Saturday, March 26, 2016

MAKALAH SHAHIH IBNU HIBBAN



BAB  I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Kedudukan As-Sunnah sangat tinggi dan agung dalam islam di mana ia merupakan sumber hukum dan syariat islam tertinggi setelah Al Qur’an Al-Karim. yang dengannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ummatnya untuk menghafal dan meriwayatkannya sebagaimana yang datang dari beliau, sebagaimana beliau menegaskan agar pengambilan hadits dari beliau shahih (tepat) dan akurat, tanpa tambahan ataupun pengurangan yang pada hakikatnya adalah kedustaan atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pelakunya terancam neraka.
Maka bertitik tolak dari hal tersebut, kita dapat melihat secara gamblang dalam sejarah islam betapa besar dan maksimalnya perhatian (‘inayah) ulama ummat ini terhadap As-Sunnah, menghafalnya, memeliharanya (dengan pengamalan yang prima), mencatat dan membukukannya, melakukan perjalanan (rihlah) yang panjang dan berat di jalan As-sunnah, melakukan pemisahan antara riwayat yang shahih dengan yang lemah atau palsu, melakukan pencatatan nama-nama periwayat hadits dan menjelaskan derajat kapabilitas ‘adalah serta kekuatan hafalan dan pemahaman mereka, dan berbagai macam penilaian positif (ta’dil) maupun negative (jarh) yang berkaitan dengan sanad hadits maupun matannya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Imam Ibn Hibban ?
2.      Apa-apa saja karya beliau ?
3.      Bagaimana deskripsi dari Shahīh Ibn Hibbān, ?
4.      Bagaiman syarat-syarat perawi versi Ibn Hibban ?



