BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada
tuduhan dalam teks hadits terdapat inkonsistensi status sebuah perkara, yang
nantinya akan menimbulkan negative thinking bahwa Nabi umat Islam tidak
konsisten, anggapan semacam itu adalah kesalahan orang yang memang tidak paham
bahkan tidak mengetahui seluk beluk ilmu hukum. Pakar hukum Islam
(mujtahid) terdahulu mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang secara tekstual
saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah penyelesaian. Hasil dari
pada kajian para pakar hukum di atas sekarang bisa kita peroleh dan kita
pelajari dalam literatur hukum Islam yang termuat dalam bab khusus, yaitu sub
kontradiksi hukum.
Apabila
menurut analisis seorang mujtahid ada dua dalil yang saling bertentangan, maka
dapat digunakan metode untuk menyelesaikannya, diantara metode yang telah
disepakati ulama adalah: 1) Metode Al-jam’u wa At-Taufiq, 2) Metode Nasikh wa
al-Mansukh, 3) Metode Tarjih.
Dalam
makalah ini akan dibahas Metode mengetahui Nasikh dan Mansukh sebagai salah
satu metode yang diberdayakan para ulama hadits dalam menyelesaikan
permasalahan seputar kontradiksi hadith.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa saja metode-metode untuk
mengetahui Nasikh ?
2. Bagaimana contoh dari metode-metode
tersebut ?
3. Bagaimana penyelesaian dari contoh
metode-metode tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode
mengetahui Nasikh wa Al-Mansukh
Nasikh dan
mansukh dalam kajian ilmu hadits dapat diketahui dengan hal-hal berikut ini :[1]
1. Melalui pernyataan
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam seperti sabda beliau :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ.
Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah, Ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari ‘Umar bin
abi Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah
SAW melaknat untuk ziyarah kubur”.
Pada hadis
selanjutnya Nabi SAW bersabda tentang kebolehan berziyarah kubur.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ قَالُوا
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ
مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ
فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ قَالَ
أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا
عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَرَوْنَ بِزِيَارَةِ الْقُبُورِ بَأْسًا وَهُوَ
قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ.
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal
mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin
Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah
diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena
(berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat." (Abu Isa At
Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Sa'id, Ibnu
Mas'ud, Anas, Abu Hurairah dan Umu Salamah." Abu Isa berkata; "Hadits
Buraidah adalah hadits hasan sahih. Ulama mengamalkannya mereka berpendapat
bahwa ziarah kubur tidak mengapa. Ini adalah pendapat Ibnu Mubârak, Syâfi'i,
Ahmad dan Ishaq.[2]
Dari hadis
diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang, kemudian
diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat
yang kedua Nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di
dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena
mengingatkan tentang akhirat.
Dalam
contoh yang lain, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
نَهَيْتُكُمْ
عَنْ لُحُوْمِ الأَضَاحِيْ أَنْ لاَ تَأْكُلُوْهَا بَعْدَ ثَلاَثٍ فَكُلُوْا
وَانْتَفِعُوا بِهَا فِيْ أَسْفَارِكُمْ.
Aku pernah
melarang kamu tentang daging kurban, bahwa: “jangan kamu makan dagingnya
sesudah tiga hari”, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dia dalam perjalan-perjalanan
kamu.
2. Melalui
pernyataan dari sahabat
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam seperti sabda beliau :
أَخْبَرنَا إِسْحَاق إِبْرَاهِيْم قَالَ
أَنبَأَنَا إِسمَاعِيْل وَعَبْدُ الرَّزَاق قَالَا حَدّثنَا مَعْمَر عَنْ الزُّهْرِي
عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدُ الْعَزِيْز عَنْ إِبْرَاهِيْم بْنِ عَبْدِ الله بْنِ قَارِظ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قال سَمعْتُ رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول تَوَضَّئُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّار
Dari Abu Hurairah R.A, ia
berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW Ia bersabda : “Berwudhu’lah ketika
makan makanan yang disentuh api”.
