BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan As-Sunnah sangat tinggi dan agung dalam
islam di mana ia merupakan sumber hukum dan syariat islam tertinggi setelah Al
Qur’an Al-Karim. yang dengannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan ummatnya untuk menghafal dan meriwayatkannya sebagaimana yang
datang dari beliau, sebagaimana beliau menegaskan agar pengambilan hadits dari
beliau shahih (tepat) dan akurat, tanpa tambahan ataupun pengurangan yang pada
hakikatnya adalah kedustaan atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
pelakunya terancam neraka.
Maka bertitik tolak dari hal tersebut, kita dapat
melihat secara gamblang dalam sejarah islam betapa besar dan maksimalnya
perhatian (‘inayah) ulama ummat ini terhadap As-Sunnah, menghafalnya,
memeliharanya (dengan pengamalan yang prima), mencatat dan membukukannya,
melakukan perjalanan (rihlah) yang panjang dan berat di jalan As-sunnah,
melakukan pemisahan antara riwayat yang shahih dengan yang lemah atau palsu,
melakukan pencatatan nama-nama periwayat hadits dan menjelaskan derajat
kapabilitas ‘adalah serta kekuatan hafalan dan pemahaman mereka, dan berbagai
macam penilaian positif (ta’dil) maupun negative (jarh) yang berkaitan dengan
sanad hadits maupun matannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
biografi Imam Ibn Hibban ?
2. Apa-apa
saja karya beliau ?
3. Bagaimana
deskripsi dari Shahīh Ibn Hibbān, ?
4. Bagaiman syarat-syarat perawi versi Ibn Hibban ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibn Hibban
Nama beliau adalah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin
Hibban bin Muaz bin Ma’bad Abu hatim at-Tamimy al-Busty as-Sijistany. Beliau
dilahirkan pada tahun 270 H/884 M di daereh Sijistan, Afganistan (sekarang).
Dan beliau wafat pada tahun 354 Hijriah.[1]
Menurut Az-Zahabi, pada awal tahun 300 Hijriah, Ibn
Hibban melakukan pengayaan intlektual dengan menimba ilmu di beberapa Negara,
selain di daerah di mana ia dilahirkan, ia juga pergi menuntut ilmu
ke-Naisabur, Irak, Syam, Mesir, dan Hijaz. lewat pengembaraannya ini -seperti
yang ia sebutkan dalam muqaddimah kitabnya, gurunya mencapai ribuan. Akan
tetapi dari sekian banyak guru, ia hanya meriwayatkan hadis lewat jalur kurang
lebih 150 guru saja, dan menurut Ibn Hibban hanya 20 orang guru saja yang
paling dhabit dan mu’tamad. Di antaranya: Abu Ya’la al-Mausuly, Ibn Khuzaymah,
Hasan bin Sufyan, dan Abu ‘Arubah al-Harany.
Ibn Hibban adalah seorang ulama yang tidak hanya
pandai dibidang hadits, akan tetapi banyak displin ilmu lain yang ia kuasai,
seperti fikih, kalam, kedokteran, dan ilmu falak.
Keahliaanya dibidang fikih bisa kita lihat dalam
pertentangannya dengan pendapat Abu Hanifah pada waktu itu, ketidak setujuaanya
ini ia tuangkan dalam sebuah karya yang setebal 10 jilid.[2]
Keahlianya dibidang kalam bisa kita lihat beberapa
pemahaman Ibn Hibban terhadap hadis Rasul SAW, di antaranya adalah hadis nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
((يتقارب الزمان و ينقص العلم))
Menurut Ibn Hibban, “lewat hadis ini Rasul SAW
memberi kabar bahwa pada akhir zaman nanti ilmu akan berkurang, saya melihat
pada dasarnya semua ilmu akan berkembang kecuali pada displin ilmu satu ini yang
beliau maksud adalah ilmu hadis dan sunan, setiap harinya ia berkurang. Ilmu
yang Nabi jadikan khitab kepada umatnya setiap harinya berkurang dengan
berkurangnya orang yang mengetahu sunan, jalan satu-satunya untuk mengetahui
sunan adalah mengetahui para perawi dhaif dan yang ditinggalkan”.[3]
Keahliannya dibidang ilmu kalam tidak
selalu berhujung manis, bahkan atas pengaruh ilmu kalamnya ia hampir saja
terbunuh, karena gagasannya membuat bingung umat. Cobaaan ini adalah imbas dari
pernyataan Ibn Hibban “Kenabian
dengan ilmu dan Amal”. Gagasan ini lah yang membuat banyak orang
yang memberi cap zindiq kepada Ibn Hibban. Tidak cukup itu saja, ia juga diusir
dari Sijistan dan dilaporkan kepada Khalifah. Akhirnya Khalifah memutuskan
untuk membunuhnya, akan tetapi Ibn Hibban lari dan bersembunyi.[4]
B. Pujian Ulama Kepada Ibn Hibban
Menurut al-Hakim, Ibn Hibban adalah orang yang
peduli terhadap ilmu, fikih, hadis, bahasa, dan nasehat, ia juga termasuk
orang-orang yang cerdas.
Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibn Hibban adalah orang
baik dan terpercaya, karyanya juga banyak.[5]
Ibn ‘Asir berkomentar, Ibn Hibban adalah imam pada
masanya, jumlah karyanya tidak tertandingi.[6]
C. Karya-Karya Ibn Hibban
Ibn Hibban adalah salah satu ulama yang sangat
produktif, sehingga banyak sekali peninggalan-peninggalan karyanya yang bisa
dimanfatkan oleh generasi-genarasi berikutnya.
Meskipun demikian, tidak semua karyanya bisa kita
temukan. Karya Ibn Hibban yang tidak bisa kita jumpai saat ini adalah: ‘Ilal
Auhām al-Muarrikhīn (kitab ini terdiri atas 10 juz), ‘Ilal hadīst
az-Zuhrī (20 jilid), ‘Ilal Hadīst Mālik (10 Juz), Wasf al-Ulum wa
‘Anwā’uhā (30 juz).
Peninggaln Ibn Hibban yang masih dapat kita jumpai
adalah: Kitāb as-Tsiqāt, Kitāb al-Majruhīn min ad-Dhuafā’ wa al-Matrukīn min
ar-Ruwwāt. Kedua kitab ini adalah ringkasan dari Kitāb at-Tārikh karya
Ibn Hibban juga, Kitāb Masyāhīr al-Ulamā’ al-Amshār, Raudhah al-Uqalā’
wa Nuzhah al-Fudhalā’, dan Sahīh Ibn Hibbān.[7]
D. Mengenal Kitab Shahīh Ibn Hibbān
Kitab ini
populer dengan sebutan Sahīh Ibn Hibbān, padahal jika kita
observasi lebih jauh, nama asli kitab ini adalah Al-Musnad as-Sahīh ‘ala
at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī
Nāqilihā.
Kata Taqāsim
dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau
sistematika penulisan-, yang di maksud Taqāsim
adalah bagian lima:
Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap
hamba-Nya;
Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi
hamba-Nya;
Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui;
Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan untuk
hamba-Nya;
Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam
bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan
terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu
juga pada bagian kedua.
Bagian
ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah
seluruhnya 400 bab.[8]
Dalam hal dua riwayat tsiqah yang
bertentangan, satunya marfu’ dan satunyalgi mauquf, atau satunya
mausul dan satunya mursal, Ibn Hibban menggunakan metode untuk menerima
yang marfu’ dan mausul dengan tidak menjelaskan ‘ilat yang
lainya, karena kedua-duanya tsiqah.[9]
Latar
belakang penulisan buku ini tertera dalam muqaddimah Sahīh
Ibn Hibbān, yaitu, Ibn Hibban melihat banyak manusia yang berpaling dari Sihah
as-Sunnah, banyak sekali hal-hal aneh dan lemah masuk di dalam hadis. Atas dasar cinta Ibn Hibban terhadap sunah Rasul
SAW kemudian ia mengarang kitab Sahīh Ibn Hibbān ini.
Kecintaanya tidak hanya terwujud dalam bentuk karnya saja, akan tetapi ia
memberikan pernyataan; “Hendaklah manusia menghafal Sunan dan berpegang
teguh dengan metode yang benar seperti yang telah dilakukan oleh ulama klasik.[10]
Ibn Hibban memberikan wejangan atas sulitnya
bahasa yang ia gunakan, untuk dapat memahami Sahīh Ibn Hibbān
hendaklah didekati dengan dua hal ini:[11]
Pertama, membaca kitab ini darai awal sampai akhir, hal
demikian ini akan memudahkan pembaca menemukan ha-hal yang sulit…
Kedua, menghafal kitab ini, jika hafal, maka akan mudah baginya untuk
mendatangkan hadis yang ia inginkan.
E.
