BAB I
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari ini,
kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di
antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah
keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya
hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk
berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan
bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang
adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam
menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan
sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
b.
Rumusan masalah:
1.
Apakah pengertian hutang piutang?
2.
Apakah hukum hutang piutang?
3.
Apakah adab dalam hutang piutang?
4.
Apakah hikmah dari memberikan hutang?
c.
Tujuan masalah :
1.
Agar mengetahui pengertian hutang piutang
2.
Mengetahui hukum hutang piutang
3.
Mengetahui adab dalam berhutang
4.
Dan mengetahui hikmah dari memberikan hutang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks Hadits dan Terjemahannya
حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الأُوَيْسِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ،
عَنْ أَبِي الغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ
النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ
إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ (رواه البخاري)
Artinya
:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ،
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، أَنَّهُ سَمِعَهُ،
يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَامَ
فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ أَنَّ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَالْإِيمَانَ
بِاللهِ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ، تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، إِنْ
قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ
مُدْبِرٍ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ
قُلْتَ؟ قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي
خَطَايَايَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ،
وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ، إِلَّا الدَّيْنَ،
فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِي ذَلِكَ (رواه مسلم)
Artinya
:
B.
Kajian
Singkat Rawi A’la
1.
Abu
Hurairah
Zaman jahiliyah orang
memanggil namanya Abdu Syam, setelah Allah memuliakannya dengan islam dan
mempertemukannya dengan Nabi SAW. Rasullah SAW. Bertanya kepadanya.”siapa nama
anda ?”
“Abdu syam !” jawab Abu hurairah singkat.
“bukannya Abdurrahman?” Tanya Rasulllah.
“Demi Tuhan!Benar Abdurrahman , ya Rasullah!” Jawab Abu
hurairah menyetujui. Diberi gelar abu hurairah karena diwaktu kecil beliau
mempunyai anak kucing betina dan selalu bermain-main denganya maka gelar lebih
populer dari nama sebenarnya. Ia masuk islam dari perantara thufail bin Amr
ad-Dausy kira-kira awal tahun ketujuh hijriah,
2.
Abu
Qatadah
Qatada bin al-Nu'man
(قتدة بن النعمان) adalah Sahabat Nabi
Muhammad.
Abu Qatadah yang bernama asli Abdul Khatib merupakan penduduk Madinah,
sehingga disebut golongan Anshar. Dalam Pertempuran
Uhud, mata beliau terluka hingga lepas dari rongga mata, kemudian
Nabi Muhammad dengan didahului dengan doa mengembalikan bola mata Abu Qatadah
seperti sedia kala. Ia dijuluki sebagai "Ksatria rasulallah" (فارس رسول الله ) (Faaris rasulullah)
Meninggal di kota Madinah tahun 54 H. Qatadah menurut sebuah situs memiliki
arti "pohon kayu keras.
C.
Takhrij
Hadits
1.
Jika
dilihat dari informasi mu’jam dari kata صابر/صبر[1] maka ditemukan hadits ini diberbagai kitab diantranya :
·
Muslim,kitab
imaroh, 117
·
Turmudzi,kitab
jihad,32
·
Annasa’i,kitab
jihad,32
·
Dan ahmad bin
hanbal 2.308,330.
3.489.
D.
Syarhul
hadits
a.
Pengertian Hutang Piutang
Di dalam
fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah
Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti
memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan
secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta
(uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya
dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. Atau
dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama.
Sedangkan
menurut ahli fiqih hutang atau pinjaman adalah transaksi antara dua pihak yang
satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan
lagi kepadanya oleh pihak kedua dengan hal yang serupa. Atau seseorang
menyerahkan uang kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian dikembalikan
lagi sejumlah yang dihutang.
E. Hukum Hutang Piutang
Hukum
Hutang piutang pada asalnya Diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan
orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang
piutang ialah sebagaimana berikut ini: Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ 245
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ 245
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits
adalah apa yang diriwayatkan dari Abu pernah meminjam seekor unta kepada
seorang lelaki.rRafi’, bahwa Nabi Aku datang menemui beliau membawa
seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta
milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” [2]
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” [2]
F.
