Friday, March 25, 2016

HADITS JUAL BELI TERLARANG



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman
Artinya : “Dan Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS Az Zumar : 39)
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93
Oleh karena pada makalah ini akan dibahas mengenai hadis tentang larangan jual beli.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bentuk hadits tentang jual beli yang dilarang ?
2.      Bagaimana Syarah dari hadits tentang jual beli yang dilarang dalam hadits ini ?
3.      Bagaimana bentuk-bentuk penipuan dalam jual beli ?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hadits yang menyebutkan tentang jual beli yang dilarang
2.      Untuk memahami hadits tentang jual beli terlarang
3.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk penipuan dalam jual beli



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Teks Hadits dan Terjemahnya
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
Artinya : telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Radiyallahu’anhuma : Sesungguhnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Barang siapa yang membeli makanan , maka jangan menjualnya sampai dia sempurna memilikinya.”[1]

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبيع حا ضر لبا د ، ولا تنا جشوا ، ولا يبيع الرجل على بيع أخيه ، ولا يخطب على خطبة أخيه، ولا تسأل المرأة طلاق لتكفأما فى إنائها .متفق عليه . ولمسلم : لا يسوم المسلم على سوم المسلم.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a , beliau berkata : ”Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam. melarang orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung, dan janganlah kalian melakukan transaksi jual beli dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan), janganlah seseorang menjual  sesuatu yang sedang dijual oleh saudaranya, janganlah seseorang melamar orang yang sedang dilamar saudaranya, dan janganlah seorang perempuan meminta talak saudarinya agar ia menduduki posisinya”. (Muttafaq Alaih) Menurut riwayat Muslim : “Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran saudaranya.”[2]





B.       Takhrij Hadist
1.    Shahih Bukhori (2132) dan Muslim (1525).
2.    Shahih Bukhori bab 51 dan Muslim (1515), Sunan Abu Daud (2080), Sunan Tirmidzi (1134), Sunan Ibnu Majah (2172), Sunan Nasai (208-209).[3]

C.       Kajian singkat Rowi A‘la
1.    Abdullah bin Umar
Dia adalah putra Umar bin Khattab, seorang pemimpin teladan, syaikhul Islam, Abu Abdurrahman Al Quraisyi Al Adawi Al Makki Al Madani. Dia masuk Islam sejak kecil, kemudian hijrah bersama ayahnya ketika belum mencapai usia baligh.ketika perang uhud terjadi, dia masih kecil. Perang yang pertama kali  diikutinya adalah perang Khandak, dan dia termasuk sahabat yang berba’ait dibawah pohon.
Ibunya adalah Ummul Mukminin Hafshah,Zainab binti Madz’un, saudara Ustman bin Madz’un Al jumahi. Ibnu Umar meninggal tahun 73 H.[4]
2.    Abu Hurairah r.a
Dia adalah Abu Hurairah  Ad-Dausi Al Yamani atau Abdurrahman bin Shakhar. gelarnya yang dikenal Abu Hurairah, (anak kucing). Dia seorang imam yang faqih, mujtahid, Al hafizh, sahabat Rasulallah dan Sayyyidulhuffadz yang telah mendapat pengakuan. Abu Hurairah r.a meninggal dunia tahun 57 H.

D.      Fiqhul Hadist
Hadist pertama menjelaskan tentang larangan menjual makanan sebelum diterima. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat yang menjelaskan tentang jual beli yang lebih umum dari bahan makanan itu, Hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam oleh imam Ahmad. Ibnu Hizam berkata:
قلت: يا رسول الله إني أشتري بيوعا: فما يحل لي منها وما يحرم ؟ فقال: يا ابن أخي إذا اشتريت بيعا ، فلا تبعه حتى تقبضه.
“Saya bertanya, ya Rasulallah saya telah membeli beberapa jualan lalu manakah diantaranya yang halal bagi saya dan mana yang haram? Beliau menjawab : Apabila kamu membeli sesuatu, maka janganlah kamu menjualnya hingga kamu menerimanya”.[5]
Dari segi makna, bahwa menjual sesuatu yang belum diterima bisa berefek kepada riba  Hadist tersebut menunjukkan bahwa tidak boleh menjual barang dagangan apa saja yang telah kamu beli, kecuali setelah diterima secara utuh oleh pembeli dan telah memilikinya secara sempurna. begitu pula  pendapat jumhur ulama sesungguhnya tidak boleh penjualan barang oleh pembelinya sebelum dipegang tangan secara mutlaq, karena bisa terjadinya pengurangan atau penipuan, Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum tersebut khusus untuk makanan, tidak pada barang dagangan lainnya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal tersebut khusus untuk barang yang bisa dipindah. Wallahu’alam.[6]
Hadist kedua mengandung beberapa hal yang dilarang, yaitu:
Pertama; larangan orang kota untuk menjualkan barang dagangan orang desa , Hadits lain yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Ibnu Abbas menafsirkan dengan perkataanya, “janganlah dia menjadi makelar untuknya,” kata makelar asal maknanya adalah orang menilai suatu urusan dan mengawasinya, kemudian dikenal dengan istilah perantara jual beli bagi orang lain dengan upah sebagai imbalan.
Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung” adalah transaksi dimana seorang asing ke suatu daerah dengan membawa barang dagangan yang hendak dijual dengan harga pasaran pada saat itu juga.kemudian datang orang kota kepadanya dan berkata, “tinggalkan daganganmu pada saya, saya jualkan untukmu secara berangsur dengan harga lebih mahal dari harga sekarang.”
Kemudian ada juga ulama yang mengkhususkan hukum ini berlaku pada orang desa dan mereka menjadikannya ketentuan yang mengikat, dan ada juga yang memberlakukanya untuk orang kota, jika keduanya sama- sama tidak mengetahui harga.
 perlu diketahui bahwa penyebutan orang desa dalam hadist tersebut hanya karena tradisi umum yang berlaku di arab, jika orang desa yang justru menawarkannya ke orang kota, maka tidak dilarang,bila keduanya sama-sama tahu harga pasar.
Dan dalam kitab shahihnya Abu Uwanah mengeluarkan hadist dari Ibnu Sirin yang mana dia berkata: “saya pernah bertemu Anas bin Malik , kemudian saya berkata, ‘Apakah orang kota (dizamanmu menjualkan barang dagangan orang kampung ? apakah kalian dilarang untuk menjual barang atau membeli untuk mereka ? ‘ dia berkata, ‘Ya’.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Sirin dari Anas bin Malik, dahulu dikatakan , “ janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang desa.”Inilah adalah kalimat umum yang mencakup makna janganlah menjual untuk mereka dan jangan pula membeli untuk mereka. Dari hasil pengamatan jumhur ulama pertimbangan larangan bagi orang kota untuk menjualkan barang dagangan orang desa (sebagai calo) adalah bentuk keberpihakan terhadap penduduk kota agar calo tidak menjual barang dagangan dengan harga mahal, disini ada dua pertimbangan agar orang kampung tidak tertipu dan agar orang kota juga tidak tertipu, artinya bahwa syari’at memperhatikan kepentingan orang banyak dan mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan  individu, bukan justru sebaliknya, mengedepankan kepentingan individu daripada kepentingan publik.[7]
Kedua; Melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan)
Dalam tinjauan Etimologi Najasy berarti , mengusir hewan buruan dari tempatnya agar mudah ditangkap.sedangkan menurut istilah berarti menawar harga barang dengan harga tinggi, bukan ingin membelinya, tapi untuk memperdaya orang lain.praktek sperti ini disebut Najasy, karena bisa membangkitkan hasrat orang untuk membeli barang tersebut sekaligus meningkatkan harga jual.
 Ibnu Al-Batthal berkomentar, Ulama sepakat bahwa pelaku Najasy telah berbuat maksiat karena perbuatannya itu. Walaupun ada orang menjual barang dibawah harga yang semestinya, lalu dia menaikkan agar mencapai harga yang wajar, maka orang tersebut termasuk pelaku najasy, karena didalamnyaterdapat tipuan dan spekulasi yang diharamkan, Al-Bukhari mengeluarkan hadits yang diriwayatkan oleh ibnu abi aufa mengenai sebab turunnya firman Allah SWT.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. (QS. Ali Imran 77)
Beliau mengatakan, ada orang memuji barang dagangan yang dimilikinya dengan bersumpah atas nama Allah dan mengatakan bahwa dia telah dikaruniai sesuatu yang tidak dikaruniai kepada orang lain maka, turunlah ayat tersebut. Ibnu Abi Aufa mengatakan bahwa pelaku najasy adalah pemakan riba dan juga pengkhianat.

