BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu
dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha
mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Allah
SWT berfirman
Artinya
: “Dan Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada
orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”(QS Az Zumar : 39)
Jual
beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan
yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut
istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas)
atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan
antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka
(lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93
Oleh
karena pada makalah ini akan dibahas mengenai hadis tentang larangan jual beli.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
bentuk hadits tentang jual beli yang dilarang ?
2.
Bagaimana
Syarah dari hadits tentang jual beli yang dilarang dalam hadits ini ?
3.
Bagaimana
bentuk-bentuk penipuan dalam jual beli ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui hadits yang menyebutkan tentang jual beli yang dilarang
2.
Untuk
memahami hadits tentang jual beli terlarang
3.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk penipuan dalam jual beli
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teks Hadits dan Terjemahnya
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى
يَسْتَوْفِيَهُ
Artinya : telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf
telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar
Radiyallahu’anhuma : Sesungguhnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda : “Barang siapa yang membeli makanan , maka jangan menjualnya sampai
dia sempurna memilikinya.”[1]
عن أبي هريرة رضي
الله عنه قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبيع حا ضر لبا د ، ولا تنا
جشوا ، ولا يبيع الرجل على بيع أخيه ، ولا يخطب على خطبة أخيه، ولا تسأل المرأة
طلاق لتكفأما فى إنائها .متفق عليه . ولمسلم : لا يسوم المسلم على
سوم المسلم.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a , beliau berkata : ”Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wasallam. melarang orang kota menjualkan barang dagangan
orang kampung, dan janganlah kalian melakukan transaksi jual beli dengan najasy
(memuji barang dagangan secara berlebihan), janganlah seseorang menjual sesuatu yang sedang dijual oleh saudaranya,
janganlah seseorang melamar orang yang sedang dilamar saudaranya, dan janganlah
seorang perempuan meminta talak saudarinya agar ia menduduki posisinya”. (Muttafaq
Alaih) Menurut riwayat Muslim : “Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran
saudaranya.”[2]
B.
Takhrij Hadist
1. Shahih Bukhori (2132) dan Muslim (1525).
2. Shahih Bukhori bab 51 dan Muslim (1515), Sunan Abu Daud
(2080), Sunan Tirmidzi (1134), Sunan Ibnu Majah (2172), Sunan Nasai (208-209).[3]
C.
Kajian singkat Rowi A‘la
1. Abdullah bin Umar
Dia adalah putra Umar
bin Khattab, seorang pemimpin teladan, syaikhul Islam, Abu Abdurrahman Al
Quraisyi Al Adawi Al Makki Al Madani. Dia masuk Islam sejak kecil, kemudian
hijrah bersama ayahnya ketika belum mencapai usia baligh.ketika perang uhud
terjadi, dia masih kecil. Perang yang pertama kali diikutinya adalah perang Khandak, dan dia
termasuk sahabat yang berba’ait dibawah pohon.
Ibunya adalah Ummul
Mukminin Hafshah,Zainab binti Madz’un, saudara Ustman bin Madz’un Al jumahi.
Ibnu Umar meninggal tahun 73 H.[4]
2.
Abu Hurairah r.a
Dia adalah Abu
Hurairah Ad-Dausi Al Yamani atau
Abdurrahman bin Shakhar. gelarnya yang dikenal Abu Hurairah, (anak kucing). Dia
seorang imam yang faqih, mujtahid, Al hafizh, sahabat Rasulallah dan Sayyyidulhuffadz
yang telah mendapat pengakuan. Abu Hurairah r.a meninggal dunia tahun 57 H.
D.
Fiqhul Hadist
Hadist pertama
menjelaskan tentang larangan menjual makanan sebelum diterima. Berdasarkan
hadist yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat yang menjelaskan tentang jual
beli yang lebih umum dari bahan makanan itu, Hadist yang diriwayatkan dari
Hakim bin Hizam oleh imam Ahmad. Ibnu Hizam berkata:
قلت: يا
رسول الله إني أشتري بيوعا: فما يحل لي منها وما يحرم ؟ فقال: يا ابن أخي إذا
اشتريت بيعا ، فلا تبعه حتى تقبضه.