Hadis diatas
mansukh berdasarkan hadits dibawah ini :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ
قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ
الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Dari Muhammad bin Munkadir ia
berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata: “Perkara yang terakhir dari
(ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah meninggalkan wudhu
dari makanan yang disentuh api.”[3]
Kedua redaksi hadits menjelaskan tentang makanan
yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut
bertentangan, yang pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang
yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih
dahulu sebelum melaksanakan shalat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan shalat
setelah memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis
yang kedua memposisikan diri sebagai Nasikh, sedang hadis pertama Mansukh.[4]
3. Melalui
Fakta Sejarah
(diketahui waktu kedua hadits), seperti sabda Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ وَدَاوُدُ
بْنُ رَشِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ بِشْرٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُومُ
Telah menceritakan kepada kami Ayyub
bin Muhamamd Ar Raqqi dan Dawud bin Rasyid keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami Mu'ammar bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Bisyr dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang
membekam dan yang dibekam semuanya batal".[5]
Hadits diatas dimansukh oleh hadits
berikut yang diriwayatkan Imam Tirmidzi
حَدَّثَنَا بَشَّر بْنِ هِلَال اْلبَصْرِي حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَارِث بْنِ سَعِيْد حَدَّثَنَا أَيُّوْب عَنْ عِكْرِمَة عَنِ بْنِ عَبَّاس قَالَ
اِحْتَجِمْ رسول الله صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Dari Ibn ‘Abbas R.A, Ia berkata : “Telah
berbekam Rasulullah SAW sedangkan beliau dalam keadaan ihram lagi berpuasa”.[6]
Dua
hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa
orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan
bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik
subyek maupun obyek bekam diriwayatkan oleh Imam Ibn Majjah dari jalur Abu
Hurairah. Imam Syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah
peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8
hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang
terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun
10 hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.
4. Ijma’
‘Ulama, seperti hadits yang berbunyi :
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْن عَاصِم الأَنْطَاكِي
حَدّثَنَا
يَزِيْد بْنِ هَارُوْن الوَاسِطِي حَدَّثَنَا اِبْنِ أَبِي ذِئْبِ عَنِ
الْحَارِث بْنِ عَبْدِ الرَّحْمن عَنْ أَبِي سَلَمَةْ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَة قَالَ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا سَكَرَ فَاجْلِدُوْهُ
ثُمَّ إِنْ سَكَرَ فَاجْلِدُوْهُ ثُمَّ إِنْ سَكَرَ فَاجْلِدُوْهُ فَإِنْ عَادَ
الرَّابِعَة فَاقْتُلُوْهُ.
Dari Abu Hurairah R.A, Ia berkata :
Rasulullah SAW telah bersabda : “Apabila telah mabuk seseorang maka
cambuklah dia, jika dia mengulanginya cambuklah dia, jika dia mengulanginya
cambuklah lagi, maka jika dia mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah
dia”.[7]
Umar ibnul
Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr,
ini lahir dari musyawarah para sahabat, diantara sahabat yang berbicara pada
waktu itu adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang
paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar
akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama,
yang kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu
penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
Imam
Nawawi berkata: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Metode mengetahui Nasakh
Hadits itu terbagi menjadi empat, yaitu :
1. Melalui pernyataan
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
2. Melalui pernyataan dari sahabat
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
3. Melalui Fakta Sejarah (diketahui
waktu kedua hadits).
4. Ijma’ ‘Ulama.
B. Saran
Meskipun kami sudah
berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak
kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan
untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
[1] Dr. Hakimah Hafizi, Mukhtalif
Hadits, (Mesir:2013), hlm. 95-96.
[4] Ibnu Syahin, Nasikh wa
Al-Mansukh min Al-Hadits, (Beirut: Daar Al-Kutub ‘Alamiyah), hlm. 75.
[5] Hafidz bin Abdullah bin Yazid
Al-Qorwini, Sunan Ibnu Majjah, Kitab: Puasa, Bab: Berbekam bagi
orang yang berpuasa. No. Hadist: 1669.
[6] Muhammad
bin Isa bin Saurah al Tirmidzi, Sunan al Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al
Maarif), hlm. 190.
[7] Abu
Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut:
al-Maktabah al Ashriyah), Juz 4, hlm. 165.
[8] Abdul Nashir Taufiq al Atthar, Dustur lil ummah wa
ulum al sunnah, (Kairo: Maktabah al Wahbah, 1987).
No comments:
Post a Comment