BAB II
PEMBAHASAN


A.      Biografi Ibn Hibban
Nama beliau adalah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Muaz bin Ma’bad Abu hatim at-Tamimy al-Busty as-Sijistany. Beliau dilahirkan pada tahun 270 H/884 M di daereh Sijistan, Afganistan (sekarang). Dan beliau wafat pada tahun 354 Hijriah.[1]
Menurut Az-Zahabi, pada awal tahun 300 Hijriah, Ibn Hibban melakukan pengayaan intlektual dengan menimba ilmu di beberapa Negara, selain di daerah di mana ia dilahirkan, ia juga pergi menuntut ilmu ke-Naisabur, Irak, Syam, Mesir, dan Hijaz. lewat pengembaraannya ini -seperti yang ia sebutkan dalam muqaddimah kitabnya, gurunya mencapai ribuan. Akan tetapi dari sekian banyak guru, ia hanya meriwayatkan hadis lewat jalur kurang lebih 150 guru saja, dan menurut Ibn Hibban hanya 20 orang guru saja yang paling dhabit dan mu’tamad. Di antaranya: Abu Ya’la al-Mausuly, Ibn Khuzaymah, Hasan bin Sufyan, dan Abu ‘Arubah al-Harany.
Ibn Hibban adalah seorang ulama yang tidak hanya pandai dibidang hadits, akan tetapi banyak displin ilmu lain yang ia kuasai, seperti fikih, kalam, kedokteran, dan ilmu falak.
Keahliaanya dibidang fikih bisa kita lihat dalam pertentangannya dengan pendapat Abu Hanifah pada waktu itu, ketidak setujuaanya ini ia tuangkan dalam sebuah karya yang setebal 10 jilid.[2]
Keahlianya dibidang kalam bisa kita lihat beberapa pemahaman Ibn Hibban terhadap hadis Rasul SAW, di antaranya adalah hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
 ((يتقارب الزمان و ينقص العلم))
Menurut Ibn Hibban, “lewat hadis ini Rasul SAW memberi kabar bahwa pada akhir zaman nanti ilmu akan berkurang, saya melihat pada dasarnya semua ilmu akan berkembang kecuali pada displin ilmu satu ini yang beliau maksud adalah ilmu hadis dan sunan, setiap harinya ia berkurang. Ilmu yang Nabi jadikan khitab kepada umatnya setiap harinya berkurang dengan berkurangnya orang yang mengetahu sunan, jalan satu-satunya untuk mengetahui sunan adalah mengetahui para perawi dhaif dan yang ditinggalkan”.[3]
Keahliannya dibidang ilmu kalam tidak selalu berhujung manis, bahkan atas pengaruh ilmu kalamnya ia hampir saja terbunuh, karena gagasannya membuat bingung umat. Cobaaan ini adalah imbas dari pernyataan Ibn Hibban “Kenabian  dengan ilmu dan Amal”. Gagasan ini lah yang membuat banyak orang yang memberi cap zindiq kepada Ibn Hibban. Tidak cukup itu saja, ia juga diusir dari Sijistan dan dilaporkan kepada Khalifah. Akhirnya Khalifah memutuskan untuk membunuhnya, akan tetapi Ibn Hibban lari dan bersembunyi.[4]
B.       Pujian Ulama Kepada Ibn Hibban
Menurut al-Hakim, Ibn Hibban adalah orang yang peduli terhadap ilmu, fikih, hadis, bahasa, dan nasehat, ia juga termasuk orang-orang yang cerdas.
Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibn Hibban adalah orang baik dan terpercaya, karyanya juga banyak.[5]
Ibn ‘Asir berkomentar, Ibn Hibban adalah imam pada masanya, jumlah karyanya tidak tertandingi.[6]
C.      Karya-Karya Ibn Hibban
Ibn Hibban adalah salah satu ulama yang sangat produktif, sehingga banyak sekali peninggalan-peninggalan karyanya yang bisa dimanfatkan oleh generasi-genarasi berikutnya.
Meskipun demikian, tidak semua karyanya bisa kita temukan. Karya Ibn Hibban yang tidak bisa kita jumpai saat ini adalah: ‘Ilal Auhām al-Muarrikhīn (kitab ini terdiri atas 10 juz), ‘Ilal hadīst az-Zuhrī (20 jilid), ‘Ilal Hadīst Mālik (10 Juz), Wasf al-Ulum wa ‘Anwā’uhā (30 juz).
Peninggaln Ibn Hibban yang masih dapat kita jumpai adalah: Kitāb as-Tsiqāt, Kitāb al-Majruhīn min ad-Dhuafā’ wa al-Matrukīn min ar-Ruwwāt. Kedua kitab ini adalah ringkasan dari Kitāb at-Tārikh karya Ibn Hibban juga, Kitāb Masyāhīr al-Ulamā’ al-Amshār, Raudhah al-Uqalā’ wa Nuzhah al-Fudhalā’, dan Sahīh Ibn Hibbān.[7]
D.      Mengenal Kitab Shahīh Ibn Hibbān
Kitab ini populer dengan sebutan Sahīh Ibn Hibbān, padahal jika kita observasi lebih jauh, nama asli kitab ini adalah Al-Musnad as-Sahīh ‘ala at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī Nāqilihā.
Kata Taqāsim dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau sistematika penulisan-,  yang di maksud Taqāsim adalah bagian lima:
Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya;
Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi hamba-Nya;
Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui;
Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan untuk hamba-Nya;
Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu juga pada bagian kedua.
Bagian ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah seluruhnya 400 bab.[8]
Dalam hal dua riwayat tsiqah yang bertentangan, satunya marfu’ dan satunyalgi mauquf, atau satunya mausul dan satunya mursal, Ibn Hibban menggunakan metode untuk menerima yang marfu’ dan mausul dengan tidak menjelaskan ‘ilat yang lainya, karena kedua-duanya tsiqah.[9]
Latar belakang penulisan buku ini tertera dalam muqaddimah Sahīh Ibn Hibbān, yaitu, Ibn Hibban melihat banyak manusia yang berpaling dari Sihah as-Sunnah, banyak sekali hal-hal aneh dan lemah masuk di dalam hadis. Atas dasar cinta Ibn Hibban terhadap sunah Rasul SAW kemudian ia mengarang kitab Sahīh Ibn Hibbān ini. Kecintaanya tidak hanya terwujud dalam bentuk karnya saja, akan tetapi ia memberikan pernyataan; “Hendaklah manusia menghafal Sunan dan berpegang teguh dengan metode yang benar seperti yang telah dilakukan oleh ulama klasik.[10]
 Ibn Hibban memberikan wejangan atas sulitnya bahasa yang ia gunakan, untuk dapat memahami Sahīh Ibn Hibbān hendaklah didekati dengan dua hal ini:[11]
Pertama, membaca kitab ini darai awal sampai akhir, hal demikian ini akan memudahkan pembaca menemukan ha-hal yang sulit…
Kedua, menghafal kitab ini, jika hafal, maka akan mudah baginya untuk mendatangkan hadis yang ia inginkan.