“Saya bertanya, ya Rasulallah saya telah membeli
beberapa jualan lalu manakah diantaranya yang halal bagi saya dan mana yang
haram? Beliau menjawab : Apabila kamu membeli sesuatu, maka janganlah kamu
menjualnya hingga kamu menerimanya”.[5]
Dari
segi makna, bahwa menjual sesuatu yang belum diterima bisa berefek kepada
riba Hadist tersebut menunjukkan bahwa
tidak boleh menjual barang dagangan apa saja yang telah kamu beli, kecuali
setelah diterima secara utuh oleh pembeli dan telah memilikinya secara
sempurna. begitu pula pendapat jumhur
ulama sesungguhnya tidak boleh penjualan barang oleh pembelinya sebelum
dipegang tangan secara mutlaq, karena bisa terjadinya pengurangan atau
penipuan, Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum tersebut khusus untuk makanan,
tidak pada barang dagangan lainnya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal
tersebut khusus untuk barang yang bisa dipindah. Wallahu’alam.[6]
Hadist kedua mengandung beberapa hal yang dilarang,
yaitu:
Pertama; larangan orang kota untuk menjualkan barang
dagangan orang desa , Hadits lain yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » .
قَالَ فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ
لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
“Janganlah
menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo
untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu
‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu
ia tidak boleh menjadi calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Ibnu Abbas menafsirkan dengan perkataanya, “janganlah
dia menjadi makelar untuknya,” kata makelar asal maknanya adalah orang menilai
suatu urusan dan mengawasinya, kemudian dikenal dengan istilah perantara jual
beli bagi orang lain dengan upah sebagai imbalan.
Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “orang
kota menjualkan barang dagangan orang kampung” adalah transaksi dimana
seorang asing ke suatu daerah dengan membawa barang dagangan yang hendak dijual
dengan harga pasaran pada saat itu juga.kemudian datang orang kota kepadanya
dan berkata, “tinggalkan daganganmu pada saya, saya jualkan untukmu secara
berangsur dengan harga lebih mahal dari harga sekarang.”
Kemudian ada juga ulama yang mengkhususkan hukum ini
berlaku pada orang desa dan mereka menjadikannya ketentuan yang mengikat, dan
ada juga yang memberlakukanya untuk orang kota, jika keduanya sama- sama tidak
mengetahui harga.
perlu diketahui
bahwa penyebutan orang desa dalam hadist tersebut hanya karena tradisi umum
yang berlaku di arab, jika orang desa yang justru menawarkannya ke orang kota,
maka tidak dilarang,bila keduanya sama-sama tahu harga pasar.
Dan dalam kitab shahihnya Abu Uwanah mengeluarkan
hadist dari Ibnu Sirin yang mana dia berkata: “saya pernah bertemu Anas bin
Malik , kemudian saya berkata, ‘Apakah orang kota (dizamanmu menjualkan barang
dagangan orang kampung ? apakah kalian dilarang untuk menjual barang atau
membeli untuk mereka ? ‘ dia berkata, ‘Ya’.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud
dari Ibnu Sirin dari Anas bin Malik, dahulu dikatakan , “ janganlah orang
kota menjualkan barang dagangan orang desa.”Inilah adalah kalimat umum yang
mencakup makna janganlah menjual untuk mereka dan jangan pula membeli untuk mereka.
Dari hasil pengamatan jumhur ulama pertimbangan larangan bagi orang kota untuk
menjualkan barang dagangan orang desa (sebagai calo) adalah bentuk keberpihakan
terhadap penduduk kota agar calo tidak menjual barang dagangan dengan harga
mahal, disini ada dua pertimbangan agar orang kampung tidak tertipu dan agar
orang kota juga tidak tertipu, artinya bahwa syari’at memperhatikan kepentingan
orang banyak dan mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan individu, bukan justru sebaliknya, mengedepankan
kepentingan individu daripada kepentingan publik.[7]
Kedua; Melarang berjualan dengan najasy (memuji barang
dagangan secara berlebihan)
Dalam tinjauan Etimologi Najasy berarti ,
mengusir hewan buruan dari tempatnya agar mudah ditangkap.sedangkan menurut
istilah berarti menawar harga barang dengan harga tinggi, bukan ingin
membelinya, tapi untuk memperdaya orang lain.praktek sperti ini disebut Najasy,
karena bisa membangkitkan hasrat orang untuk membeli barang tersebut sekaligus
meningkatkan harga jual.
Ibnu Al-Batthal
berkomentar, Ulama sepakat bahwa pelaku Najasy telah berbuat maksiat
karena perbuatannya itu. Walaupun ada orang menjual barang dibawah harga yang
semestinya, lalu dia menaikkan agar mencapai harga yang wajar, maka orang
tersebut termasuk pelaku najasy, karena didalamnyaterdapat tipuan dan
spekulasi yang diharamkan, Al-Bukhari mengeluarkan hadits yang diriwayatkan
oleh ibnu abi aufa mengenai sebab turunnya firman Allah SWT.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat
bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka
dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. (QS. Ali Imran 77)
Beliau
mengatakan, ada orang memuji barang dagangan yang dimilikinya dengan bersumpah
atas nama Allah dan mengatakan bahwa dia telah dikaruniai sesuatu yang tidak
dikaruniai kepada orang lain maka, turunlah ayat tersebut. Ibnu Abi Aufa
mengatakan bahwa pelaku najasy adalah pemakan riba dan juga pengkhianat.