Peran Al-Amir Alauddin Ali Al-Farisy dalam Penyusunan Sahīh
Ibn Hibbān
Al-Farisy adalah orang yang
menyusun Sahīh Ibn Hibbān sehingga menjadi kitab yang
sistematis, diberi nomer, bab fikihnya berurutan. Usaha Al-Farisy ini
menjadikan kitab yang popeler dihadapan kita dengan sebutan Al-Ihsān
bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun
demikian, Al-Farisi tidak melupakan hal-hal penting yang sudah ditetapkan oleh
Ibn Hibban, seperti istinbath fikih-nya dan komentar-nya terhadap
beberapa hadis.[12]
F.
Syarat-Syarat Perawi Versi Ibn
Hibban
Ada lima syarat perawi yang ditetapkan Ibn Hibban dalam kitab sahihnya:
Kedua, Jujur di dalam hadis dengan kemasyhurannya;
Ketiga, Hadis yang diceritakan bisa dimengerti oleh perawi;
Keempat, Mengrtahui kesulitan makna hadis yang
diriwayatkan;
Kelima, Hadisnya bebas dari tadlīs.
Jika ke-lima hal ini ada pada perawi, maka hadisnya bisa dijadikan hujjah,
tapi jika tidak, maka hadisnya ditolak.[14]
Meskipun
syarat-syarat yang ditetapkan Ibn Hibban sangatlah ketat, pada beberapa hal
justru Ibn Hibban melanggar syarat-syarat yang beliau tetapkan. Dalam ke-tsiqahan
ia lebih cendrung member dispensasi, dalam jarh ia sangat ketat,
sehingga Muhammad bin Fadl as-Sudusi yang dijuluki ‘Ārim dan terkenal ke-tsiqahannya
malah ia jarh dengan sesuatu yang tidak pantas.[15]
G.
Contoh Hadis
dalam Shahīh Ibn Hibbān
Larangan kepada
seseorang untuk beranggapan bahwa dia tidak butuh dengan apa yang ada dalam
Quran.
(120) أخبرنا محمد بن الحسن بن
قتيبة, قال: حدثنا يزيد بن موهب, قال: حدثنا الليث, عن أبي ملكية, عن عبيد الله بن
أبي نهيك.
عن سعد بن أبي وقاص, عن رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال: ((ليس منا من
لم يتغنّ بالقرأن)).
قال أبو حاتم: معنى قوله صلى الله عليه وسلم: ((ليس منا)) فى هذه الأخبار
يريد به: ليس مثلنا فى استعمال هذا الفعل, لأنا لانفعله, فمن فعل ذلك ليس مثلنا.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khazanah
ke-Islaman sekaligus penjaggan terhadap peninggalan Nabi Muhammad SAW, ternyata
tidak ada hentinya.
Ibn Hibban
adalah bagian dari deretan ulama yang sangat peduli dengan hadis-hadis nabi
Muhammad SAW, hal ini terbukti dengan peningalan karya-karya beliau yang sampai
saat ini masih bisa dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.
Meskipun demikian, sistematika
karya beliau yang kita temukan dan mudah untuk kita dekati, tentu setelah
melalu proses penyempuranan dengan beberapa ta’līq, tahqīq,
penomeran hadis, dan penyusunan bab dari mereka yang sangat perhatian terhadap
peninggalan karya-karya ulama besar.
Tanpa perhatian mereka, tentu
sukar bagi kita untuk menemukan manuskrip-manuskrip kuno peninggalan Ibn
Khuzaymah dan Ibn Hibban.
Oleh karena itu, bagaimana
kita berusaha untuk mengenal lebih jauh tentang Sahīh Ibn
Hibbān serta apa yang termaktub di dalamnya, agar karya besar seperti ini
bisa lebih bermanfaat bagi kita khususnya dan umumnya bagi masyarakat.
B. Saran
Makalah ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang memebangun sanagat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
[1] Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin
Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, (Bairut-
Libanon, 1996 M), Cet II, hlm 5 & 18.
[2] Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah,
Manāhij al-Muhadditsīn, Dar Ulum al-Sunnah,
(Riyad, 1999), Cet I ,
hlm 145-148.
[13] Yang dimaksud dengan satr al-Jamīl dalam syarat
pertama yang ditetapkan Ibn Hibban adalah perawi yang tidak diketahui
keadilannya dan jarhnya maka ia tergolong adil. Syarat inilah yang
bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama.
Afwan minta copyna ke alm gmsil ya...tksh
ReplyDelete