E.       Peran Al-Amir Alauddin Ali Al-Farisy dalam Penyusunan Sahīh Ibn Hibbān
Al-Farisy adalah orang yang menyusun Sahīh Ibn Hibbān sehingga menjadi kitab yang sistematis, diberi nomer, bab fikihnya berurutan. Usaha Al-Farisy ini menjadikan kitab yang popeler dihadapan kita dengan sebutan Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun demikian, Al-Farisi tidak melupakan hal-hal penting yang sudah ditetapkan oleh Ibn Hibban, seperti istinbath fikih-nya dan komentar-nya terhadap beberapa hadis.[12]
F.       Syarat-Syarat Perawi Versi Ibn Hibban
Ada lima syarat perawi yang ditetapkan Ibn Hibban dalam kitab sahihnya:
Pertama, adil dalam agama dengan satr al-Jamīl.[13]
Kedua, Jujur di dalam hadis dengan kemasyhurannya;
Ketiga, Hadis yang diceritakan bisa dimengerti oleh perawi;
Keempat, Mengrtahui kesulitan makna hadis yang diriwayatkan;
Kelima, Hadisnya bebas dari tadlīs.
Jika ke-lima hal ini ada pada perawi, maka hadisnya bisa dijadikan hujjah, tapi jika tidak, maka hadisnya ditolak.[14]
Meskipun syarat-syarat yang ditetapkan Ibn Hibban sangatlah ketat, pada beberapa hal justru Ibn Hibban melanggar syarat-syarat yang beliau tetapkan. Dalam ke-tsiqahan ia lebih cendrung member dispensasi, dalam jarh ia sangat ketat, sehingga Muhammad bin Fadl as-Sudusi yang dijuluki ‘Ārim dan terkenal ke-tsiqahannya malah ia jarh dengan sesuatu yang tidak pantas.[15]



G.      Contoh Hadis dalam Shahīh Ibn Hibbān
Larangan kepada seseorang untuk beranggapan bahwa dia tidak butuh dengan apa yang ada dalam Quran.
(120) أخبرنا محمد بن الحسن بن قتيبة, قال: حدثنا يزيد بن موهب, قال: حدثنا الليث, عن أبي ملكية, عن عبيد الله بن أبي نهيك.
عن سعد بن أبي وقاص, عن رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال: ((ليس منا من لم يتغنّ بالقرأن)).
قال أبو حاتم: معنى قوله صلى الله عليه وسلم: ((ليس منا)) فى هذه الأخبار يريد به: ليس مثلنا فى استعمال هذا الفعل, لأنا لانفعله, فمن فعل ذلك ليس مثلنا.[16]

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Khazanah ke-Islaman sekaligus penjaggan terhadap peninggalan Nabi Muhammad SAW, ternyata tidak ada hentinya.
Ibn Hibban adalah bagian dari deretan ulama yang sangat peduli dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW, hal ini terbukti dengan peningalan karya-karya beliau yang sampai saat ini masih bisa dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.
Meskipun demikian, sistematika karya beliau yang kita temukan dan mudah untuk kita dekati, tentu setelah melalu proses penyempuranan dengan beberapa ta’līq, tahqīq, penomeran hadis, dan penyusunan bab dari mereka yang sangat perhatian terhadap peninggalan karya-karya ulama besar.
Tanpa perhatian mereka, tentu sukar bagi kita untuk menemukan manuskrip-manuskrip kuno peninggalan Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban.
Oleh karena itu, bagaimana kita berusaha untuk mengenal lebih jauh tentang Sahīh Ibn Hibbān serta apa yang termaktub di dalamnya, agar karya besar seperti ini bisa lebih bermanfaat bagi kita khususnya dan umumnya bagi masyarakat.
B.       Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang memebangun sanagat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.


[1] Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, (Bairut- Libanon, 1996 M), Cet II, hlm 5 & 18.
[2] Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Manāhij al-Muhadditsīn, Dar Ulum al-Sunnah,  (Riyad, 1999), Cet I , hlm 145-148.

[3] Ibid, hlm 148-149.
[4] Ibid, hlm 151-152.
[5] Abu Zahwu Muhammad, al-Hadīst wa  al-Muhadditsūn, Dar al-Fikr al-‘Araby, tth, hlm 425.
[6] Al-Farisi, Al-Amir Alauddin Ali bin Balban, Op-cit, hlm 10.
[7] Ali Hamid, Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 159.
[8] Ibid, hlm 162-163.
[9] Ibid, hlm 173-174.
[10] Ibid, hlm 160.
[11] Ibid, hlm161.
[12] Ibid, hlm 170.
[13] Yang dimaksud dengan satr al-Jamīl dalam syarat pertama yang ditetapkan Ibn Hibban adalah perawi yang tidak diketahui keadilannya dan jarhnya maka ia tergolong adil. Syarat inilah yang bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama.
[14] Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 163-164.
[15] Ibid, hlm 167.
[16] Al-Farisy, Aal-Amir Alauddin Ali bin Balban, Jilid I, Op-cit, hlm 165-166.

1 comment: