PEMBAHASAN
1.
Teks Hadits, Terjemahan dan Takhrij Hadits
a.
Teks Hadits, Terjemahan dan Takhrij Hadits Pertama
حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
شُعَيْبٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ.
Terjemahan : Menceritakan kepada kami Abu Al-Yaman, Ia
berkata : mengabarkan kepada kami Syu’aib, Ia berkata : menceritakan kepada
kami Abu Al-Zinad, dari A’raj, dari Abi Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda : “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, Tidak
sempurna iman salah seorang dari kalian sebelum diriku lebih dia cintai
daripada anak dan orang tuanya serta sekalian manusia.[1]
Takhrij Hadits :
Bila dilihat dari kata أَحَبَّ yang berasal dari kata حَبَّ maka terdapat di :
·
Bukhari :
Kitab Iman bab 8
·
Muslim :
Kitab Iman bab 70
·
Sunan Ibn Majjah : Kitab
Muqaddimah bab 9
·
Sunan Ad-Darimi : Kitab Riqaq
bab 29.[2]
b. Teks Hadits, Terjemahan dan
Takhrij Hadits Kedua
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا ثَوْرُ
بْنُ يَزِيدَ، قَالَ: حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ، وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ، قَالَا:
أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ، وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ {وَلَا عَلَى
الَّذِينَ [ص:201] إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ} [التوبة: 92] فَسَلَّمْنَا، وَقُلْنَا: أَتَيْنَاكَ
زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ، فَقَالَ الْعِرْبَاضُ: صَلَّى بِنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، ثُمَّ أَقْبَلَ
عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ
هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا،
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا،
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Terjemahan
: Menceritakan kepada kami Walid bin Muslim, Menceritakan kepada kami Tsaur bin
Yazid, Dia berkata : Menceritakan kepadaku Khalid bin Ma’dan, Dia berkata :
Menceritakan kepadaku Abdurrahma bin ‘Amr Al-Sulami dan Hujr bin Hujr, keduanya
berkata : kami berkunjung kerumah Al-Irbadh bin Sariah dan dia termasuk seorang
yang diturunkan ayat “Dan tiada pula dosa atas orang-orang yang apabila merka
datang kepadamu, supaya kamu memberi merka kendaraan, lalu kami berkata : “Aku
tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu” (QS. Al-Taubah 9:92). Kemudian kami
mengucapkan salam kepadanya dan kami berkata : “kami datang untuk menziarahimu,
duduk-duduk denganmu, dan ingin mendengarkan yang berharga darimu. Al-Irbadh
berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW shalat bersama kami dan setelah itu beliau
menghadap kepada kami, lalu memberi kami nasehat yang sangat berharga, yang
membuat mata mencucurkan air mata dan hati pun bergetar, maka ada seorang yang
berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini
adalah nasihat perpisahan, pesan apa yang akan engkau sampaikan kepada
kami ?” Beliau berkata : “Aku mewasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah
dan tunduk serta ta’at meskipun seorang hamba sahaya yang hitam menjadi
pemimpin. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan mendapatkan
perselisihan yang banyak, maka hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku,
dan sunnah khalifah pengganti setelahku yang mendapatkan petunjuk, peganglah
dan genggamlah erat-erat, berhati-hatilah kalian dengan perkara yang baru,
karna setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah
sesat”.[3]
Takhrij Hadits :
Bila dilihat dari kata اوصيكم yang berasal dari kata وصي maka terdapat di :
·
Sunan Abi Daud : Kitab Sunnah
bab 5
·
Tirmidzi :
Kitab Ilmu bab 16
·
Sunan Ad-Darimi : Kitab
Muqaddimah bab 16
·
Ahmad bin Hanbal : Jilid 4 halaman
126, 361, 127.[4]
2. Syarah Hadits
Mencintai Rasulullah Saw adalah salah satu konsekwensi
Iman sebagimana halnya mencintai Allah Swt. “Katakanlah: “Jika orag-orang
tua, anak-anak, saudara-saudara…lebih kamu cintai daripada Alloh dan RosulNya…maka
bersiaplah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Sungguh Aloh tidak
menunjukkan orang-orang yang fasiq” QS at Taubah: 24. Ayat ini cukup
menjadi bukti bahwa mencintai Rosululloh Saw merupakan kewajiban yang tidak
bisa ditawar-tawar, dengan bukti adanya ancaman “tunggulah sampai Alloh
mendatangkan keputusanNya” serta stigma sebagai orang yang Fasiq.