Ketiga : larangan seseorang menjual sesuatu yang sedang dijual saudaranya.
Hadits lain yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu”.[8]
Bentuk transaksi menjual sesuatu yang sedang dijual oleh saudaranya adalah apabila telah terjadi jual beli, namun masih dalam tenggang waktu khiyar kemudian sesseorang datang dan berkata kepada sipembeli, “batalkan jual beli itu dan saya akan menjual kepadamu barang yang sama dengan harga yang lebih murah darinya atau dengan barang yang lebih bagus darinya, begitu juga halnya dengan membeli, contoh : seseorang berkata kepada si penjual dalam masa khiyar, “batalkanlah jual beli itu dan saya akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi.” Adapun bentuk menawar atas tawaran orang lain adalah ketika kedua belah pihak si penjual dan peminatnya telah sepakat untuk melakukan jual beli, tetapi transaksi belum terjadi. Kemudian seseorang berkata kepada sipenjual, saya siap membelinya darimu dengan harga yang lebih tinggi, padahal sipenjual telah sepakat mengenai harganya dengan peminat pertama. Ulama sepakat bahwa semua bentuk transaksi tersebut adalah haram, dan pelakunya berarti telah bermaksiat.[9]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4: 353).














BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ibnu Bathal mengatakan, “Para ulama telah sepakat  bahwa pelaku praktek najsy adalah orang yang bermaksiat karena perbutannya itu, namun mereka berbeda pendapat mengenai transaksi jual beli yang dilakukan dengan cara ini. Ibnu Al Mundzir mengutip pendapat dari segolongan ahli hadist, bahwa jual beli tersebut rusak (tidak sah) jika dilakukan dengan cara najsy, demikian juga pendapat golongan Azh-Zhahiri, salah satu riwayat dari Malik dan pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali bila hal itu dilakukan dengan kesepakatan si penjual. Sedangkan pendapat yang masyhur dari mazhab Maliki adalah tetapnya hak memilih (antara melanjutkan jual beli atau membatalkan).  
Alasan dilarangnya penjualan orang kota bagi orang desa menurut mayoritas ulama adalah karena jual beli ini berbahaya bagi para penduduk kota, dan dapat menyulitkan orang banyak. Karena kalau orang desa itu dibiarkan saja menjual barangnya, tentu masyarakat akan bisa membelinya dengan harga murah, dan mereka juga akan merasa lapang. Adapun kalau orang kota itu menangani penjualan barang itu, dan dia hanya mau menjual dengan harga yang dipatok untuk kota tersebut, tentulah masyarakat akan merasa kesulitan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4: 353).

B.       Saran
Demikianlah makalah yang membahas tentang jual beli yang dilarang ini kami buat, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan.


[1] Sahih Bukhari No. 2132 dan Muslim 1525.
[2] Shahih Bukhori bab 51 dan Muslim (1515), Sunan Abu Daud (2080), Sunan Tirmidzi (1134), Sunan Ibnu Majah (2172), Sunan Nasai (208-209).
[3] A. Y. Winsinq, Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzil Haditsin Nabawi, (Madinah:Maktabah Baril, 1936),
[4] Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2000), Cet. Ke-24, Jilid 2, h. 40.
[5] Abu Usamah Fakhtur Rohman, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Jakarta:Pustaka Azzam 2007), Jilid 2, h. 288
[6] Ibid, h. 289
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008) h. 84.
[8] Shahih Muslim no. 1412.
[9]Muhammad Isnan, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram, (Jakarta Timur:2009), Jilid 2, h. 360

No comments:

Post a Comment