Ancaman bagi yang melalaikan dan
tidak membayar hutang[3]
diantaranya adalah :
·
Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai
Ganti
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
Barangsiapa yang mati dalam keadaan
masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan
dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat)
tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan
keras mengenai hutang.”
Itulah keadaan orang yang mati dalam
keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya
akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat
karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.
·
Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Jiwa
seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR.
Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih
sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih
menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia
selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau
tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)
·
Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi
Sebagai Pencuri
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Siapa saja yang berhutang lalu
berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat)
dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shohih)
Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan
bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul
Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa
berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengambil harta
manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan
dirinya.” (HR.
Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411). Di antara maksud hadits ini adalah
barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat
tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan
menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan
untuk melunasinya.
·
Masih Ada Hutang, Enggan Disholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau Rasullah menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau Rasullah menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
·
Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua dosa orang yang mati syahid
akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)
Oleh karena itu, seseorang hendaknya
berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya
berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya
dengan istighfar.
G.
Kesepakatan Dan Batas Waktu
Berhutang dan adab dalam berhutang [4]:
1.
Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk
hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai,
hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat
persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran
Al-Azhim, III/316).
2.
Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil
keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap
hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi
jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain,
bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu
meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang
memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman
adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari
kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman
berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini
jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga
bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
3.
Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Jabir bin Abdullah t ia
berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang
kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh,
no. 2394)
4.
Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah t, ia berkata
bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain
(berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I
akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya
(tidak melunasinya, pent), maka Allah I akan membinasakannya”. (HR.
Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke
dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda
Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk
menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia
peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah I
membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan badannya dalam
mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan
hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan
akhirat yang kekal nan abadi?
5.
Tidak boleh melakukan jual beli yang
disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan
itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang
berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang
yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan
peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234,
An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
6.
Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,
hendaklah orang yang
berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari
menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7.
Menggunakan uang pinjaman dengan
sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia
kembalikan.
Rasulullah SAW bersabda: “Tangan
bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”.
(HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’,
dan selainnya).
8.
Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan
atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk
memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah t, ia
berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan
hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi
jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi r meminta
syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata,
“Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang
lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.”
(Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap
mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR.
Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
9.
Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia
berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki
kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda
pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat
zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang
mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi
lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu
Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia
berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar
gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali
yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
10.
Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang
kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah I berfirman: “Dan jika
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang
sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi
Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia
menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau
hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa
adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita
semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang.
Amin.
H.
Hikmah jika menghindari hutang
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami
bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah
pernah berhutang[5].
sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi Namun meskipun demikian, hanya
saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia
mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena
hutang, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan disiang hari.
Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda (artinya):
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasullah pernah
menolak menshalatkan jenazah seseorang yang Rasulullah diketahui masih
meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk
bersabda:rmembayarnya. Rasulullah
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” ).t(HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” ).t(HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash
, bahwa
Beliau bersabda:rDiriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari
Rasulullah
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
bersabda:r,
bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
bersabda:r
bahwa Rasulullah tDari Ibnu Umar
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ
أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ
« أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ
قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ
مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ».
قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ
وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ
جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri ditDari Abu Qatadah tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku kepadanya “Ya, jikarakan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri ditDari Abu Qatadah tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku kepadanya “Ya, jikarakan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
Tugas
Terstruktur Dosen
Pembimbing
Hadits
3 H.
Zul ikromi.Lc
Kewajiban membayar hutang
UIN
SUSKA RIAU
ABU BAKAR 11232104936
DIDI DESMADI
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
PEKANBARU
RIAU
[1]
A. Y. Winsinq, Mu’jam
Al-Mufahros Li Alfadzil Haditsin Nabawi, (Madinah:Maktabah Baril, 1936),
[2]
HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil
(no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa
Qadha Khairan Minhu (no.1600).
[5]
HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
No comments:
Post a Comment