Dalam mencintai Rasulullah Saw, orang beriman juga
dituntut untuk memberikan cintanya kepada Beliau Saw dengan sepenuh hati,
melebihi cinta kepada anak, orang tua, saudara, dan harta benda. Dengan inilah
orang beriman baru akan merasakan betapa manisnya keimanan, “Tiga hal,
barang siapa berada di dalamnya maka dia akan menemukan manisnya iman;
hendaknya Alloh dan RosulNya lebih dia cintai daripada selain keduanya, tidak
mencintai orang lain kecuali karena Allah, dan hendaknya dia merasa enggan
kembali kepada kekafiran seperti layaknya dia enggan jika dilemparkan ke
neraka” HR Bukhori. Bahkan lebih dari itu, cinta kepada Rasulullah
Saw harus melebihi rasa cinta kepada diri sendiri. Suatu ketika Umar ra
berkata: Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih saya cintai daripada semuanya,
kecuali diri saya sendiri! Rasulullah Saw bersabda: “Tidak sempurna iman
salah seorang dari kalian sebelum diriku lebih dia cintai daripada dirinya
sendiri” HR Muttafaq Alaihi. Umar segera menyahut: “Demi Dzat Yang
menurunkan kepadamu Alqur’an, sungguh engkau lebih saya sayangi daripada diri
saya sendiri?! Rasulullah Saw bersabda: “Sekarang, wahai Umar”.
Seseorang yang mencintai dan mengidolakan tokoh
tertentu maka cinta itu membawanya untuk selalu atau cenderung meniru tokoh
tersebut, jika tidak demikian bisa disimpulkan bahwa cintanya itu bohong
belaka. Karena itulah apakah kita termasuk orang yang mencintai Rasulullah Saw
atau tidak maka marilah kembali melihat apakah dalam diri ini ada ciri-ciri
mencintai makhluk Alloh yang paling utama itu :[5]
1.
Mengikuti, menuruti perintah dan
menjauhi larangan Beliau Saw, firman Allah: “Katakanlah: “Jika kalian
mencintai Allah maka ikutilah diriku, (jika demikian) Alloh pasti mencintai
kamu” QS Ali Imron: 31.
2.
Mendahulukan anjuran Rasulullah Saw
dan mengakhirkan kepentingan diri sendiri, “…dan mereka mengakhirkan diri
mereka meski diri mereka sendiri sangat membutuhkan…” QS Al Hasyr: 9. Ayat
ini menceritakan sekaligus membanggakan karakter yang dimiliki para pecinta
Rasulullah Saw (para sahabat) di mana mereka lebih mendahulukan orang lain
meski diri mereka sendiri membutuhkan.
3.
Menghidupkan sunnah Rasulullah Saw,
Anas bin Malik menceritakan bahwa Rosululloh Saw pernah bersabda kepadanya: “Wahai
anakku, itulah sunnahku, barang siapa yang menghidupkan sunnahku berarti telah
mencintaiku dan barang siapa mencintaiku maka dia bersamaku di surga”.
HR. Turmudzi
4.
Banyak menyebut Beliau Saw, sebab
barang siapa yang mencintai sesuatu maka dia pasti banyak menyebutnya. Selain
itu merasa rindu dan ingin bertemu dengan Beliau Saw. Dalam Dalail Nubuwwah
Imam Baihaqi menuturkan bahwa ketika orang-orang Asy’ari datang ke Madinah,
mereka tak lelah mendendangkan sebuah syair yang artinya: “Esok kita akan
bertemu dengan para kekasih, Muhammad dan para sahabatnya”.
5.
Mencintai orang yang dicintai oleh
Rasulullah Saw, termasuk para isteri, keluarga dan sahabat Beliau Saw,
“Barang siapa mencintai keduanya (Hasan Husen) berarti mencintaiku…”. HR.
Ibn Majah
Jika seluruh kriteria di atas tertanam dalam diri
berarti cinta itu sempurna, dan bila hanya sebagian saja maka cintanya tidak
sepenuh hati. Kendati demikian dia tetap dikatakan sebagai pecinta Rosululloh
Saw. Saat seorang minum arak dan mengaku terus dijatuhi hukuman, banyak orang
mencela dan menghinakannya, akan tetapi Rosululloh Saw segera membantah:
“Jangan kalian melaknatnya, sebab dia mencintai Alloh dan RosulNya”.
Memasuki syarah hadits yang kedua Rasulullah menyebut
dengan Perkataan, “nasihat yang mengena” maksudnya adalah mengena kepada diri
kita dan membekas dihati kita. Perkataan, “yang menggetarkan hati kita”
maksudnya menjadikan orang takut. Perkataan, ”yang mencucurkan air mata”
maksudnya seolah-olah nasihat itu bertindak sebagai sesuatu yang menakutkan dan
mengancam.
Sabda Rasulullah, “Aku memberi wasiat kepadamu supaya
tetap bertaqwa kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar
dan mentaati” maksudnya kepada para pemegang kekuasaan. Sabda Beliau, “Walaupun
yang memerintah kamu seorang budak”, pada sebagian riwayat disebutkan budak
habsyi.
Sebagian Ulama berkata, “Seorang budak tidak dapat
menjadi penguasa” kalimat tersebut sekedar perumpamaan, sekalipun hal itu tidak
menjadi kenyataan, seperti halnya sabda Rasulullah, “Barangsiapa membangun
masjid sekalipun seperti sangkar burung karena Allah, niscaya Allah akan
membangukan untuknya sebuah rumah di surga”. Sudah tentu sangkar burung tidak
dapat menjadi masjid, tetapi kalimat perumpaan seperti itu biasa dipakai.
Mungkin sekali Rasulullah memberitahukan bahwa akan
terjadinya kerusakan sehingga sesuatu urusan dipegang orang yang bukan ahlinya,
yang akibatnya seorang budak bisa menjadi penguasa. Jika hal itu terjadi, maka
dengarlah dan taatilah untuk menghindari mudharat yang lebih besar serta
bersabar menerima kekuasaan dari orang yang tidak dibenarkan memegang
kekuasaan, supaya tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Sabda Rasulullah, “Sungguh, orang yang masih hidup
diantaramu nanti akan melihat banyak perselisihan” ini termasuk salah satu
mukjizat beliau yang mengabarkan kepada para shohabatnya akan terjadinya
perselisihan dan meluasnya kemungkaran sepeninggal beliau. Beliau telah
mengetahui hal itu secara rinci , tetapi beliau tidak menceritakan hal itu
secara rinci kepada setiap orang, namun hanya menjelaskan secara global. Dalam
beberapa hadits ahad disebtukan beliau menerangkan hal semacam itu kepada
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki
posisi dan tempat yang penting disisi Rosululloh .
Sabda Beliau, “Maka wajib atas kamu memegang teguh
sunnahku” sunnah ialah jalan lurus yang berjalan pada aturan-aturan tertentu,
yaitu jalan yang jelas.
Sabda Beliau, “dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
mendapatkan petunjuk” maksudnya mereka yang senantiasa diberi petunjuk. Mereka
itu ada 4 orang, sebagaimana ijma’ para ulama, yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman
dan Ali ra. Rasululloh menyuruh kita teguh mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin
karena dua perkara : Pertama, bagi yang tidak mampu berpikir cukup dengan
mengikuti mereka. Kedua, menjadikan pendapat mereka menjadi pilihan utama bila
terjadi perselisihan pendapat diantara para shahabat.
Sabdanya “ Jauhilah olehmu perkara-perkara yang baru
“. Ketahuilah bahwa perkara yang baru itu ada dua macam. Pertama, perkara baru
yang tidak punya dasar syari’at, hal semacam ini bathil lagi tercela. Kedua,
perkara baru yang dilakukan dengan membandingkan dua pendapat yang setara,
perkara baru semacam ini tidak tercela. Kata-kata “perkara baru atau bid’ah”
arti asalnya bukanlah perbuatan yang tercela. Akan tetapi, bila pengertiannya
ialah menyalahi Sunnah dan menuju kepada kesesatan, maka dengan pengertian
semacam itu menjadi tercela, sekalipun secara harfiah makna kata tersebut sama
sekali tidak tercela, karena Allah pun di dalam firman-Nya menyatakan : “Tidak
datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang baru dari Tuhan mereka” (QS.
Al Anbiyaa’ :2).[6]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1.
Bekas yang
mendalam dari nasehat
Rasulullah shallallahu`alaihi
wa sallam dalam
jiwa para shahabat. Hal
tersebut merupakan tauladan
bagi para da’i di jalan Allah ta’ala.
2.
Taqwa merupakan
yang paling penting
untuk disampaikan seorang muslim
kepada muslim lainnya, kemudian
mendengar dan ta’at
kepada pemerintah selama tidak
terdapat di dalamnya maksiat.
3.
Keharusan untuk berpegang teguh
terhadap sunnah Nabi dan sunnah
Khulafaurrasyidin, karena di dalamnya
terdapat kemenangan dan kesuksesan, khususnya
tatkala banyak terjadi perbedaan dan perpecahan.
4.
Hadits ini
menunjukkan tentang sunnahnya memberikan wasiat
saat berpisah karena
di dalamnya terdapat kebaikan
dan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
5.
Larangan untuk
melakukan hal yang
baru dalam agama (bid’ah) yang
tidak memiliki landasan dalam agama.
B.
Saran
Meskipun kami sudah
berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak
kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan
untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
[1] Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Bazz, Shahih Bukhari, (Beirut : Daar Al-Fikr), Kitab Iman, bab 5. h.
317.
[2] AJ. Wensink, Mu’jam
Al-Mufahrasy Lil Alfazi Al-Hadits An-Nabawi, (Laiden : Maktabah Brill),
Jilid 1 h. 410.
[3] Abi Isya Muhammad bin Isya bin
Sauroh, Sunan Tirmidzi, (Beirut : Daar Al-Fikr), Kitab Ilmu, bab 16.
[4] AJ. Wensink, Op.Cit. Jilid
7, h. 227
[5] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak,
(Yogyakarta : Lembaga pengkajian dan pengamalan Islam), 2007, h. 35.
[6] Muhyidin Yahya bin Syarf
An-Nawawi, Syarah Arba’in Nawawi, (Riyadh : Maktabah Ta’awuni li
Al-Dakwah), 1431 H. h. 84-85
No comments:
Post a Comment