Yazid Al-Qorwini, Sunan Ibnu Majjah, Kitab: Puasa, Bab: Berbekam bagi orang yang berpuasa. No. Hadist: 1669.
[6] Muhammad bin Isa bin Saurah al Tirmidzi, Sunan al Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al Maarif), hlm. 190.
[7] Abu Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al-Maktabah al Ashriyah), Juz 4, hlm. 165.
[8] Abdul Nashir Taufiq al Atthar, Dustur lil ummah wa ulum al sunnah, (Kairo: Maktabah al Wahbah, 1987).

No comments:

Post a Comment