Ketiga : larangan seseorang menjual sesuatu yang sedang dijual
saudaranya.
Hadits
lain yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ
يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ
إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah seseorang menjual di
atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas
khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu”.[8]
Bentuk transaksi menjual sesuatu yang sedang dijual
oleh saudaranya adalah apabila telah terjadi jual beli, namun masih dalam
tenggang waktu khiyar kemudian sesseorang datang dan berkata kepada sipembeli,
“batalkan jual beli itu dan saya akan menjual kepadamu barang yang sama dengan
harga yang lebih murah darinya atau dengan barang yang lebih bagus darinya,
begitu juga halnya dengan membeli, contoh : seseorang berkata kepada si penjual
dalam masa khiyar, “batalkanlah jual beli itu dan saya akan membelinya dengan
harga yang lebih tinggi.” Adapun bentuk menawar atas tawaran orang lain adalah
ketika kedua belah pihak si penjual dan peminatnya telah sepakat untuk
melakukan jual beli, tetapi transaksi belum terjadi. Kemudian seseorang berkata
kepada sipenjual, saya siap membelinya darimu dengan harga yang lebih tinggi,
padahal sipenjual telah sepakat mengenai harganya dengan peminat pertama. Ulama
sepakat bahwa semua bentuk transaksi tersebut adalah haram, dan pelakunya
berarti telah bermaksiat.[9]
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, ”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian
orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu
barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua
mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih
murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual,
“Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih
dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para
ulama” (Fathul Bari, 4: 353).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu Bathal mengatakan, “Para ulama telah sepakat
bahwa pelaku praktek najsy adalah orang yang bermaksiat karena perbutannya
itu, namun mereka berbeda pendapat mengenai transaksi jual beli yang dilakukan
dengan cara ini. Ibnu Al Mundzir mengutip pendapat dari segolongan ahli hadist,
bahwa jual beli tersebut rusak (tidak sah) jika dilakukan dengan cara najsy,
demikian juga pendapat golongan Azh-Zhahiri, salah satu riwayat dari Malik dan
pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali bila hal itu dilakukan dengan
kesepakatan si penjual. Sedangkan pendapat yang masyhur dari mazhab Maliki
adalah tetapnya hak memilih (antara melanjutkan jual beli atau membatalkan).
Alasan dilarangnya
penjualan orang kota bagi orang desa menurut mayoritas ulama adalah karena jual
beli ini berbahaya bagi para penduduk kota, dan dapat menyulitkan orang banyak.
Karena kalau orang desa itu dibiarkan saja menjual barangnya, tentu masyarakat
akan bisa membelinya dengan harga murah, dan mereka juga akan merasa lapang.
Adapun kalau orang kota itu menangani penjualan barang itu, dan dia hanya mau
menjual dengan harga yang dipatok untuk kota tersebut, tentulah masyarakat akan
merasa kesulitan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Menjual di atas
jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya
haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli
pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan
saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya
adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu
dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual
beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4: 353).
B.
Saran
Demikianlah makalah yang membahas tentang jual beli yang
dilarang ini kami buat, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena
itu saran dan kritik sangat kami harapkan.
[1] Sahih Bukhari
No. 2132 dan Muslim 1525.
[2] Shahih Bukhori bab 51 dan Muslim (1515), Sunan Abu Daud
(2080), Sunan Tirmidzi (1134), Sunan Ibnu Majah (2172), Sunan Nasai (208-209).
[3] A. Y. Winsinq,
Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzil Haditsin Nabawi, (Madinah:Maktabah Baril,
1936),
[4] Sirajudin
Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2000), Cet. Ke-24,
Jilid 2, h. 40.
[5] Abu Usamah
Fakhtur Rohman, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Jakarta:Pustaka Azzam
2007), Jilid 2, h. 288
[6] Ibid, h.
289
[7] Hendi Suhendi,
Fiqh Mu’amalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008) h. 84.
[9]Muhammad Isnan,
Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram, (Jakarta Timur:2009), Jilid 2, h.
360
No comments:
Post a Comment